Articles by "Cerpen/Indonesia"

Tampilkan postingan dengan label Cerpen/Indonesia. Tampilkan semua postingan

      Rahasia alam gaib merupakan suatu misteri yang sampai saat ini masih belum dapat dipecahkan. Siapa yang kuasa emngungkapkannya? Sebab manusia sendiri cuma sampai pada batas kesimpulan. Alam gaib adalah jagad raya semu yang tak terjangkau oleh akal pikiran manusia biasa. Angin-Udara-Air-Tanah adalah empat pokok kehidupan.
      Angin yang bisa dirasa, didengar tetapi tak dapat dipegang dan dilihat. Angin yang sejuk berembus, kadang berubah menjadi badai topan yang maha dahsyat. Sedang udara adalah pernafasan kehidupan. Sifatnya tetap, tidak berubah.
     Unsur air sifatnya mengikuti keadaan. Dimana ada tempat yang rendah, di situlah dia mengalir. Bentuknya luwes sehingga dapat menyesuaikan dirinya dengan alam lingkungannya.
     Dan unsur yang terakhir, yang merupakan inti kehidupan manusia adalah tanah. Ya, tanah!
     Pernahkan Anda berfikir suatu saat nanti Anda akan mati kemudian kembali menjadi tanah lagi? Manusia pertama justru dijadikan oleh Tuhan dari tanah liat yang kemudian ditiupkan roh. Oleh sebab itu manusia harus selalu ingat tentang asa;-usulnya semula. Tanah yang setiap hari dinjak-injak, kadang dikencingi, diludahi, tetapi dia tak pernah protes kepada kita. Walau bagaimanapun juga tanah akan tetap kembali menjadi tanah.
     Pernahkan Anda memikirkan suatu misteri alam gaib akan dapat terbuka oleh ketinggian akal budi manusia, entah pada abad dan peradaban yang akan datang? Jawaban Alif Lam Mim hanya Tuhan yang mengetahui.
     Tapi pernahkan Anda mendengar tentang kematian seseorang yang tidak mau bersatu dengan tanah lagi? Sedang mayat yang dibakar kemudian abunya dilarutkan ke dalam larutan masih ingin kembali bersatu dengan tanah di dasar laut. Memang ada suatu adat yang mengajarkan kepada anak cucu keturunannya, bila mati abu mayatnya jangan dikubur di dalam tanah atau dibuang ke laut. Namun harus digantung di udara. Di tempat yang tersmbunyi. Inilah yang akan saya ceritakan kepada Anda, tentang suatu rahasia salah satu dari ilmu-ilmu alam gaib itu.

     Gerimis pagi yang menampar wajah kakek tua renta itu membuat tubuhnya menggigi. Berkali-kali ia mengeluh, merapatkan kedua tangannya mendekap dadanya yang kerempeng. Seolah-olah perjalanan itu terlalu berat bagi laki-laki tua seusianya. Sesekali ia harus berhenti untuk menenangkan pikirannya. Hatinya masih berdebar-debar ketakutan, setiap kali ingat bayangan-bayangan peristiwa awal dari kesengsaraannya sekarang ini.
     Dua minggu yang lalu, ketika ia sedang tidur nyenyak mendadak satu suara menyeramkan membuatnya terbangaun dengan wajah pucat. Suara seram itu bergaung di dalam kamarnya, melingkar-lingkar tak putus-putusnya. Telinganya sampai terasa sakit.
     "Hhrrr...goghgh..Sogthot..."
     Kemudain jendela dan pintu kamarnya terbuka dengan keras seprti didorong oleh tenaga dahsyat dari luar. Dan angin menerobos masuk memorak-porandakan perabotan rumahnya. Semakin lama suara angin yang masuk itu terdengar semakin mencicit menyeramkan. Dinding kamarnya bergetar hebat dan tempat tidurnya bergoyang-goyang, sementara meja kursi bergelimpangan di lantai bercampur kertas-kertas yang berhamburan. Akhirnya ia menjerit ketakutan. Sesosok tubuh mengerikan tiba-tiba muncul di hadapatannya. Makhluk dari 'planet lain' itu menatapnya dengan bengis.
     "Aku telah datang. Mengapa kau mengundangku?" Kakek tua renta itu menjadi kebingungan mendapat pertanyaan yang aneh. Mengundangnya? Aku? Sampai lama ia tidak menjawab, cuma bibirnya saja yang tetap bergetar seperti diserang demam.
     "Hghhrr... apa yang kau inginkan, manusia?" dengus makhluk itu mengagetkannya dari lamunannya. Dan dengan terputus-putus kakek itu menjawab, "Aku..aku.. ingin memasuki roh alam gaib.."
     "Hhrrgh... tahukah kau bahwa hal itu sangat mustahil dan mengingkari kodrat yang sudah dijatuhkan kepada manusia?"
     "Aku tahu.. tapi.. tapi keinginanku untuk mengetahui segala rahasia alam gaib sungguh sangat besar.."
     "Ghoghh..shogghtt.. Kau telah bertahun-tahun menekuni dunia mistik dan alam gaib. Umurmu kau habiskan hanya untuk mempelajari ilmu-ilmu kebatinan kelas tinggi. Apakah kau tidak menyesal, jika keinginanmu itu kupenuhi tetapi dengan syarat yang berat sekali? Otakmu yang kotor itu memang pantas menjadi pengikutku yang setia, he manusia."
     "Aku..aku berjanji akan memenuhi segala syarat yang akan kau tentukan, asal keinginanku itu terkabul.."
     "Hhhrrghhh..Baik, aku percaya dengan janjimu. Besok purnama penuh, kau harus datang ke puncak Mahameru. Carilah sebuah kawah yang berwarna merah dan kelabu. Di sana kau bisa melaksanakan rencana-rencanamu yang ingin menguasai jagad." Tiba-tiba makhluk mengerikan itu mengeluarkan seribu pekikan yang menggetarkan jantung. Dari atas langit kemudian terdengar nyanyian-nyanyian seram sebagai jawaban. Dan lenyaplah makhluk itu dengan meninggalkan bau busuk.
     Kakek tua renta yang selama hidupnya tekun mempelajari ilmu-ilmu kebatinan kelas tinggi itu kini berdiri terlongong-longong. Akhirnya dia cepat-cepat mempersiapkan segala keperluan untuk mendaki puncak Gunung Mahameru. Malam itu juga dia membuat ramuan mantra di atas tungku api, Dan membalik-balik buku kuno yang berisi tintunan ilmu-ilmu sesat, membuat percobaan-percobaan aneh dan melakukan meditasi tertutup sampai menjelang subuh.
     Puncak Mahameru tampak berselimutkan kabut tebal. Hawa dingin luar biasa, kesepian, kesunyian, keseraman dan sendiri dalam perjalanan di malam purnama penuh, kakek tua renta itu sudah basah kuyup oleh gerimis yang terus mengerus tak henti-hentinya itu.
     Dengan susah payah akhirnya dia berhasil mencapat puncak.
     Waktu itu hampir tengah malam. Bulan yang bersinar bundar di atas menaburkan cahayanya sampai ke bibir jurang di sekitarnya namun kawah yang sedang dicarinya itu masih belum juga ditemukan.
     Tiba-tiba alam sekitarnya menjadi gelap. Dengan kaget kakek itu memandang ke langit. Ya, Tuhan.. matanya terbelalak melihat seeokor burung elang yang besar terbang rendah menutupi rembulan. Dan di atas punggung burung raksasa itu duduk seorang berjubah merah. Sebentar saja burung elang itu sudah menghilang di balik kabut sebelah sana. Si Kakek masih termangu-mangu tekjub, tetapi segera sadar dan cepat mengejar. Berkali-kali dia jatuh bangun menuruni lereng yang terjal penuh jurang menganga seram.
      Sementara gerimis masih tetap turun. Aneh memang, di waktu cuaca begini, bulan masih tetap bersinar. Kakek itu berhenti di depan sebuah kawah yang gelap menyeramkan. Sinar bulan tidak mampu menerangi dasar kawah. Yang tampak cuma kegelapan yang menggila. Dan bau busuk yag luar biasa dari lubang itu. Beberapa saat kemudian, dari dasar kawah itu terdengar suara menggelegak bergemuruh seprti akan memuntahkan lahar. Tanah yang dipijak juga ikut bergetar hebat.
     "Rrrrr..." suara menyeramkan itu kembali terdengar. Dari kegelapan lalu muncul seberkas cahaya merah darah dan perlahan-lahan tampak kabut berwarna kelabu.. Ya, itulah kawah yang dicari-cari itu.
     Dengan hati-hati ia menuruni kawah itu. Baru beberapa langkah, tubuhnya sudah terhuyung-huyung, perutnya terasa mual mau muntahkarena tidak tahan bau busuk yang semakin keras. Sambil merangkak dia mencoba melihat keadaan di bawah sana. Tetapi kabut yang tebal menghalangi pandangannya. Mendadak tanah yang dipijak longsor dan dengan menjerit ngeri tubuhnya terbanting ke bawah..
     "A a a ..." Kakek itu menjadi panik, di tengah udara di saat tubuhnya masih melayang, dia mencoba memegang apa saja yang sekiranya dapat menghentikan luncuran tubuhnya. Namun usahanya itu sia-sia. Dan dengan suara keras tubuhnya jatuh di tengah-tengah kawah. Byurr.. hampir tak percaya dia masih hidup.
     Ternyata di dasar kawah yang dari atas terlihat mengerikan itu, merupakan danau kecil berair panas. Tubuhnya menggeliat-geliat kesakitan. Untung dia pandai berenang, sehingga dengan susah payah akhirnya berhasil ke tepi kawah dengan selamat. Napasnya masih memburu tegang. Waktu dia memperhatikan dengan seksama, ternyata di tengah-tengah danau kawah itu terdapat sebuah batu bundar yang mengeluarkan sinar merah mencorong.
     Tetapi ketika dia akan memasuki sebuah gua di belakang cadas, mendadak matanya terbelalak memandang tulisan di dinding gua sebelah luar. Alangkah dahsyatnya tenaga orang yang mampu menggores batu dengan ujung jari. Tulisan itu berbunyi mengancam:
"Kepandaian sejati bukan untuk menguasai jagad. 
Terkutuklah bagi yang ingkar pada kodratnya dan 
siksa akan menikam di jantungmu sebelum kau menyesali 
perbuatanmu yang berlumur dosa."
     Kakek itu termenung, pikirannya seketika menjadi bingung. Siapa yang menulis peringatan di dinding gua itu? Apakah dia sudah tahu tentang tujuanku datang kemari? Namun bila ingat pesan makhluk dari planet lain yang dipujanya selama ini. akhirnya dia jadi nekat. Tanpa memedulikan bahaya yang mungkin mengancam, dia terus masuk ke dalam gua. Ternyata keadaan gua itu sangat luar biasa indahnya. Sebuah istana di bawah perut gunung. Di setiap tikungan terdapat batu permata yang memancarkan sinar kemilau terang. Bau harum yang segar mengalir terbawa embsan angin. Kakek itu hampir tak percaya ketika melihat seorang putri jelita sedang duduk di atas kursi batu hitam.
     "Masuklah, kau pilih buah itu dan makanlah," perintah putri itu berwibawa. Si kakek ragu-ragu, untuk apa ia harus makan buah ranum itu?
     "He, bukankah tujuanmu datang kemari ingin memiliki kesaktian sejati?"
     "Ooo.." desah kakek itu seperti linglung. Dan tanpa berkata lagi dia terus mengambil buah sebelah kiri dan dimakannya. Buah itu ternyata pahit rasanya.
     "Pergilah ke kamar nomor 99 di ujung lorong sebelah kiri. Waktumu hanya empat puluh hari. Nah, berlatihlah dengan baik."
