Articles by "wakil 1000 kata"

Tampilkan postingan dengan label wakil 1000 kata. Tampilkan semua postingan

     Termate dengan sore yang hangat, dua hari sebelum Idul Adha di Oktober 2012. Sambil menunggu flight ke Makassar pagi besok, saya coba menghalau bosan dengan berjalan-halan ke sekitar hotel Boulevard tempat menginap malam itu. Bermodal D60 milik teman saya, yang sore itu merasa begitu lelah sehingga memutuskan beristirahat saja di hotel, saya mulai melangkah sambil jepret-jepret sekenanya.
Gunung Gamalama yang puncaknya diselimuti awan, teduh hening menjelang magrib.
     Mulailah, objek pertama adalah mesjid Al Munawwar. Bangunan mesjid yang megah itu, nampak masih sangat baru. Cat dan tamannya masih kinclong dan tertata rapi. Di sampingnya ada kanal kecil, tempat speedboat terparkir, menunggu penumpang untuk diantar mengarungi laut ke tujuan yang dikehendaki.
     Jalan yang lebar dan cenderung lengang di sore itu, memudahkan saya untuk mengambil gambar dari beberapa sudut yang berbeda, dengan cukup leluasa. Setelah merasa cukup, saya mengalihkan pandangan ke sudut jalanan di depan mesjid itu. Ada kerumunan orang, sambil sesekali bersorak riuh.
      Ternyata di sana ada pertunjukan jalanan. Anak-anak usia sekolah dasar saling adu jotos, lengkap dengan sarung tinju dan helm pengaman. Rupanya ada gelaran latih tanding tinju khusus untuk anak-anak.
 luar biasa, anak-anak usia sekolah dasar itu, berlatih tanding tinju di trotoar pinggir jalan depan mesjid Al Munawwar. Dengan arahan pelatih masing-masing dari pinggir arena, petinju-petinju cilik itu saling pukul ditimpali riuhnya sorak sorai penonton gratis yang berjejal di pinggir jalan.
      Setelah puas menikmati sajian tinju amatir anak-anak, saya mengabadikan andong yang kebetulan melintas di situ. Rupanya moda angkutan tradisional itu masih bertahan hadir di kotaTernate, meski jumlahnya sudah tidak banyak lagi (begitu yang terlintas di pandangan saya, bila dibandingkan dengan angkot ataupun ojek motor yang begitu ramai hilir mudik).
 
      Beberapa jepretan saya lakukan di beberapa persimpangan yang saya lalui. Setelah memutar dari jalan kecil di depan mesjid Al Munawwar, maka jalan lebar dan lapang membentang jauh ke Utara, yang kemudian saya tau menuju ke pasar tradisional Kei Raha. Nah, objek-objek yang menarik untuk saya di sepanjang jalan itu, saya sajikan dalam beberapa gambar di bawah ini.
 
