Mengapa Makassar

     "Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai­-sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim penghujan; air-air terjun tertumpah seakan mendidih, membusa, bergelora; ungkapan semangat kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Namun sebagaimana gunung nan garang yang terpancang kokoh dengan sungai yang menggelora, perlahan-lahan akan berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah". Begitu tulis John A.F. Schut dalam bukunya "De Volken van Nederlandsch lndie" jilid I yang bahasannya berjudul : De Makassaren en Boegineezen.
     Gambaran yang terasa global untuk mewakili karakter umum Suku Bugis Makassar, apalagi bila hendak fokus ke Makassar saja. Dari berbagai sumber online maupun offline, saya kemudian juga tertarik untuk memposting sedikit kisah bagaimana awal mulanya sehingga daerah kecil yang dahulu di dalam wilayah kerajaan Tallo, kemudian diberi nama Makassar.
     Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama "Makassar". Di abad ke-16 "Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing.

     Selama tiga malam berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma'bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari tepi pantai wilayah kerajaannya, Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta Gowa lalu menyebar ke arah negeri sahabat lainnya.
     Bersamaan di malam ketiga Raja bermimpi itu, yakni malam Jum'at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M, di bibir pantai Tallo merapatlah sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat dari sorban, yang berkibar kencang dihembus angin laut. Ketika merapat di pantai, nampaklah sesosok lelaki dengan tenang dan tangkas, menambatkan perahunya. Setelah itu, sosok lelaki tersebut melakukan gerakan-gerakan aneh berulang-ulang seperti suatu ritual. Gerakan-gerakan tersebut di kemudian hari dikenal sebagai gerakan orang bersembahyang dalam ajaran agama Islam (shalat).
     Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di ujung malam menjelang subuh yang masih begitu gelap, Baginda tidak mampu menahan diri untuk bergegas ke pantai hendak menyaksikan kehebohan yang sudah begitu menggemparkan. Baru saja Baginda hendak melangkah keluar istana, tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya. . (Darwa Rasyid MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX, hal.36)
     Lelaki itu lalu menjabat tangan Baginda Raja dengan erat, yang terasa kaku lantaran masih takjub oleh situasi yang begitu tiba-tiba. Masih sambil menggenggam tangan itu lalu ‘ia’ menulis kalimat di telapak tangan Baginda. Karena begitu terkesima, Baginda hanya bisa membiarkan semua kejadian itu tanpa mengelak sedikitpun. Setelah selesai menulis, lelaki itu mengangkat wajahnya dan tersenyum hormat kepada Baginda.
     "Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi akan merapat di pantai,” begitu suara lembut namun tegas dari lelaki itu, yang tiba-tiba hanya dalam sekejap menghilang begitu saja dari hadapan raja. Baginda sangat terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya dan ternyata tulisan yang dibuat lelaki itu masih nampak begitu nyata dan jelas. Tidak menunggu lama, Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki dengan penampilan berbeda dari rakyat kebanyakan,  tampak tengah menambatkan perahu. Sesaat kemudian ia dengan takzim menyampaikan salam dengan begitu hormat memenyambut kedatangan Baginda.
     Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. Setelah selesai menyimak penuturan Baginda, lelaki itu tersenyum lalu berujar lembut,
     “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat”. Melihat raja mencoba mengerti apa yang dikatakannya, lelaki itu melanjutkan, “Adapun lelaki yang menuliskannya tadi, adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Nabi yang mulia itu telah menampakkan diri di Negeri Baginda.”
     Peristiwa inilah yang kemudian dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama "Makassar", berasal dari ungkapan "Akkasaraki Nabbiya", yang artinya ‘Nabi menampakkan diri’.
     Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma'mur Khatib Tunggal yang kemudian dikenal sebagai Datuk Ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Sementara Raja yang bertemu dengan ‘orang bercahaya’ itu adalah Baginda Raja Tallo bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka, yang setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar 'Sultan Abdullah Awaluddin Awwalul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana'. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.

     Selain itu, penelusuran asal nama "Makassar" juga bisa ditinjau dari beberapa sudut analisa yang lain, misalnya:
     Makna. Untuk menjadi manusia yang sempurna, maka manusia perlu "Ampakasaraki", yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin untuk diwujudkan sebagai perbuatan. "Mangkasarak" artinya mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dalam ajaran Tao atau Tau (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti pemahaman sebagian orang bahwa "Mangkasarak" berarti orang kasar yang mudah tersinggung.
     Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dari kata "Mangkasarak" yang terdiri atas dua morfem ikat "mang" dan morfem bebas "kasarak".
Morfem ikat "mang" mengandung arti:
          - Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya.
          - Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. ­
Morfem bebas "kasarak" mengandung arti:
          - Terang, nyata, jelas, tegas.
          - Nampak dari penjelasan.
          - Besar (lawan kata: kecil atau halus).
     Jadi, kata "Mangkasarak" Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter "Mangkasarak" berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.

     Dalam ungkapan "Akkana Mangkasarak", maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata "Mangkasarak" ini dapatlah disimpulkan bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.
Kompleks makam Raja-raja Tallo. Di tempat ini dimakamkan Sultan Mudhafar (Raja Tallo VII), Karaeng Sinrinjala, Syaifuddin (Raja Tallo XI), Siti Saleha (Raja Tallo XII), La Oddang Riu Daeng Mangeppe (Sultan XVI) juga I Malingkaang Daeng Manyonri (Raja Tallo pertama yang memeluk agama Islam) - Raja Daeng Manyori ini juga mendapat julukan sebagai 'Macan Putih dari Tallo' dan Karaeng Tuammalianga ri Timoro (Raja yang berpulang di Timur) (foto : isnuansa.com)

Kapal-kapal kayu Phinisi di pelabuhan Paotere' Makassar (foto : aci.detik.travel)

Pemukiman menuju pelabuhan Paotere' (foto : blog.travelpod.com)

Salah satu sisi kanal yang membelah kota Makassar (foto : faizalramadhan.com)

 Coto Makassar (foto : darimakassar.com)

Sop Konro dengan varian Konro Bakar (foto : mitrasites.com)

Benteng Port Rotterdam (foto : travel.kompas.com)
 
Bandara Sultan Hasanuddin (foto : makassarterkini.com)
Pantai Losari (foto : yaszero.com)

Pantai Losari dari sudut yang lain (foto : suharman-musa.blogspot.com)

 Salah satu bagian kota Makassar

Mesjid Raya Makassar (foto : gallery.makassarkota.go.id)

 Al-Markaz Al Islami Makassar (foto : semuahanyamasalalu.blogspot.com)

 Lapangan Karebosi (foto : Kaskus)

Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai­-sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim penghujan; air-air terjun tertumpah seakan mendidih, membusa, bergelora; ungkapan semangat kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.