     Kakek itu menurut, entah mengapa dia tak kuat bertatapan muka dengan putri. Lorong gua sebelah kiri itu merupakan jalur rahasia yang berliku-liku. Tiap-tiap sepuluh langkah pasti terdapat kamar batu. Dia terus mencari kamar nomor 99.
     Dan kamar yang diperuntukkan baginya itu adalah sebuah kamar batu berukuran empat kali tiga meter. Tidak ada sinar yang asuk. SEmuanya tampak gelap menyeramkan. Apalagi udara yang sangat busuk baunya.
     Setelah meneliti semua sudut di ruangan kamarnya, lalu dia memilih tempat untuk bersemedi. Mulai mala itu juga kakek itu berlatih ilmu-ilmu rahasia alam gaib yang diajarkan oleh sesuatu yang tidak tampak wujudnya tetapi terasa kehadirannya. Tiap tengah malam suar misterius itu selalu ada. Suaranya berat, sember dan tidak enak didengar telinga. Makin hari latihannya makin berat. Mengosongkan jiwa tetapi menghidupkan nafsu-nafsu yang bergetar di setiap lubang pori-pori dan urat nadinya. Dan jika siang hari, dia harus membuat percobaan-percobaan gila. Berbagai ramuan yang sudah disediakan sebelumnya, harus dicampur dengan setetes darahnya sendiri. Tiap hari ia menggigit lidahnya untuk mendapatkan darah bagi campuran ramuan mantra yang sedang dicoba.
     Kemudian setelah melakukan tapa pati geni selama empat puluh hari empat puluh malam, kakek itu telah berhasil mencapai tingkatan 'hening sajroning curigo' yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu pada jarak ribuan tahun yang lampau maupun yang akan datang. Kekuatan batin yang dapat menggetarkan dan mempermainkan jiwa seseorang yang diingininya melalui ilmu pembetot sukma yang luar biasa jahatnya.
    
     Hari itu selesailah sudah waktu yang dijanjikan untuknya. Dia menghadap putri lagi. Tetapi dia terkejut, ketika melihat wajah putri yang waktu pertama kalidia datang sangat cantik jelita, sekarang berubah menjadi nenek peot yang jelek dan menjijikkan. Sinar matanya berwarna kelabu mengandung unsur-unsur jahat sedang menatap dirinya tanpa berkedip. Tak terasa kulit tubuhnya jadi merinding seram.
     Dia terus bersujud di depan nenek peot itu. Ada rasa takut yang tak dapat dikatakan merayapi jantungnya. Beberapa saat masih hening. Seolah-olah keduanya sama-sama tenggelam dalam kematian semu. Tiba-tiba di luar gua terdengar suara burung elang, wajah nenek peot yang semula dingin tanpa perasaan itu kini berubah tidak senang. Dia seprti mempunyai firasat adanya sesuatu yang mengintai.
     "Hari ini kau telah lulus dalam ujian ilmu-ilmuku. Sejak saat ini kau sudah resmi menjadi pengikut dan pemujuaku yang setia. Apa janjimu setelah ambisimu yang gila nanti terwujud?" tanya nenek peot itu nyaring di antara batuknya. Kakek itu tergagap memandang 'majikannya'.
     "Aku.. akan setia dan menurut apa yang kau perintahkan."
     "Bagus, perlu kau ketahui.. di alam ini ada dua kekuasaan. Alam gelap yang menjadi kerajaanku dan alam terang yang dikuasi oleh musuhku. Kau harus mewakiliku melenyapkan musuh kita itu. Sebab, kehidupan tidak bisa menerima dua sumber kekuatan yang saling bertentangan dalam satu tempat dan waktu yang sama. Salah satu harus hancur. Nah, sanggupkan kau melaksanakan tugas bagi kerajaan kita?"
     "Aku akan menjalankan perintahmu tetapi mohon tanya, siapakah musuh kita itu?"
     "Pergilah ke luar, dia sengan menunggumu di sana.."
     Alam seolah murka. Langit berwarna kelabu gelap. Pohon-pohon juga tampak kelabu. Jalanan berdebu kotor dan sungai yang mengalir berwarna kemilau keruh. Udara seprti berhenti mengalir. Aneh, si kakek memandang semuanya seperti di bawah sadar. Tetapi yang lebih mengejutkan adalah burung elang raksasa dan seorang tua berjenggot putih sampai menyentuh lutut. Wajah tua itu menatap penuh welas asih. Cahaya terang keluar dari tubuhnya yang terbungkus jubah merah. Itulah si orang misterius waktu pertama kali dia datang ke kawah.
     "Sadhu..sadhu.. sadarlah ng'ger.."
     "Apa? Kau bicara dengan siapa?" bentan kakek itu.
     "Kepadamu ng'ger, aku ingin memberi nasihat, tinggalkan tempat ini dan bersujudlah kepada Tuhan Yang Maha Agung dan Suci.." si orang misterius berjenggot panjang itu masih tersenyum damai. Mendadak kakek itu tertawa mengakak.
     "Grr.., kau anggap apa aku ini, cucumu kak? Hua..ha..haha.."
     "Kau memang pantas kusebut cucuku ngger, karena usiamu sepertiga dari usiaku yang sebenarnya. Jangan kaget, akulah yang disebut Ki Waskito, penguasa alam terang, musuh bebuyutan gurumu."
     "Ah, kau..kau..," jawab kakek itu terkejut.
     "Ya, aku memang bertugas menyadarkan orang-orang sesat yang ingkar kepada kodratnya. Jangan terlalu jauh bermimpi tentang rahasia alam gaib. Tidak bisa ng'ger.. tidak bisa.."
     "Tetapi aku telah berhasil, peduli apa denganmu."
     "Apa yang kau ketahui itu cuma kulit luarnya saja. Dan itu telah menyesatkan pikiranmu. Sadarlah sebelum terlambat.."
     "Hmm, susah payah aku berlatih ilmu. Sekarang kau bilang semua itu cuma omong kosong belaka. Jahanam kau. Aku akan menghancurkan Waskito. Aku akan segera melaksanakan rencanaku, dunia ini akan kugenggam di dalam tanganku. Hua..ha..haha..." Dan tertawalah kakek itu seperti sudah sinting.
     "Aku tahu, kepandaianmu sekarang ini mungkin mampu mecelakakan sesamamu yang tidak kau senangi atau malah kau buat suatu percobaan dari ambisimu yang gila. Tetapi kituk cepat menelan dirimu. Kau akan mati di dalam kegelapan. Kau dengar ng'ger, mati dalam kegelapan adalah siksa yang pedih seperti di neraka."
     "Persetan dengan khotbahmu, Waskito. Lihatlah, apa yang akan kulakukan ini," geram kakek itu penuh kemarahan. Dia terus mengambil sebuah kaca bulat sebesar kepala orang. Mulutnya membaca mantra, dan bola kaca itu dibantingnya dengan keras. Bummm.. seketika itu juga terjadi keajaiban. Di depan mereka terpampang ilusi seperti layar yang memperlihatkan keadaan pada saat itu juga dalam jarak ribuan kilometer di tempat lain.
     Alangkah hebat dan ajaibnya. Pada waktu itu tampak seorang laki-laki muda sedang jalan di jalan raya. Entah apa sebabnya mendadak kepala orang muda itu mengepulkan uap hitam, tubuhnya bergetar hebat. Lalu sebelum si orang misterius itu sempat mencegah, kakek itu sudah membentak memberi perintah lewat mantranya. Aneh, orang muda di dalam layar ilusi itu tiba-tiba mengamuk. Dua orang yang sedang duduk di warung diseret kasar terus dibacoknya berkali-kali sampai mati mengerikan.
     Belum puas sampai di situ, kakek itu mulai mengarahkan pikirannya kepada dua buah pesawat terbang yang sedang melayang di atas lautan. Dan dengan kekuatan batinnya, ia mampu memaksa salah satu pesawat itu mengubah arah penerbangannya. Seperti tak berdaya, dua pesawat itu dipermainkannya sebentar, kemudian ditariknya ke dalam lingkaran pengaruhnya. Dua pesawat terbang itu meluncur kencang tanpa kendali lagi, dan..rrr.duaarrr.."
     Bagaimana panik dan menyedihkan tragedi di atas lautan itu. Hancur berkeping-keping kemudian tenggelam ke dasar laut. Mungkin tidak ada seorangpun di dunia ini yang percaya bahwa musibah itu karena perbuatan gila seseorang yang mempunyai ilmu sesat.. dan sudah dapat dipastikan, dunia akan gempar.
     "Hua.ha.ha.. lihatlah Waskito, aku akan menghancurkan apa saja yang berani menentangku. Termasuk kau juga."
     "Biadab. Perbuatanmu sudah keterlaluan ngger. Dunia bisa berantakan kalau nafsu gilamu itu tidak segera dihentikan."
     "Huaah, tua bangka sialan. Apakah kau takut, heh?"
     "Aku takut jika ilmu yang kau miliki itu kau pergunakan untuk mempengaruhi pikiran para pemimpin dunia. Bukan tidak mustahil dengan menciptakan rasa tidak percaya sesama negara maju, kemudian kau memasukkan pikiran iblismu ke dalam otak mereka, dunia ini bisa meledak menjadi kiamat sebelum waktunya..."
     "Hmm, kalau sudah mengerti mengapa kau tidak segera tunduk kepadaku? Berlututlah, dan kuampuni nyawamu!" bentak kakek itu penuh kesombongan. Tetapi Ki Waskito cuma menghela napas panjang berkali-kali. Agaknya dia menyesali ilmu kepandaian orang yang disalahgunakan untuk memuja nafsu. Tapi dia harus segera melenyapkan sumber bibit malapetaka di kemudian hari itu. Dunia benar-benar sedang menghadapi ancaman yang mengerikan dengan lahirnya orang-orang gila yang mabuk peperangan dan ingin hidup sendiri. Entah bagaimana jadinya jika kakek itu berhasil mempengaruhi para pemimpin negara yang mempunyai senjata nuklir untuk saling menghancurkan Akibatnya tentu sangat mengerikan.
     "Kesabarnku tentu ada batasnya ng'ger, jika kau tidak bisa disadarkan lagi, yah.. terpaksa aku harus melenyapkanmu."
     Tertawalah kakek itu mengakak mendengar kata Ki Waskito. Tetapi kemudian wajahnya berubah gelap menyeramkan penuh hawa maut yang menjijikkan. Perlahan-laan ia maju mengancam. Keduanya saling berhadapan dengan waspada. Masing-masing mempersiapkan ilmunya untuk saling terjang. Mendadak kakek itu menggempur dengan suara parau dan tenaganya mendorong ke depan melancarkan serangan yang bukan main hebatnya melanda dada si orang misterius berjubah merah. Tetapi Ki Waskito sudah bersiaga. Dengan cepat dia mengebutkan lengan bajunya yang lebar.
     Serangkum angin lantas menahan hawa jahat dari kakek yang menjadi musuhnya itu. Dan terjadilah pertarungan dua ilmu yang berlawanan aliran. Pertempuran kelas tinggi dari tokoh ilmu kanuragan sejati itu memang sangat mendebarkan jantung. Indah dilihat tetapi mengandung hawa maut yang setiap saat mengincar kelemahan lawan.