 
      Salah satunya adalah jalan kecil, yang dipenuhi oleh pedagang yang menjual kerajina besi putih. Seperti yang sudah menjadi trade mark Ternate, salah satunya adalah aneka perhiasan yang terbuat dari logam putih mengkilat itu. Dan di jalan ini, kita bisa memilih, dari ribuan desain yang tersaji, apa saja yang menarik untuk dibawa pulang.
 ada satu jalan kecil, yang dipenuhi padagang penjual kerajinan besi putih. Beragam model yang indah, siap beralih tangan bila bersepakat dengan penjualnya.
      Setelah puas melihat-lihat aneka kerajinan besi putih itu, saya melanjutkan langkah ke Utara. Ada satu mesjid yang menarik untuk saya, memancarkan aura keteduhan oleh penampilannya yang begitu bersahaja.
 tidak jauh dari mesjid itu, aha.. ada deretan penjual coto Makassar. Saya tidak mampir di situ, hanya mengambil gambarnya saja dengan latar belakang gunung Gamalama.
      Lanjut melangkah lagi, saya tiba di salah satu cagar budaya yaitu Benteng Oranje. Waktu itu, saya belum tau sama sekali mengenai bagaimana sejarah benteng ini. Namun setelah tiba di Makassar, saya mulai googling untuk mendapatkan gambaran apa dan bagaimana benteng itu yang ternyata, menyimpan kisah yang sangat luar biasa.
di jalan masuk menuju gerbang benteng Oranje, selain meriam yang menjadi tempat bermain anak-anak yang tinggal di dalam benteng, di sebelah kiri ada papan identitas benteng tersebut.
      Seperti yang dikeluhkan oleh para blogger di dalam tulisan-tulisannya tentang benteng Oranje itu, ternyata apa yang saya jumpai memang demikian adanya. Kondisi benteng yang cenderung dibiarkan apa adanya, seakan berjuang sendiri dalam detak waktu yang membawa pelapukan yang semakin tak terbendung.
 bagian dalam benteng, dimanfaatkan menjadi pemukinan untuk personel TNI dan keluarganya, yang bertugas atau berkantor persis di samping benteng tersebut.
      Meninggalkan Benteng Oranje, saya terus melangkah ke Utara, untuk kemudian tiba di pasar tradisional Kei Raha. Mengabadikan gambarnya dari luar, namun saya sama sekali tidak tergerak untuk melihat-lihat ke dalam bangunan pasar berlantai tiga itu. Saya menyusuri saja jalan-jalan sekitar pasar yang menjadi sedemikian sempit karena disesaki oleh para pedagang kaki lima yang saling berebut kelapangan dengan angkot yang melintas di sana. Dan tentu saja bukan cuma angkot, ojek motor pun turut berebut kesempatan menambah kesesakan itu.
 beginilah gelaran pedagang kaki lima itu. Yang menjadi perhatian saya, adalah kehadiran sapu lidi yang menyertai bawang cabe dan bumbu dapur lainnya.
     Selain bumbu dapur dan aneka keperluan lainnya, ada yang menarik di sore itu. Mereka adalah para penjual ikan asap. Ikan cakalang dengan ukuran besar-besar itu telah matang kemerahan setelah melalui proses pengasapan. Selain ikan asap, ada juga yang menjajakan aneka makanan matang, berupa lauk dan sayur. Sayang sekali, karena kesempatan yang begitu sempit, saya tidak berkesempatan mencicipi aneka makanan itu, meski ada keinginan yang begitu kuat untuk sekadar icip-icip.
 ikan cakalang yang sudah diasapi. Begitu menggiurkan dan menggugah selera. Ikan yang besar-besar itu dihargai 20 hingga 25 ribu perekornya, untuk yang utuh. Yang terbelah tentu saja dengan harga yang lebih murah lagi.
 
 ibu yang menjual aneka panganan matang itu, beristirahat sejenak di sela kesibukan melayani konsumennya.
Pintu gerbang kelurahan Gamalama yang wah.. dijejali aneka produk dari pedagang kaki lima.
     Keluar dari lingkungan pasar Kei Raha, saya segera mendapati kembali jalan Boulevard yang melalui depan hotel tempat saya menginap. Masih ada waktu sebelum hari benar-benar gelap, saya menyempatkan mengambil beberapa gambar gunung Gamalama yang baru saja ditinggalkan magrib. Selain itu, keramaian pedagang kaki lima di sepanjang jalan sekitar pasar, juga menyajikan suguhan pemandangan yang lain.
 jalan Boulevard di belakang pasar Kei Raha, di kejauhan nampak menara Mesjid Al Munawwar.
rumah-rumah yang menjadi toko di sepanjang jalan, menambah gelaran dagangan dengan tenda-tenda yang menjorok ke jalan raya.
di sisi jalan yang lain, pedagang menggelar dagangannya di tepi jalan, yang persis juga di tepi pantai. Untukku, pemandangan ini begitu eksotis.
       Di trotoar tengah jalan, dipadati ibu-ibu dan anak-anak yang menjajakan aneka perlengkapan dapur untuk lebaran nanti. Yang paling banyak adalah daun kelapa, baik yang sudah dibentuk menjadi ketupat-ketupat kecil, ataupun yang masih berupa lembaran siap olah. Selain itu aneka bumbu dan rempah juga banyak dijajakan. Dan pembeli yang tidak mau repot bergelut dengan padatnya pasar, bisa menemukan hampir semua kebutuhannya di sepanjang trotoar itu.
 kulit ketupat dari daun kelapa, dijajakan di trotoar tengah jalan. Tidak ketinggalan aneka bumbu yang diperlukan untuk hajatan lebaran nanti.
 
 
pedagang buah dan makanan saling berbaur di sepanjang jalan ini. Ada yang menarik dalam penyajian padagang makanan kaki lima ini, panganan di sajikan ala prasmanan dalam baki-baki stainless lengkap dengan penutup bakinya.
 magrib sudah beralih menjadi malam, saya melangkah perlahan kembali menuju Hotel Boulevard. Di sebelah kiri nampak Jatiland Mall. Di kejauhan, menara mesjid Al Munawwar nampak megah dalam bias cahaya yang mengelilinginya.