     Sekali waktu Ki Waskito memperoleh kesempatan baik. Sambil bersiul nyaring dia melancarkan jurus simpanannya 'Menggugurkan langit mengaduk lautan'. Gelombang tenaga yang tidak terlihat berputar-putar seperti mau merontokkan isi dada musuhnya. Dengan memekik ngeri, kakek itu muntah darah dan tubuhnya terhuyung-huyung mundur. Wajahnya menjadi pucat pasi. Hampir tak percaya dia memandang lawannya masih dengan sorot kebencian. Sekali lagi Ki Waskito melontarkan pukulan sakti udara kosong tingkat kesebelas, kemudian disusul dengan tendangan berantai 'Mengejar arwah, menyambung roh'. Hebat serangannya kali ini. Suatu arus kekuatan gaib mencengkeram kakek itu dan kemudian menghentakkannya sekuat-kuatnya hingga meledak dan hancur berkeping-keping. Sampai beberapa saat Ki Waskito masih termangu-mangu memandangi asap berbau busuk dari bekas 'mayat' musuhnya.
     Perlahan-lahan alam kembali seperti semula. Bayangan semua berwarna kelabu yang aneh sudah lenyap. Tetapi dari jauh, kawah puncak Mahameru menggelegak dahsyat seolah-olah murka melihat kematian murudnya yang setia. Berkali-kali terdengar letusan disertai hujan abu dan percikan api yangmenyembur ke luar dari puncak gunung.
     Ki Warkito segera naik ke atas punggung burungnya dan memburu ke puncak Mahameru. Dia harus segera tiba di sana agar bencana yang lebih dahsyat dapat dicegah. Akhirnya dia melihat tanda-tanda buruk itu. Sejalur asap hitam kemerah-merahan meluncur dari dasar kawah. Ki Waskito menangkap dan meremasnya sekuat tenaga. Ada perlawanan dari benda yang ditangkapnya itu. Tetapi dia makin memperkeras tenaganya. Dan dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Agung, Ki Waskito berhasil menghancurkan benda merah di dalam genggamannya itu.
     Seketika itu juga keadaan menjadi reda kembali. Dan Ki Waskito lalu mengambil sesuatu di dalam benda merah di dasar kawah. Benda itu ternyata abu jenazah orang sakti yang sesat hidupnya pada ribuah tahun yang lalu. Abu jenazah yang tidak mau bersatu kembali dengan tanah.
 cerita: Wahyu HR
Senang 00532, thn 1982

     Kami sudah lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Kakak sepupuku ini termasuk awet muda. Usianya sepuluh tahun lebih tua bila dibandingkan dengan umurku, tetapi tampaknya ia semuda usiaku. Aku tidak menanyakan resep awet mudanya. Yang kuketahui hanyalah ia selalu bergembira. Pembawaannya tenang, tidak mudah terpengaruh oleh suasana yang datang mendadak. Dalam suka maupun duka selalu tersenyum.
     Kami berbicara tentang soal-soal keluarga. Hal ia akan mengawinkan anak sulungnya, dan anaknya yang lain yang akan ujian SLTA serta memasuki Perguruan Tinggi, penghapusan subsidi BBM dalam kaitannya dengan anggaran rumah tangga dan lain-lain. Ia punya banyak bahan untuk berbicara. Seolah-olah tidak ada habis-habisnya. Aku hanya menimpali sekali-dua.
     "Sebenarnya dari mana tadi?" tanyaku sesudah kami makan siang bersama.
     "Ah, hanya jalan-jalan ke Kajoran," jawabnya.
     "Ke Pak Sasra?"
     "Kok tahu."
     "Terkenal. Perlu apa?"
     "Sebenarnya soal sepele. Soal mimpi"
     "Lho soal mimpi saja kok sampai ke orang tua segala."
     "Mimpiku ini sudah tiga kali, berturut-turut dan selalu sama."
     "Apa kata Pak Sasra?"
     "Aku ditanya apakah punya keris yang tidak bersarung."
     "Lalu..?"
     "Aku tidak punya."
     "Ha, rupanya soal wesi aji, ya? Punya banyak?"
     "Banyak sih enggak. Ada beberapa saja. Dua belas keris dan tiga tombak."
     "Wah, lumayan juga."
     "Kau punya berapa?"
     "Satu pun tidak ada. Bapak punya sebilah dari Mataram. Itu juga entah ada isinya apa tidak, aku tidak tahu."
     "Susah juga mimpiku itu."
     "0, iya. Bagaimana sih mimpinya?"
     "Seorang wanita menuntut agar aku mengambil suaminya. Kalau tidak ia akan pergi menyusul suaminya."
     "Apa yang dikatakan Pak Sasra ada benarnya, tetapi juga belum tentu benar."
     "Maksudmu?"
     "Menurut pendapatku, 'suami' berarti 'jodoh'. Memang bisa diartikan keris mencari sarungnya. Tetapi itu terlalu mengada-ada. Kalau aku berpendapat bahwa jodoh berarti pasangan. Maka cobalah cari apakah ada benda pusaka itu  yang seharusnya berpasangan."
     Ia menepuk dahinya. "Benar. Memang ada. Aku membeli sebilah mata tombak dari seorang kenalan di Surabaya. Katanya tombak dari Bali. Mata tombak itu dulunya ada dua, tetapi yang satu entah di mana. Waktu 'peristiwa bentrokan kedua' dulu hilang. Mungkin dibawa saudaranya yang pulang ke Bali."
     "Mungkin itulah yang minta dicarikan pasangannya."
     "Mungkin. Kalau ada waktu mari ke Sala untuk melihat mata tombak itu." Aku memang selalu mempunyai waktu luang. Kami berdua menuju ke Sala. Ke rumah kakak sepupuku. Hanya dalam waktu dua jam kami sudah berada di ruang tamu rumahnya di Kauman Sala. Ketiga mata tombak diperlihatkannya kepadaku. Yang dua tidak tampak ada keistimewaannya, sedangkan yang satu agak aneh. Pamor bilahnya ada gambar kepala ular menganga, tetapi taring yang keluar hanya satu. Sebelah kiri saja. Biasanya, gambar taring ular ada dua. Kiri dan kanan.
     "Pasti yang ini yang dari Bali," kataku.
     "Betul. Landeyannya kubuatkan dari galih asam."
     "Nah, kau sudah tahu apa arti mimpimu. Terserah bagaimana tindak lanjutnya."
     "Jadi, bilah tombak ini meminta agar pasangannya kubawa ke sini juga?"
     "Tafsiranku begitu. Terserah kau saja bagaimana."
     Ia termenung sejenak. Tidak lama kemudian ia menatapku tajam. Ia ingin mengemukakan sesuatu kepadaku.
     "Aku banyak pekerjaan," katanya. "Kau yang punya waktu luang. Aku minta tolong ..."
     "Karena aku penganggur, kau menyuruhku mencari bilah tombak ini. Begitu?"
     "Jangan sentimentil begitu. Aku kan tidak bermaksud..."
     "Baiklah. Aku memang sudah lama tidak ke Bali."
     "Kau pasti bahwa bilah yang satunya berada di Bali?"
     "Perasaanku mengatakan begitu. Kalau kau tidak keberatan, bilah yang ini akan kubawa."
     "Bawalah."
     Bilah itu dilepas dari gagangnya. Dibungkus dengan kain flanel lalu diserahkan kepadaku. Setelah menerima bilah tombak itu, kakakku masuk. Tidak lama kemudian ia menyerahkan sebuah amplop. Aku tidak perlu bertanya. Tentu uang jalan. Aku tidak perlu berbasa-basi. Uang itu kuterima. Tidak kuhitung. Baru setelah tiba di rumah kuhitung. Seratus lima puluh ribu rupiah, lebih dari cukup bagiku. Aku tidak memerlukan uang terlalu .banyak karena sahabat dan kenalanku cukup banyak di Bali. Walaupun aku sudah lama meninggalkan Pulau Dewata, tetapi kawan-kawanku masih lumayan banyaknya. Aku pernah tinggal di sana selama tiga tahun.
     Tiba di Denpasar, aku langsung ke rumah kawanku di Kayumas Kaja. Di sanalah aku menginap. Karena tidak ada waktu lagi aku hanya tidur saja sesudah berbincang-bincang sampai pukul sebelas malam. Aku tidak sempat jalan-jalan ke pusat kota yang sangat dekat. Malam itu bilah tombak itu berada atas kepalaku. Aku tidur di sekutu yang telah dijadikan kamar. Begitu terlena, aku bermimpi. Seorang wanita mendatangiku. Ia mengatakan bahwa aku harus ke Nusa Penida. Di sanalah "suaminya". Aku terbangun. Ternyata baru pukul satu malam. Aku tidak dapat tidur lagi lalu mencari minuman ke Pasar Senggol.
     Esok paginya ketika aku akan berjalan-ialan melemaskan otot di pagi hari aku bertemu dengan kawan lama. Wayan Rentig seorang perawat di RS Sanglah. Ia tinggal di Banjar Sading dekat Banjar Abian Timbul. Ketika ia menanyakan tentang diriku, kukatakan bahwa aku akan ke Nusa Penida mencari sebilah tombak kuno.
     "Nusa Penida,  Pak Jawo? Tidak main-main?"
     "Ya. Mengapa?"
     “Pak Jawo tahu sendiri kan bahayanya? Tetapi jangan khawatir. Kalau ada apa-apa mintalah tolong Idayu Pedanda Stri."
     Sebenarnya Rentig tahu namaku. Tetapi orang Bali biasa memanggil seseorang dengan nama daerahnya. Maka ia memanggil aku dengan panggilan Pak Jawo. Dan nama Idayu Pedanda Stri sudah kukenal lama sekali. Sejak tahun 1963. Ia seorang "dukun" yang hebat. Perkenalan kami secara kebetulan. Kami berbicara mengenai banyak hal. Tentang hari baik, kala, tanda-tanda yang semuanya kuketahui dari primbon dan masih dipercayai oleh masyarakat Bali. Juga tentang wayang yang sangat kukuasai karena kami dari keluarga dalang. Dulu dia tinggal di Kesiman dekat Sanur. Menurut Rentig dia sekarang di Tangled, Nusa Penida.
     Ketika sudah sarapan, aku pamit kepada kawanku untuk melanjutkan perjalanku ke Nusa Penida. Aku diantar dengan colt yang juga melayani rute ke Sanur. Dari Sanur aku menyewa perahu menyeberang ke Nusa Penida. Aku agak bingung melihat "kemajuan" daerah Sanur. Begitu juga pantainya tidak seperti dulu lagi. Tetapi aku tidak mau berpikir tentang itu sekarang. Pikiranku kupusatkan ke pulau di hadapanku. Aku berada di perahu yang berlayar tenang. Laut teduh hanya diwarnai riak-riak kecil.
     Begitu mendarat di Toyapakah, aku sudah mendapat berita bahwa di sebuah tempat ada ular hitam besar. Tidak ada orang yang berani mendekatinya. Katanya ular itu galak sekali. Beberapa orang yang mendekat dipatuknya dan mati hangus. Badan korban itu menghitam. Petugas kepolisian juga gagal membunuh ular itu. Dengan tembakan senapan juga tidak mempan. Ular itu seperti besi saja layaknya.
     "Saya ingin melihat. Di mana tempatnya?" kataku kepada pemilik warung tipat (ketupat).
     "Di sebuah bukit di dekat Tangled," jawabnya.
     "Lho di sana kan ada Balian terkenal"
     "Sudah dicoba tetapi gagal." "Baiklah. Saya akan melihatnya. Hanya melihat."
     Mereka mengangkat bahu. Barangkali mereka mencibir di belakangku. Tentu mereka mengatakan aku orang Jawa yang sok. Ah, masa bodoh. Walaupun aku berbicara dengan bahasa Bali, mereka masih mengenaliku sebagai orang Jawa. Sialan. Ternyata aku kurang tajam mengucapkan huruf "t". Seharusnya aku mengatakan thidhak bukannya tidak. Huh, lidah yang doyan tempe ini.
     Aku menyewa sebuah sepeda tua. Lumayan. Kukayuh sepeda itu terseok-seok menyusuri jalan yang tidak begitu lebar. Di bahuku tergantung bungkusan bilah tombak yang kubawa dari Sala. Sore hari aku tiba di Tangled. Mencari Idayu Pedanda Stri, tidaklah sulit. Orang tua itu ternyata masih mengenali diriku. Kami berbincang-bincang sampai malam.
     Ketika aku membaringkan diri, naluriku mengatakan bahwa aku harus berhati-hati. Entah dari mana datangnya bahaya itu. Aku mempersiapkan diri. Malam itu aku tidak berbaring ketika tidur, tetapi menyandarkan diri di tempat tidur dengan mengganjal punggungku dengan bantal. Mataku setengah terpejam, tetapi hatiku tetap jaga. Aku selalu waspada. Seluruh inderaku kupusatkan sehingga tidak memecah perhatianku.
     Lewat tengah malam, dari kisi jendela kulihat cahaya cemerlang datang dari sebelah barat menuju ke tempatku. Aku meluruskan punggungku. Duduk bersila di atas bale-bale tempatku beristirahat. Begitu cahaya itu menyibak masuk, kuacungkan kedua tanganku menangkis terjangannya yang masuk ke kamar. Tampaknya hendak menerpaku. Begitu cahaya kehijauan itu bertemu dengan kedua telapak tanganku, terasa panas bukan main. Badanku bergetar hebat, hampir saja aku jatuh pingsan. Namun kukuatkan hatiku, juga semangatku. Cahaya yang masih menggantung itu kuterjang dengan kepalan kedua tanganku. Kembali rasa panas membakar lenganku. Panas di tangan menjalar ke dadaku sehingga membuat napasku sesak. Hampir aku tidak dapat menahan tindihan panas yang makin membara. Segera kuingat bahwa di telapak tanganku telah dituliskan rajah Kalacakra. Dengan memusatkan seluruh jiwaku merapal aji Kalacakra, kubuka telapak tanganku.
     Cahaya hijau itu menerjang lagi, dia kupukul dengan telapak tanganku. Cahaya yang bagaikan bola api berwarna hijau itu mental ke luar rumah. Terdengar jeritan yang menyayatkan hati. Aku tidak memburu ke luar, tetapi kembali duduk bersila mengatur napas yang sudah sempat megap-megap. Sandi-sendi tulang tanganku bagaikan lepas. Aku sadar bahwa aku sudah memakai tenaga yang berlebihan. Tidak lama kemudian Idayu Pedanda Stri memasuki kamarku yang sebenarnya sekepat yang diberi dinding.
     "Terima kasih atas bantuanmu, Nak," katanya penuh kasih sayang. Dan para pembaca jangan membayangkan bahwa Idayu Pedanda Stri ini seorang gadis jelita, remaja putri. Bukan. Beliau sudah nenek-nenek. Usianya sudah lebih dari seratus tahun. Masa jaya Kerajaan Badung masih dialaminya. Ketika Denpasar masih dikelilingi hutan. Namun ia tampak masih tegap. Tingginya seratus enam puluh lima. Terlalu tinggi bagi seorang wanita. Keriput di wajahnya memang masih menampakkan sisa kecantikan di masa lalu, gadis kasta Brahmana yang tidak lepas dari keropak berisi ilmu-ilmu kebatinan.
     "Siapa yang datang tadi?" tanyaku "Luh Sukerti. Balian Nusa Penida," jawabnya sambil mengunyah sirihnya.
     "Mengapa memusuhi Anda?"
     "Dia tidak rela titiyang tinggal di sini." Titiyang adalah sebutan untuk dirinya sendiri bagi kasta Brahmana.
     "Mengapa begitu?"
     "Luh Sukerti menghendaki Ular Hitam di Bukit Babaran."
     Aku mengeluh pendek. Rupanya mereka yang bermata tajam sudah tahu apa sebenarnya ular atau yang dihebohkan sebagai Naga Hitam oleh penduduk itu.
     "Kedatangan saya juga untuk itu," kataku kemudian.
     "Titiyang tahu. Titiyang memang menjaga agar lipi itu tidak diambil orang lain. Dewa Ratu memberikan mimpi agar titiyang menjaganya. Tetapi Luh Sukerti tidak mau tahu."
     Sebenarnya ada tanda tanya mengenai Luh Sukerti. Menurut namanya ia pasti masih gadis. Tetapi melihat kemampuannya pasti sejajar dengan Idayu Pedanda Stri. Aku tidak bertanya lebih lanjut.
     "Tinggal saja dulu di sini. Nanti pada Kajang Kelion kita ambil barang itu." Empat hari luang kugunakan untuk segala macam kegiatan. Kadang aku ikut berbasan (membaca keropak dalam bahasa Jawa Kuno yang biasanya cerita Ramayana, Mahabharata, dan lain-lain) di rumah Kelian (Kepala Kampung). Kadang bertukar pikiran dengan beberapa orang pemuda yang sedang mempelajari perihal wayang kulit. Tentu saja aku sangat senang sebab aku juga menyenangi kesenian itu. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku dari keluarga dalang.
     Pada hari Kajang Kelion aku menuju ke tempat Ular Hitam yang dihebohkan itu berada. Kebetulan waktu itu sedang purnama, langit sangat cerah. Aku berjalan sambil menenteng bilah tombak yang berada di dalam bungkusan kain flanel. Jalan setapak yang kulewati cukup baik. Idayu Pedanda Stri yang berjalan di depan terus saja melangkah tanpa berbicara atau menoleh kepadaku. Jalannya masih tegap. Tidak kudengar napas yang memburu. Aku harus mengacungkan jempol kepada wanita tua itu.
     Ketika tiba di lereng sebuah bukit, kami membelok ke selatan. Di sana tumbuhan cukup banyak. Pepohonan besar tumbuh dengan subur. Ketika tiba di dekat sebuah gua, Idayu Pedanda Stri memberi isyarat agar aku masuk. Mulut gua yang diterangi cahaya bulan memudahkan aku mencapainya. Dari cahaya putih yang memantul, jelas bahwa ini gua kapur. Setapak demi setapak aku masuk ke dalam gua yang gelap. Aku berhati-hati. Kuacungkan bilah tombak itu di depan.
     Setelah berjalan beberapa saat, terlihat berkas cahaya yang masuk ke gua. Rupanya ada celah di atas. Kini dengan jelas tampak seluruh ruangan. Di sebuah ceruk kulihat benda hitam besar menggeliat. Dua cahaya hijau cemerlang. Ketika mataku sudah biasa di dalam keadaan remang-remang, dapat kupastikan bahwa benda hitam itu adalah ular. Ya, ular yang besar. Bilah tombak di tanganku kugenggam erat-erat. Bilah itu terasa menggeliat juga.
     Tiba-tiba bilah tombak di tanganku meluncur, menerjang ke depan. Dan yang kulihat sungguh menakjubkan. Kini terlihat dua ekor ular besar yang saling melilit. Entah berkelahi, entah melepaskan rindu. Tetapi keduanya tidak saling menggigit. Tampak jelas betapa erotiknya gerakan keduanya Kini aku dapat memastikan bahwa keduanya sedang melepas rindu.
     Gerakannya makin lama makin hebat. Lilitan makin tak teratur. Cepat sekali. Lalu, dengan tiba-tiba keduanya meregang, dan ... berhenti diam. Begitu kuperhatikan, kedua ekor ular besar itu sudah tidak kelihatan lagi. Kuberanikan diri mendekat. Di tempat itu kini menggeletak dua bilah mata tombak. Kuambil keduanya, kubungkus dengan kain flanel yang kubawa. Di luar gua aku disambut oleh Idayu Padanda Stri yang tersenyum penuh kemenangan.
cerita Murhono HS
terbit di Majalah Senang no.00534, thn 1982 

     Bagi penduduk desa Menara Jati dan sekitarnya yang jauh dari pusat kota, nama Bang Bolang sudah tak asing lagi. Sebab nama Bolang merupakan momok bagi masyarakat di sana. Bolang yang memiliki ilmu silat yang tinggi serta sempurna. Ditambah lagi dengan ilmu kebal yang dimilikinya ia berbuat sekehendak hatinya. Segala ucapan yang keluar dari mulutnya, merupakan perintah yang tak boleh dilanggar. Dan apabila ada yang coba-coba melanggar perintah Bang Bolang, sama saja dengan mengantarkan nyawa dengan suka rela.
     Puluhan kaki tangannya bertebaran di desa Menara Jati dan desa-desa sekitarnya. Mereka menyamar sebagai pedagang untuk dapat berbaur dengan masyarakat yang sedang berada di pasar kalau-kalau mereka bercerita buruk tentang majikan mereka, Bang Bolang yang gagah. Sementara itu kaki tangan Bolang yang menjadi petani akan memasang kuping tajam-tajam, jangan sampai ada pembicaraan di kalangan kuli-sawah itu yang menjelek-jelekkan nama Bolang. Kalaupun ada yang berani untuk berbisik-bisik tentang sepak terjang Bolang, maka tak salah lagi jika alamat buruk pasti menimpanya.
     Tindakan yang sering dilakukan Bolang dan anak-anak buahnya bukan tak diketahui oleh Pak Somad yang menjadi Lurah sejak beberapa tahun yang lalu di desa Menara Jati. Tetapi apa hendak dikata? Pak Somad yang sudah setengah tua itu tak dapat berkutik oleh ancaman-ancaman yang ditujukan kepadanya oleh Bolang. Apalagi Pak Somad tidak memiliki sedikitpun kepandaian silat yang mungkin saja dapat diandalkan untuk merobohkan Bolang. Maka daripada menanggung risiko yang lebih parah, baik bagi keluarganya maupun terhadap dirinya sendiri, mau tak mau sang kepala desa yang setengah tua itu menutup mata saja atas segala tindak kriminal yang dilakukan Bolang di wilayah desa kekuasaannya.
     Jalan lain bukan tak pernah ditempuh oleh Pak Somad dalam usahanya menumpas "gerombolan" Bolang dan kawan-kawannya ini. Pernah pada suatu kesempatan ketika ia menghadiri rapat di keresidenan, masalah Bolang ini sempat dilaporkannya kepada manteri polisi yang kebetulan hadir dalam rapat itu. Tetapi sebelum laporan yang diterima dari Lurah Somad diteruskan oleh manteri polisi tadi ke kantor kores kepolisian terdekat, masyarakat tiba-tiba saja digegerkan oleh berita ditemukannya mayat pak manteri polisi di sebuah kebun tebu tak jauh dari kantor keresidenan. Agaknya di antara peserta rapat yang diadakan di kantor keresidenan tadi terdapat seorang kaki tangan Bolang yang mengetahui perbuatan lurah Somad melaporkan adanya pasukan Bolang di desa kekuasaannya. Dan pak manteri polisi yang berjanji akan meneruskan laporan lurah ke kantor kores kepolisian setempat telah dihadang terlebih dahulu oleh kaki tangan Bolang, sehingga rencana itu berantakan dan berakhir dengan kematian sang manteri polisi yang malang.
     Lurah Somad pun tak luput dari "garapan" gerombolan Bolang. Tetapi agaknya nasib baik masih melindungi Pak Somad. Bolang tak sampai mencabut nyawanya tetapi sebagai gantinya mata kiri Pak Somad buta akibat sodokan jari Bolang yang konon keras bagai besi. Sejak peristiwa itu Lurah Somad terpaksa hanya menarik napas panjang saja setiap menerima laporan dari warga desanya bahwa ia telah dirampok atau dianiaya oleh anak buah Bolang. Sebab menindak salah seorang anak buah Bolang yang merampok sama saja artinya dengan menantang Bolang.