     Tiba kembali di hotel, teman saya sudah segar. Setelah saya bersih-bersih dan beberes segala sesuatu, saatnya keluar lagi, untuk mencari sesuatu sebagai pengganjal lambung sambil menunggu pagi besok. Dan, ya pantai itu menjadi tujuan. Sambil berjalan santai saja ke sana, karena letaknya yang tidak jauh dari hotel.
 banyak pilihan untuk menu makan malam itu. Aneka jenis ikan laut, udang, kepiting ataupun ayam dan daging sapi dalam beragam menu.
 duduk di tepi pantai yang beriak lembut, sambil menyantap makan malam, dua dari sekian ikon kota Ternate menebarkan keteduhan kala memandangnya.
      Terlalu singkat rasanya berada di Ternate di waktu itu, belum sempat mengunjungi berbagai destinasi yang ada di sana. Semoga, suatu hari nanti, masih ada kesempatan untuk berkunjung ke sana, tentu saja tidak dengan jadwal yang kepepet sehingga bisa menelisik lebih banyak, bagaimana eksotisnya Ternate.

note: untuk melihat gambar2 dalam ukuran
besar, pointer mouse di atas gambar (mouse over)
kemudian klik. 

     Penghujung kemarau tahun 1982, acara penyambutan mahasiswa geology Unhas itu dilakukan. Belum ada format baku tentang apa saja yang akan dilakukan oleh para senior kepada wajah-wajah culun itu. Semua berlangsung spontan, sederhana dengan semangat yang begitu murni, untuk memberi pengenalan lapangan dan gambaran umum mengenai dunia geolgy nantinya.
     Karenanya, tidak ada wajah-wajah tegang. Sama sekali tidak ada kekuatiran anarkisme dalam bayang-bayang kegiatan perpeloncoan. Di beberapa tenda sederhana, senior dan junior berbaur tanpa batasan. Nyanyi bareng, masak-masak bareng dan tentu saja makan bareng dalam tradisi geology. Sungguh, lebih terasa sebagai kegiatan piknik.
Pak Budi menjelaskan panjang lebar segala sesuatu gambaran umum geology, sambil duduk santai di bendung Pa'bunoang juku' yang kering.
     Karenanya, keberadaan dosen di dalam rombongan, bukan menjadi sesuatu yang menimbulkan gatal-gatal alergi di dalam aktifitas kepanitiaan. Justru, kehadiran dosen dimanfaatkan untuk memberi penjelasan sepanjang perjalanan tentang geology secara umum.
     berdiri dari kiri: Amri, Kadoarjuna, Sulaeman, Nurman, Yustin, Amir Jaya dan Samsul Bahri.
duduk dari kiri: lupa, Nunuk, Hero, Muniati, Imran Umar, Selle, Pak Budi, Jalaluddin, Hance, Rafiudin, Stepanus dan Abd. Muis.
 di atas ada Hero, Muniati dan Junahan Satria.
bawah ada Ramlan Nawawi, Muniati, Nunuk dan yang kacamata tanpa topi itu, lupa namanya.
 sekitar puncak Bulu' Paria. Sama sekali tidak ada wajah tegang di dalam acara kemahasiswaan ini.
 setelah bagi-bagi syal geology, santai sambil foto-foto
     Tentu banyak cerita, banyak kenangan yang menyertai langkah para calon geologist itu. Karenanya, dengan segala kerendahan hati, saya menunggu tambahan komentar di bagian bawah, melengkapi serpihan memori yang melekat di kenangan kita masing-masing. Getar rasa kita di kebersamaan waktu itu, dengan mozaik joke-joke konyol sepanjang jalan pasti akan semakin menyegarkan indahnya kenangan yang telah kita ukir bersama.
Jadi jangan ki' ragu-ragu atau keberatan memanjang lebarkan rangkaian mozaik itu. Komentar ta' sangat di tunggu.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.