    Begitulah keadaan desa Menara Jati selama beberapa tahun. Tak seorang pun yang berani coba-coba menjadi pahlawan untuk menumpas Bolang dan kawan-kawannya yang kian hari semakin merajalela. Julukan yang kini disandang oleh Bolang adalah "Bolang si Sambar Nyawa". Dan julukan itu memang bukan kosong belaka, sebab Bolang tak membedakan antara pohon kayu dan leher manusia yang dibencinya. Setiap ia merasa dihalangi dalam setiap tindakannya, maka golok yang setiap saat selalu bertengger di pinggangnya tak segan-segan membabat hingga putus kepala musuhnya.
     Tindakan jahat komplotan Bolang yang merajalela di Menara Jati dan desa-desa sekitamya memang sudah terlewat batas dan tak berperikemanusiaan lagi. Mereka memporak-porandakan rumah mangsanya tanpa pandang bulu bila ada informasi yang masuk bahwa seorang penduduk baru saja menjual hasil panennya, atau baru saja menjual temak mereka. Petugas keamanan desa tak ubahnya laksana tonggak-tonggak mati yang tak berdaya berbuat apa-apa atas gerombolan Bolang itu.
    Segala macam jenis senjata tajam tak berarti bagi kulit Bolang. Sedangkan peluru pun tak mampu menembus kulitnya. Hal ini pernah didemonstrasikan Bolang sendiri pada suatu sore di sebuah tanah lapang. Seorang anak buah Bolang disuruh menembak dada dan punggung Bolang dengan senapan yang dimiliki komplotannya. Suara dar... dar...do... yang berasal dari moncong senjata panjang itu tak satu pun yang menembus kulit Bolang. Timah-timah panas tadi tampak jelas di mata penduduk desa Menara Jati, jatuh satu per satu di tanah tepat di kaki Bolang. Sementara itu Bolang hanya tertawa saja memandangi peluru-peluru itu. "Apa kalian kira ini peluru mainan  hah..!!! Kalau tak percaya coba kemarikan kambingmu itu", kata Bolang sambil menunjuk kepada seorang bocah angon yang membawa beberapa ekor kambing gembalaannya sambil menonton demonstrasi Bolang. Meskipun dengan suara yang sendu dan tangis yang pilu, si bocah angon mempertahankan kambingnya agar tidak ditembak, tetapi tanpa ragu-ragu salah seorang anak buah Bolang menyeret seekor kambing ke tengah lapangan. Dan tak lama kemudian kambing yang malang itu sudah tergeletak di tanah tanpa nyawa, ditembus peluru yang berasal dari senjata yang kini dipegang oleh Bolang. "Nah... siapa lagi yang masih mengira bahwa ini senjata mainan anak-anak? Kalau mau coba silakan, akan kubuat ia melingkar di tanah seperti kambing itu", kata Bolang sambil tertawa mengakak meninggalkan lapangan. Baru beberapa langkah Bolang melangkah seorang anak buahnya melemparkan golok ke arah Bolang tetapi golok itu tak berhasil juga melukai kulitnya. Bahkan sebaliknya si pelempar golok tadi terjerit sekeras-kerasnya ketika Bolang membabat sebelah kakinya hingga buntung.
     Sementara si anak buah yang dibabat kakinya itu terlolong-lolong kesakitan, Bolang dengan gaya yang acuh tak acuh melemparkan setumpuk uang, " Nih untuk bayar dokter, jangan lupa kalau sudah sembuh cepat datang ke rumahku, mengerti..!" Setelah itu ia pun berlalu dengan iringan mata yang heran serta dendam yang membara dari penduduk desa Menara Jati. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan? Sebab demonstrasi yang diperagakan oleh Bolang telah membuat keyakinan yang lebih mendalam di hati penduduk desa itu, bahwasanya Bolang tak mungkin dapat ditundukkan oleh siapa pun. Hingga detik ini belum ada yang berhasil membuka tabir rahasia tentang kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Bolang, dan azimat apa gerangan yang dipakainya untuk menahan tajamnya golok serta tahan tembus peluru. Dan Bolang tak pernah menyangka bahwa di antara anak buahnya yang telah dianggapnya setia ternyata ada juga di antaranya yang berusaha untuk mengetahui rahasia kekebalan Bolang. Segala ikhtiar telah mereka lakukan untuk mencapai maksud ini, tetapi semua dukun yang dihu¬bungi dan dimintakan pertolongan, selalu mengatakan,"Wah ... ilmunya terlalu tinggi, aku tak mampu melawannya. Jarang orang yang kuat memegang ilmu yang dimiliki oleh Bolang". Sehingga mereka tak berani lagi coba-coba mengkhianati majikannya yang menurut beberapa dukun tadi mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Bahkan kini sebaliknya, mereka semakin sewenang-wenang dalam melakukan tindakan kejahatan sebab di dalam benak mereka tersimpan keyakinan bahwa tak ada yang berani menghalangi apa pun yang mereka perbuat. Sebab itu berarti harus berhadapan dengan majikan mereka yang kebal dan digjaya.
     Pada suatu hari di desa Meranti Jajar diadakan pesta perkawinan antara putri Pak Carik desa dengan seorang pemuda pendatang yang konon baru pulang dari menuntut ilmu di sebuah pesantren.
     Pesta itu demikian meriahnya, dan tamu yang diundang oleh Pak Carik bukan saja dari desa Meranti Jajar saja, melainkan hampir semua kepala desa dari desa-desa tetangga. Di antara kepala desa yang diundang itu termasuk Lurah Somad, yang menjadi kepala desa Menara Jati. Selain itu aparat pemerintah sekitamya pun tak lupa turut dimintai kehadiran-nya untuk memberikan doa restu kepada mempelai, Pak Wedana, Pak Camat dan tak ketinggalan Komandan Resort Kepolisian setempat pun turut hadir di keriyaan itu.
     Letnan Satu Polisi Amran yang saat itu memimpin Kores setempat malam itu tampak hadir dengan mengenakan baju safari abu-abu. Ia datang bersama beberapa bawahannya yang juga kebetulan diundang oleh Pak Carik. Suasana pesta perkawinan putri Pak Carik pada malam itu begitu meriahnya. Tarian khas daerah setempat yang berupa tayuban serta pencak silat turut mewarnai pesta. Sesekali para undangan dibuat tertawa oleh ulah rombongan dagelan yang malam itu turut dihadirkan.

     Tiba-tiba saja segala kemeriahan serta kegembiraan pesta itu terhenti mendadak. Segerombolan orang yang berwajah kasar dengan pakaian ala warok memasuki arena pesta itu. Pak Carik yang belum mengetahui siapa tamu yang tak diundang itu tiba-tiba saja berdiri mendekati mereka. "Maaf Saudara-saudara, kalau boleh tahu siapakah sebenarnya ki sanak semua ini? Sebab saya merasa tak mengenal ki sanak semua, atau mungkin ki sanak diundang datang ke pesta perkawinan, tetapi telah salah alamat?" ujar Pak Carik dengan suara yang diramah-ramahkan tetapi jelas menahan marah karena merasa dibuat malu oleh "tamu tak diundang" ini. Apalagi di depan para undangan yang rata-rata orang terhormat dan mempunyai kedudukan.
     "Jadi kalau kami mau ikut nandak di sini apa tak boleh? Diundang atau tidak, bagi kami bukan urusanmu. Yang penting kami mau senang, apa tidak boleh?" Jawab salah seorang dari tamu tak diundang tadi dengan tangan yang memelintir kumis tebalnya. Sementara itu Pak Lurah Somad yang telah maklum siapa yang datang itu, diam-diam bangkit dari kursinya dan pergi menghilang entah ke mana, sebab ia tak mau peristiwa yang membuat matanya cacat terulang kembali.
     Para tamu yang menyaksikan adegan ini pun mulai banyak yang berkerumun di sekeliling Pak Carik dan rombongan tadi. Merasa ditantang begitu di hadapan tamu-tamunya, maka tak ayal lagi tangan Pak Carik melayang singgah ke muka si penantang.
     Suasana yang tadinya meriah oleh gelak tawa serta sindiran-sindiran menggoda kedua mempelai, kini berubah menjadi arena perkelahian massal antara rombongan tak diundang dengan undangan laki-laki yang merasa harus membantu Pak Carik .sebagai tuan rumah.
     Tiba-tiba saja terdengar teriakan menggeledek dari sebuah arah yang agak gelap oleh rimbunnya pohon jambu cangkokan.
     "Berhenti..., semuanya mundur..., biar aku yang menghadapi kecoa tua itu". Bersamaan dengan hilangnya suara menggeledek tadi di tengah-tengah tenda pesta telah berdiri sesosok tubuh tegap dengan kumis melintang. Mendadak wajah Pak Carik menjadi pucat setelah maklum siapa yang berdiri di hadapannya. Tetapi sebelum sempat ia berpikir jauh, sebuah tamparan yang sangat keras telah mendarat di pipinya hingga ia jatuh tersungkur ke tanah dan seterusnya pingsan.
     "Siapa yang mau coba-coba dengan Bolang, heh..!   Silakan maju, jangan satu-satu tetapi sekaligus semuanya saja", tantang Bolang dengan pongahnya.
     Letnan Amran segera mengambil tindakan pengamanan.
     "Nama Anda Bolang? Kenalkan saya Letnan Amran, Komandan Resort Kepolisian di daerah ini. Saya harap Anda segera menghentikan tindakan main hakim sendiri, dan saya harap Anda ikut saya ke kantor polisi", ujar Letnan Amran penuh wibawa.
     Bolang bukanlah Bolang bila ia harus mundur atau ciut dengan orang seperti Letnan Amran yang berpotongan peragawan itu.
     "Oh... kau polisi, ya? Kalau kau mau pulang ke kantormu malam-malam begini, pulanglah. Mengapa harus ajak-ajak orang lain?" jawab Bolang dengan memandang sinis serta menganggap rendah kepada Letnan Amran. Tanpa banyak tanya lagi tangan Letnan Amran segera melayang ke pipi Bolang dengan kerasnya, sebab ia merasa tersinggung serta merasa wibawanya sebagai seorang abdi hukum telah dihina dan diejek di muka umum serta masyarakat yang harus diayominya.
     Bolang yang menerima pukulan Letnan Amran, bukannya mengelak tetapi malah tertawa terpingkal-pingkal sambil terus menyodorkan wajahnya. Dan ketika Letnan Amran bermaksud mengulangi lagi pukulannya untuk kedua kalinya, tiba-tiba saja siku Bolang telah mendarat di tulang iganya sehingga ia tersungkur jatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu Letnan Amran bangkit dan langsung mencabut pistol yang sejak tadi telah disiapkan di pinggangnya.
     Dor... dor... dor... , senjata di tangan Letnan Amran menyalak, dan moncongnya tepat diarahkan ke dada Bolang. Sebab Letnan Amran telah mengetahui siapa sebenamya Bolang. Ia telah banyak mendengar tentang tingkah laku Bolang yang meneror masyarakat selama ini. Selain itu ia masih sempat dibisiki oleh Lurah Somad yang lari menghilang tadi bahwa inilah orang yang bernama Bolang. Hingga Letnan Amran bertekad membekuknya.
     "Kalau perlu pergunakan senjatamu". Itu pesan Kolonel Iskak yang masih diingatnya. Perintah itu diterimanya saat ia mengikuti brifing di markas besar, sebelum ia menyusup ke daerah operasi Bolang dengan mengangkatnya sebagai komandan resort untuk sementara. Sebab sebenarnya Letnan Amran adalah anggota Team Anti Bandit dari pusat.
     Itulah sebabnya mengapa Letnan Amran berani mengarahkan moncong pistolnya langsung !ke dada Bolang. Suara letusan senjata api itu membuat semakin paniknya keadaan pesta Pak Carik. Pekikan dari perempuan serta tangis•anak-anak mewarnai suasana gaduh tadi. Tetapi Bolang ternyata tetap berdiri tegar di hadapan Letnan Amran.
     "Kalau perlu habiskan saja peluru di pistolmu itu", ujar Bolang sambil kembali melayangkan sebuah pukulan ke arah muka Letnan Amran mengakibatkan pistolnya terjatuh. Di saat semua orang yang berada di situ terkesima, tak terkecuali Letnan Amran sendiri, tiba-tiba Saleh yang saat itu sedang jadi mempelai, datang ke arah Bolang dengan sikap yang tenang tetapi pasti.
     "Hai Bolang.., kami tak pernah mengganggumu dan anak buahmu tetapi mengapa kau membuat kacau tempat ini? Kalau kau benar-benar jagoan lawanlah aku" ujar Saleh sambil terus mencelat menjauhi arena "pertempuran" tadi dan mengambil ancang-ancang siap tempur di halaman rumah yang tak tertutup terpal.
     Merasa ditantang, darah Bolang menjadi mendidih. Selama bertahun-tahun ia menjadi "biang kerok", belum ada seorang pun yang berani menantangnya duel, apalagi tantangan itu diajukan oleh seorang pemuda yang dianggapnya masih ingusan dan di depan anak buahnya yang kini berbaur dengan penduduk setempat menjadi penonton pertarungan satu lawan satu ini.
     Pertarungan antara Saleh dan Bolang berjalan cukup seru. Meskipun Ratih yang mempelai wanita sudah berteriak-teriak ke arah Saleh agar mundur saja, karena menurutnya .suaminya tak akan mampu menumbangkan Bolang yang tahan senjata tajam dan peluru itu. Tetapi Saleh tak peduli dengan teriakan bidadari yang baru saja menjadi istrinya. Bahkan ia merasa saat inilah ia memberikan "kado" paling istimewa bagi istrinya di pesta perkawinan mereka.
     Jurus demi jurus telah berlalu tetapi belum ada yang tahu pasti siapa di antara mereka yang akan memenangkan pertarungan itu, sebab tampaknya keduanya sama-sama tegar dan sama-sama memiliki ilmu silat yang tinggi. Bolang pun diam-diam merasa takjub kepada "pemuda ingusan" yang menjadi lawannya ini. Sebab belum pernah ia menemukan lawan yang seimbang dalam setiap pertarungan sejak ia turun gunung berguru kepada seorang dukun yang menganut ilmu hitam.
     Pada suatu saat Saleh berhasil dijatuhkan oleh Bolang, pukulan kirinya telak mengenai dada Saleh. Darah segar mengalir dari mulut Saleh. Ratih yang menyaksikan hal itu langsung pingsan. Bolang yang merasa telah menang di atas angin tertawa membahana.
     "Baru seujung kuku kepandaian silatmu bocah ingusan, sudah berani menantang aku, hah..!" katanya dan kembali suara tawanya yang menggelegar terdengar nyaring.
     Tetapi tanpa diduga, tiba-tiba saja Saleh bangkit secepat kilat dan langsung menghunjamkan "senjata"nya yang berrupa tusukan sate yang telah dipakai. Bolang yang tak menduga hal ini, tak sempat lagi menghindar dan jagoan yang ditakuti oleh penduduk itu ambruk ke bumi dengan darah yang mengalir dari lubang bekas tusukan sate yang dilancarkan Saleh tadi. Sebelum sempat menggeliat untuk membalas kembali tusukan sate di tangan Saleh beraksi dan menancap tepat di pusarnya. Dan kali ini diiringi dengan ucapan yang menye¬but asma Tuhan.
     "Asal dari tanah, kembalilah ke tanah, Allah hu Akbar...! Allah hu Akbar..! Dan kembali tusukan sate terbenam ke pusar Bolang setelah terlebih dahulu ditikamkan ke dalam tanah sebanyak tiga kali. Anak buah Bolang yang tadi tertegun menyaksikan adegan sadis itu tanpa banyak bicara lagi langsung melarikan diri. Tapi Letnan Amran yang telah siuman dari pingsannya dan menyaksikan jalannya pertarungan itu segera mengambil tindakan. Dengan memerintahkan anak buahnya serta dibantu oleh masyarakat yang hadir, mereka ramai-ramai mengepung sisa anak buah Bolang. Hingga mereka tertangkap, dan ada beberapa di antaranya yang babak-belur dihajar massa. Baru setelah itu diserahkan kepada Letnan Amran dan membawa mereka ke kantor polisi terdekat.
     Sementara itu Bolang sang jagoan yang kini tak berkutik lagi, telah membuat pemandangan yang mengerikan bagi mereka yang menyaksikannya. Dari seluruh tubuhnya bermunculan lubang-lubang bekas peluru dan bekas-bekas bacokan senjata tajam. Anehnya tak setetes pun darah yang mengalir dari lubang serta bekas bacokan itu. Yang keluar darah hanya dari luka bekas tusukan sate yang dilancarkan oleh Saleh tadi.
     "Rupanya ia menganut iimu karang dan ilmu tameng waja, " menjelaskan Saleh kepada para hadirin yang ada. Ilmu karang dan ilmu tameng waja adalah suatu ilmu yang anti akan senjata tajam serta kebal terhadap senjata apa saja yang diciptakan oleh manusia. Sedangkan mereka yang memiliki ilmu karang, walau sudah mati jasadnya tak akan hancur selamanya, kecuali ilmu yang dipegangnya itu dicabut terlebih dahulu oleh "guru" yang memberikannya. Tetapi jika ilmunya tak sempat dikeluarkan, maka rambut serta kuku dan giginya akan tetap tumbuh memanjang seperti biasa.
     Kini desa Menara Jati dan desa-desa sekitarnya sudah aman dari teror Bolang. Kewibawaan Pak Somad sebagai lurah di desa yang telah dipimpinnya selama bertahun-tahun kini tampak kembali. Dan karena jasa-jasanya yang secara tak sengaja telah menumpas habis komplotan Bolang atas daulat masyarakat desa Meranti Jajar, serta bantuan suara dari beberapa golongan yang merasa berutang budi atas kematian Bolang, Saleh yang ternyata adalah salah seorang murid dari seorang guru aliran putih di sebuah tempat terpencil, diangkat men¬jadi lurah di desa Meranti Jajar. Lalu un¬tuk mempererat hubungan antara Lurah Somad dengan Carik dari Meranti Jajar, desa itu digabung menjadi satu. Tentu saja atas persetujuan pemerintah.
     Nama kedua desa yang digabung itu lalu diubah menjadi desa Jati Jajar. Dan yang menjadi kepala desanya adalah Saleh, sedangkan Pak Somad diangkat menjadi penasihat. Pak Carik yang mertua Saleh tetap di jabatannya semula sebagai Carik abadi.
diterbitkan dalam bentuk hardcopy 
di majalah SENANG 0530, th 1982.

     Sudah lama Dolah bermaksud untuk berumah tangga dan sudah enam orang pula gadis yang dilamarnya. Namun hasilnya selalu sama, tak seorang pun di antara mereka yang mau menerima lamarannya. Alasan mereka bermacam-macam. Ada yang mengatakan belum mau berumah tangga, dan ada pula yang mengatakan mau mengaji dulu sampai tamat. Bahkan ada juga yang menolak lamarannya secara terus terang.
     Meskipun gadis-gadis yang dilamarnya memberikan alasan bermacam-macam, ia tahu gadis-gadis itu tidak menyukainya. Seperti Latifah, anak Toke Ali, ia mengatakan belum bersedia berumah tangga karena mau mengaji dulu sampai tamat. Tetapi ketika Hasbi, anak Haji Sulaiman melamarnya, gadis berkulit sawo matang itu tidak memberikan alasan apa-apa dan mau diperistri pemuda alim itu. Begitu juga dengan lima orang gadis lain yang pernah dilamar olehnya, sekarang semuanya sudah bersuami.
     Walaupun keenam gadis itu menolak lamarannya, ia tidak merasa kecewa dan sakit hati. la berpendapat, sesuatu tak mungkin akan terjadi bila Yang Mahaesa tidak menghendakinya. Demikian pula masalah jodoh, hanya Allah yang menentukannya, sedangkan manusia hanya bisa berusaha. Demikianlah pikiran yang terlintas di benaknya setiap kali ia gagal melamar seorang gadis, sehingga ia tidak merasa kecewa dan sakit hati kepada gadis-gadis itu. Di samping berpikir demikian, ia mempunyai sifat yang jarang dimiliki oleh pemuda-pemuda lain.
     Biasanya seorang pemuda yang sudah beberapa kali gagal melamar seorang gadis, maka semangatnya akan mengendur dan merasa malu kepada kawan-kawannya. Tetapi Dolah tidak. la tidak merasa kecewa dan semangatnya tidak patah, meskipun sudah enam kali mengalami kegagalan. Bahkan setelah gadis pertama menolak lamarannya, ia melamar lagi gadis lain yang lebih dari gadis itu, baik dari segi kecantikan wajahnya, maupun kekayaan orang tuanya. Memang gadis-gadis yang demikianlah yang selalu menjadi pilihannya. Ia tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang pemuda yang tidak pantas beristrikan wanita tingkat tinggi. Bayangkan, sudah wajahnya tidak tampan, pakaiannya kusut-masai, sekolahnya tidak tamat SD, malas lagi. Tetapi kini ia melamar lagi gadis yang ketujuh. Pilihannya kali ini jatuh pada Nurhayati, anak tunggal Haji Ismail yang juga kepala kampung di kampung itu.
     Mendengar yang disuruh lamar olehnya adalah Nurhayati, maka Peutua Bidin yang dikenal di kampung itu sebagai teulangke (penghubung dalam masalah pinang-meminang di geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir, mengapa orang seperti Dolah berani menyuruh lamar Nurhayati sebagai calon istrinya. Tetapi ia yakin, Haji Ismail pasti tak akan sudi menerima Dolah sebagai menantunya. Bahkan orang yang tak banyak bicara itu akan merasa tersinggung dan sakit hati kepada teulangke yang melamar anak gadisnya untuk pemuda malas itu. Oleh karena itu Peutua Bidin tak berani menyampaikan maksud Dolah kepada Haji Ismail.
     Ia takut akan dilabrak oleh Haji Ismail bila melamar Nurhayati untuk Dolah. Dan ia takut pula hubungannya yang begitu baik dengan Haji Ismail akan retak, bila orang seperti Dolah yang dibawakannya sebagai calon suami Nurhayati.
     Teringat akan hal-hal itu, maka Peutua Bidin tetap pada pendiriannya, tak mau membantu Dolah kali ini. Tetapi demi menjaga supaya anak muda itu tidak tersinggung, maka ia tidak mengutarakan hal itu kepada Dolah. Dan ia memberikan alasan kepada anak muda itu.
     "Begini, Dolah" kata Peutua Bidin, "bukan aku tidak mau melamar Nurhayati untukmu. Tetapi ketahuilah, aku tidak boleh melakukan pekerjaan yang sama untuk orang yang sama pula, bila sudah enam kali mengalami kegagalan. Kalau aku melakukannya juga, maka arwah orang tuaku akan marah dan sesuatu yang tidak kuharapkan akan menimpa diriku."
     "Jadi Bapak tidak mau melamar Nurhayati untukku, bukan?" tanya Dolah.
     "Bukan aku tidak mau, Dolah. Tetapi begitulah pesan ayahku ketika beliau masih hidup. Bukankah sudah enam kali aku membantumu?"
     Dolah menganggukkan kepalanya, "Jadi, siapa lagi yang bisa melakukannya, Pak?"
     "Suruh saja si Amin! Kukira ia sanggup juga melakukannya."
     "Tetapi ia masih muda, Pak," potong Dolah cepat.
     "Itu tidak menjadi masalah, Dolah. Yang penting orangnya jujur dan bijaksana:"
     "Bapak kira, bersediakah si Nur itu menjadi istriku?"
     "Belum tentu tidak, Dolah. Yang penting kau melamarnya dulu. Kalau ia mau, kau beruntung. Tetapi jika ia tidak mau, kau tidak akan merasa rugi, bukan?"
     Dolah mengangguk lagi dan menyalami Peutua Bidin. "Terima kasih, Pak," ucapnya. Kemudian ia pun meninggalkan orang tua itu dan pergi ke rumah Amin.
     Keesokan harinya ia betul-betul merasa kecewa. Bukan karena lamarannya ditolak, sebab hal itu sudah merupakan biasa baginya. Tetapi karena Nurhayati bukan saja menolak lamarannya, bahkan menghinanya pula. Gadis itu mengatakan terus terang kepada Amin, ia tidak mau menerima seorang pemalas sebagai suaminya.
     Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, betapa kesal dan kecewanya Dolah dihina begitu oleh Nurhayati. Namun entah mengapa , ia tidak merasa sakit hati kepada gadis yang telah menghinanya. Malahan masih juga ia mengharapkan agar Nurhayati sudi menjadi istrinya. Dan wajah Nurhayati selalu mengganggu tidurnya, sehingga sulit rasanya melupakan gadis itu. Tetapi apakah dayanya? Dolah bertepuk sebelah tangan.
     Tiga bulan telah berlalu, tetapi Dolah belum juga berumah tangga. Begitu juga Nurhayati, ia belum bersuami. Namun bukan karena tidak ada pemuda yang datang melamarnya. Sungguh banyak pemuda yang telah mencoba untuk mendapatkan cinta gadis tinggi langsing itu, tetapi belum ada seorang pun di antara mereka yang berkenan di hatinya.
     Mengetahui Nurhayati belum bersuami juga, maka diam-diam Dolah menyusun sebuah rencana untuk menggaet gadis itu. Entah mengapa, baru sekarang ia teringat pada Pawang Leman, seorang kampung seberang. Padahal ia kenal betul kepada orang yang bisa membuat seorang wanita mencintai laki-laki yang paling dibencinya. Teringat kepada orang tua itu, ia bersiul-siul kecil tanda gembira. Betapa tidak, dengan bantuan orang tua itu ia akan berhasil memperoleh cinta dari gadis yang paling dikaguminya. Dan tanpa menunggu esok hari, ia segera pergi ke kampung seberang untuk menjumpai Pawang Leman. Tetapi Dolah merasa kecewa karena orang yang memiliki "ilmu pekasih" itu sedang tidak berada di rumahnya. Menurut keterangan istrinya, sudah tiga minggu Pawang Leman tidak pulang ke rumahnya. Tetapi Dolah tidak memper¬oleh keterangan ke mana Pawang Leman pergi dan kapan pulangnya. Memang demikianlah sifat Pawang Leman, tidak mau memberitahukan kepada siapa pun ke mana ia pergi dan kapan ia pulang.
     Suatu sore Dolah sedang berada di semak-semak kecil, tidak begitu jauh dari rumahnya. Saat itu ia sedang mengintai sepasang tupai yang berkejar-kejaran di sebatang pohon kayu besar. Tetapi ia belum juga menembakkan anak panahnya, karena binatang pengerat itu terus berkejar-kejaran. Maka Dolah berjalan niengendap-endap, sambil matanya tidak berkedip mengikuti ke mana pun tupai itu berlari.
     "Asyik sekali tampaknya, ada apa, Dolah?" tiba-tiba sebuah suara menegurnya.
     Dolah tersentak dan menoleh ke arah datangnya suara itu.
     "Ah, Pawang, Kupikir setan yang menegurku tadi," katanya, "Dari mana, Pawang?"
     "Dari jauh," jawab orang tua 'itu, "Kau sedang apa?"
     "Memburu tupai. Aku sedang kesal, Pawang."
     "Mengapa?"
     "Gara-gara si Nur anak Haji Ismail, Pawang."
     "Ada apa dengannya?"
     "Ia menolak lamaranku" "Ah...cari saja gadis lain... mengapa?"
     "Tidak bisa, Pawang. Aku, mencintainya."
     "Usahakan untuk melupakannya!"
     ”Tak mungkin, Pawang. Karena ia telah menghinaku pula dengan mengatakan aku ini pemalas." .
     "Jadi kau tidak merasa sakit hati dikatakan begitu?" tanya Pawang Leman dengan nada heran.
     "Tidak, Pawang. Bahkan karena penghinaan itulah, maka niatku untuk memperoleh cintanya semakin bertam¬bah besar pula."
     Mendengar penjelasan Dolah, Pawang Leman semakin heran. la tak habis mengerti, mengapa sifat anak muda itu lain dari yang lain.
     "Tetapi mana mungkin lagi kau memperoleh cintanya, Dolah? Bukankah ia sudah jelas menolak lamaranmu?" katanya kemudian.
     Dolah menarik napas dalam-dalam dan menatap wajah orang tua itu lamat-lamat.
     Ya, Dolah. Tak mungkin lagi kau akan mendapatkan cinta dari gadis itu," kata Pawang Leman lagi
     "Tetapi Pawang mau membantuku, bukan? "tanya Dolah.
     Orang tua itu tersenyum, "Dengan cara memakai ilmu pekasih?" tanyanya.
     Dolah mengangguk.
     "Percuma, Dolah. Karena kalau besok aku mati, maka ia akan membencimu kembali lebih dari yang sudah-sudah. Bahkan ia akan meracunimu. Kau tidak mengharapkan yang demikian akan terjadi, bukan?"
     Dolah mengangguk lagi, "Jadi tidak ada yang bisa kekal untuk selama-lamanya, Pawang?"
     "Ada juga. Yaitu dengan cara kau mengamalkan ilmu pekasih itu."
     "Berikan kepadaku, Pawang!" kata Dolah girang.
     "Tetapi syaratnya sangat berat. Kurasa kau tak akan sanggup memperoleh ilmu ini, Dolah."
     "Berapa harganya? Aku bersedia membelinya, Pawang."
     "Bukan soal uang, Dolah. Tetapi syaratnya yang membuat kau tak akan berani untuk mendapatkan ilmu yang satu ini," kata Pawang Leman menjelaskan, "Kalau harganya satu mayam emas sudah cukup."
     "Syarat-syaratnya apa saja, Pawang?"
     Orang tua itu menatap tajam ke mata Dolah, seakan-akan ingin menilai sampai di mana keberanian anak muda itu. Kemudian ia berkata, "Pertama kau harus memberikan kepadaku satu mayam emas sebagai uang kehormatan. Syarat kedua kau harus dapat menghapal di luar kepala semua mantra yang kuajarkan kepadamu. Yang ketiga kau tidak boleh memakai ilmu ini untuk tujuan yang tidak baik. Misalnya untuk tujuan memerkosa anak gadis orang, ataupun setelah kau mengawininya kemudian kauceraikan. Dan bila kau melakukan kedua hal ini, maka kau tak akan sanggup lagi menggauli wanita. Kurasa ini tidak berat," kata Pawang Leman sambil menyulut rokok daunnya.
     "Syarat apa yang berat, Pawang?" tanya Dolah tak sabar.
     "Yang berat adalah syarat keempat, yakni kau harus berani berada seorang diri di lereng bukit, di tengah malam buta dan tidak boleh ada sehelai benang pun yang melekat di tubuhmu."
     "Kalau berani melakukannya, berarti Nurhayati akan mencintaiku?"
     "Insya Allah. Tetapi kau harus berani pula melawan siapa saja yang datang kepadamu waktu melakukan syarat keempat ini."
     "Siapa-siapa saja yang datang, Pawang?" tanya Dolah ingin tahu.
     "Bermacam-macam, Dolah. Ada yang menyerupai harimau, buaya dan ular besar. Tetapi bila kau berani melawannya, maka ia akan memberi hormat kepadamu dan mengabulkan apa yang kauinginkan."
     Dolah mengangguk-anggukkan kepalanya. Timbul rasa takutnya membayangkan binatang buas itu. Tetapi begitu teringat kepada Nurhayati, ia bertekad juga untuk memperoleh ilmu pekasih itu dari Pawang Leman. Maka ia pun bertanya lagi, "Ada syarat-syaratnya yang lain, Pawang?"
     Pawang Leman menatap ke wajah Dolah, "Kau berani melakukannya?" Dolah mengangguk lagi.
     "Betul, Dolah?" tanya Pawang Leman lagi karena kurang yakin.
     "Betul, Pawang. Demi Nurhayati aku berani melakukan apa saja."
     Pawang Leman menepuk bahu anak muda itu, "Baiklah, Dolah. Aku mau memberikan ilmu ini kepadamu. Tetapi ingat, jangan kaupergunakan untuk tujuan yang tidak baik, ya?"
     Dolah mengangguk lagi. Kemudian ia menatap wajah Pawang Leman, ingin mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari orang tua itu.
     "Begini, Dolah," Pawang Leman melanjutkan, "Kau harus bersemadi di tengah malam sunyi tujuh malam berturut-turut, dan tidak boleh ada sehelai benang pun yang melekat di tubuhmu. Dalam semadi itu kau harus membaca berulang-ulang empat puluh empat kali mantra yang akan kuajarkan kepadamu. Pada malam pertama sampai malam keenam, memang tidak datang apa-apa dalarn semadimu. Tetapi pada malam ketujuh, datanglah godaan-godaan yang mengerikan. Namun kau tak perlu takut dan harus melawan godaan itu. Dan jika kau tidak berhasil melawannya, berarti kau tak akan berhasil pula mendapatkan Nurhayati."
     "Tetapi jika aku tidak berhasil melawan godaan itu, aku tidak akan apa-apa, bukan?" Dolah bertanya agak ragu-ragu.
     Pawang Leman tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan anak muda itu, sehingga kelihatan gigi-giginya yang benvarna kekuning-kuningan.
     Lalu ia berkata, "Memang kau tidak akan apa-apa, Dolah. Tetapi kau jangan harap mendapatkan cinta Nurhayati, bila hal yang demikian sampai terjadi." Dolah kembali mengangguk-angguklcan kepalanya, "Tetapi bagaimana, Pawang? Sekarang aku tidak mempunyai uang." Orang tua itu tersenyum, "Itu tidak mengapa, Dolah. Yang penting kau harus segera melakukan semadimu. Sebab, siapa tahu dalam beberapa hari yang akan datang ini Nurhayati menerima seorang pemuda lain. Soal emas itu nanti saja kau tunaikan."
     Dolah menyalami Pawang Leman, "Terima kasih, Pawang."
     "Terima kasih kembali, Dolah. Datanglah ke rumahku nanti malam, ya? Aku akan mengajarkan mantra-mantra tersebut kepadamu."
     “Ya, Pawang. Aku akan datang nanti selepas sembahyang isya."
     "Jangan ada orang lain yang mengetahuinya, ya?" pesan Pawang Leman sambil melangkah pulang ke rumahnya.
 * * *
     Suatu tengah malam dua minggu sesudah itu, hujan turun agak lebat, sedangkan angin bertiup tidak menentu. Kadang-kadang sepoi-sepoi basah dan kadangkala agak kencang, membuat Dolah yang sedang bersemadi seorang diri di lereng bukit di desa Sarah Panyang menjadi basah kuyup dan kedinginan, sehingga timbul niatnya untuk tidak meneruskan semadinya itu. Namun ketika teringat semadinya itu adalah malam yang ketujuh, maka ia tidak beranjak dari situ dan terus membacakan mantra berkali-kali, sambil matanya tidak berkedip memandang di kegelapan malam.
     Tiba-tiba pemandangan di depannya menjadi terang benderang, bagai ada seberkas cahaya yang meneranginya. Tiba-tiba pula ia melihat di depannya ada seekor buaya raksasa sedang merangkak ke arahnya. Anehnya buaya itu tidak seperti buaya biasa. Moncongnya runcing bagai tombak dan bercabang tiga. Di seluruh badannya tumbuh pula bulu-bulu runcing seperti bulu landak, sehingga membuat Dolah bergidik melihatnya. Namun ia tidak beranjak dari semadinya dan sudah siap pula untuk bergumul dengan binatang itu.
     Ketika buaya itu sudah dekat sekali dengannya, secepat kilat ia menerjang, sehingga binatang itu mengerang kesakitan.
     "Jangan bunuh aku, Tuan," katanya dengan suara mengiba. "Aku akan mengabulkan apa yang Tuan cita-citakan."
     "Baik. Aku tak akan membunuhmu. Tetapi kau harus menyuruh si Nurhayati anak Haji Ismail supaya ia mencintaiku!" bentak Dolah.
     "Baik, Tuan. Sekarang pun gadis itu sudah mencintaimu," kata buaya itu sambil menunduk, memberi hormat kepada Dolah. Kemudian binatang itu pun hilang dari pandangannya.
     Hujan sudah reda dan ia hendak beranjak dari situ, karena berpikir pekerjaannya sudah selesai. Tetapi tiba-tiba pula di depannya sudah berdiri seekor harimau sambil mengaum-aum. Ia jelas melihat, kepala harimau itu berwarna putih, sedangkan seluruh badannya belang-belang seperti harimau biasa. Dari kedua matanya keluar dua berkas cahaya menyorot ke arahnya, sehingga matanya menjadi silau. Tiba-tiba secepat kilat harimau itu melompat ke arahnya. Namun secepat itu pula Dolah menerjangnya, sehingga "raja hutan" itu jatuh tersungkur dan mengaduh kesakitan.
     "Jangan bunuh aku, Tuan. Aku akan memenuhi apa yang Tuan inginkan," katanya kemudian setelah ia bangkit kembali.
     "Baik. Aku tak akan membunuhmu. Tetapi syaratnya kau harus menyuruh si Nurhayati anak Haji Ismail supaya ia mencintaiku," kata Dolah seraya mengacung-acungkan tinjunya ke muka harimau itu.
     "Baik, Tuan. Sekarang pun ia sudah mencintaimu," kata harimau itu sambil memberi hormat kepada Dolah. Binatang itu pun lalu menghilang.
     Perasaan anak muda itu menjadi lega karena sudah dua kali ia berhasil menundukkan binatang buas yang menyerangnya. Sekarang apa lagi yang akan muncul? Tanyanya dalam hati sambil matanya menatap lurus ke depan.
     Tiba-tiba seekor naga bagai keluar dari dalam tanah sudah muncul di depannya. Tanpa mengulur-ulur waktu, Dolah langsung menerjangnya. Tetapi aneh, binatang itu tidak apa-apa. Bahkan naga itu tertawa, bagai tawa seorang gadis, sehingga ia penasaran, tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Sedangkan ular besar itu terus saja tertawa dan matanya yang sayu menatap mata Dolah, sehingga anak muda itu bertambah penasaran. Tetapi tiba-tiba setengah tidak sadar ia membelai punggung naga itu. Namun apa yang terjadi? Naga itu berubah bentuk menyerupai seorang gadis dan merangkulnya pula.
     "Ayo kita pulang, Bang!" pinta gadis itu sambil mengelus-elus punggung Dolah. Tetapi kemudian gadis itu hilang kembali dari pandangan Dolah. Bersamaan dengan itu, keadaan di sekelilingnya menjadi gelap kembali. Dolah sudah mengenakan pakaiannya dan sudah berdiri pula untuk melangkah pulang. Tetapi tanpa disangka-sangka dari semula, seekor ular sebesar lengan sudah melilit di tubuhnya. Mula-mula ia tidak mengira bahwa yang meliliti tubuhnya adalah benar-benar seekor ular biasa. Tetapi ketika dirasanya lilitan itu kian lama kian mengetat, maka ia berusaha melepaskannya sambil berteriak-teriak meminta tolong, sedangkan ular itu semakin mengetatkan lilitannya seraya mematuk-matuk. Untunglah Dolah telah diberi kekebalan oleh Pawang Leman. Kalau tidak, ia akan pingsan terkena bisa ular itu.
     Sudah beberapa lama Dolah bergumul dengan ular itu, sambil berusaha melepaskan lilitannya. Tetapi ular itu semakin ganas dan semakin ketat melilit tubuhnya, sehingga ia semakin susah untuk bernapas. Akhirnya ia dapat menangkap kepala ular itu dan mencekik lehernya kuat-kuat. Ular itu mengendurkan lilitannya. Pada kesempatan itulah Dolah menyelusupkan tangan kirinya antara badannya dan lilitan ular. Namun demikian, ia tidak berhasil juga melepaskan ular itu dari badannya. Maka ia menjerit-jerit meminta tolong dan berlari ke kampungnya.
     Ia sudah sampai di kampungnya dan hari sudah subuh. Ia terus berteriak-teriak meminta tolong, membuat penduduk kampung itu keheranan. Namun tidak seorang pun yang berani keluar dari rumahnya. Sedangkan Dolah terus saja berlari dan menjerit-jerit, dan sudah sampai pula di jalan kecil di depan rumah Haji Ismail.
     Mendengar jeritan meminta tolong itu, Haji Ismail yang sedang berzikir sesudah sembahyang subuh itu, cepat-cepat mengambil senter dan parang panjang, kemudian bergegas pergi ke arah orang meminta tolong itu.
     Melihat ada cahaya senter, Dolah semakin memperkeras jeritannya dan berlari ke arah orang yang memegang senter itu.
     "Tolong, Pak. Tolooong!!" teriaknya sekuat tenaga.
     Haji Ismail mengenal suara itu,
     "Mengapa kau, Dolah?" tanyanya setengah berteriak pula.
     "Tolong lepaskan aku, Pak!" teriak Dolah lagi.
     Haji Ismail sudah sampai di dekat anak muda itu dan menyorotkan cahaya senter ke arahnya.
     "Apa yang harus kulepaskan, Dolah?"
     "Tolong lepaskan ular yang melilit di tubuhku."
     "Apa kau bermimpi, Dolah?" tanya Haji Ismail sambil tertawa. "Tak ada ular yang meliliti tubuhmu."
     Dolah melihat ke tubuhnya sendiri. Memang tidak ada ular yang melilit, sehingga ia merasa malu pada Haji Ismail.
     "Apa yang telah terjadi, Bang Dolah? Sehingga kau berteriak-teriak dan seluruh tubuhmu mengucurkan keringat?" tanya Nurhayati yang tiba-tiba sudah berada di situ.
     Dolah tidak menjawab dan menatap tajam ke wajah gadis itu. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa kali ini Nurhayati memanggil kepadanya dengan sebutan Bang Dolah. Oh, betapa bahagia hatinya mendengar panggilan begitu. Karena biasanya Nurhayati memanggilnya dengan sebutan "polem" Dolah, suatu panggilan yang dianggap kurang hormat oleh anak-anak muda di Aceh.
     Keadaan hening beberapa saat karena tidak ada di antara mereka yang berbicara. Masing-masing diam membisu, seperti ada yang sedang dipikirkan. Tetapi entah apa, tak ada yang tahu.
     Tiba-tiba Dolah tersentak karena ia diajak oleh Haji Ismail untuk singgah dulu ke rumahnya. Mendengar ajakan itu, ia menjadi heran karena belum pernah Haji Ismail begitu baik kepadanya.
     "Ya, Bang. Mari singgah dulu di rumah kami! Lupakanlah apa yang telah terjadi antara kita, dan maafkanlah semua kesalahanku," kata Nurhayati menimpali.
     Dolah terpana, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun mendengar pernyataan dari gadis yang dicintainya. Tetapi hatinya merasa nyaman bagai dibelai angin surga.
     "Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, Pawang Leman," katanya dalam hati sambil mengikuti langkah Nurhayati dari belakang.
     Sebenarnyalah, kuasa Tuhan juga yang menjodohkan mereka melalui kepandaian Pawang Leman.

      Wasiat Resi :

          Gunung menyimpan sejarah tertua sebelum manusia.
          Sejarah kekuasaan makhluk yang lebih tua.
          Sungguhpun Adam ditetapkan menjadi Khalifah Utama.
          Ada juga yang bergantung kepada benang
          selemah benang sarang laba-laba ..


     Hari ini Sarman menghitung kembali hari-hari yang telah dilaluinya. Dibalik-baliknya setiap halaman kalender yang telah penuh dengan tanda silang. Dan dijumlahkannya setiap silang itu pada akhir setiap tahun yang berlalu. Dengan hati berdebar-debar keras ditotalnya,keseluruhan angka yang diperolehnya. Genap tujuh tahun, atau 2.555 hari. la berharap semoga bukan itulah angka yang tercatat di Gunung Sireum.
     Tetapi harapan itu, adalah harapan yang paling lemah. Seperti seseorang berharap matahari lebih cepat terbenam. Dan orang seperti itu akan berlindung di balik bukit, agar matahari cepat hilang dari pemandangannya. Sungguhpun matahari masih menerangi bagian bukit yang lain.
     Hitungan itu telah menyedot seluruh cahaya di tubuh Sarman. Sehingga ia tidak lebih dari seorang insan yang telah kehilangan roh Illahinya sama sekali. Semakin berangsur malam, ia semakin lunglai. Semakin lesu, seperti batang keladi didekatkan dengan panas api unggun. Terasa baginya, tak ada kodrat lain yang dapat mengubah hari-hari yang telah dilaluinya. Kecuali jika dunia kiamat malam ini, barulah mungkin ia dapat menghapus janji lain yang ditetapkan. Pukul 10 malam, ia mandi keramas bersih-bersih, dengan air yang dicampur beberapa bungkus bunga yang telah ditentukan sejak tujuh tahun yang lain. Jenis bunga itu mempunyai kodrat sebagai sarana udara yang bertalian dengan puncak Gunung Sireum.
     Selesai mandi, ia duduk di kursi menghadap ke daun pintu yang tertutup tetapi tidak dikunci. Cara ia duduk itu bukan kebetulan saja. Tetapi tepat di depan Sarman duduk jauh di sana, sebenarnya menghadap gunung yang dijelajahinya 7 tahun yang lalu bersama Rudin, Sateh, dan Garada.
     Mereka telah kaya-kaya, sungguhpun tempat mereka agak berjauhan di Bandung, Bogor, Sukabumi dan Garut. Tetapi mereka sering saling mengirim su¬rat, menghitung hari yang telah ditentukan. Dan berpikir-pikir untuk mengelak jika hari yang menakutkan itu datang juga.
     Kening Sarman yang pucat, melelehkan keringat dingin. Sedangkan gandulan jam kuno di sampingnya melenggang ke kiri dan ke kanan seperti orang menggeleng-gelengkan kepala dan merasa kasihan kepada nasib Sarman yang terakhir. Detak jantung Sarman telah lebih lambat dari detak gandulan jam dinding itu. Dengan jarum yang beringsut seperti tak dapat diiringi dengan mata. Tetapi tiba-tiba saja ia telah menunjukkan pukul 12 malam kurang 9 menit.
     Malam Jumat Kliwon. Malam saat roh didekatkan dengan kubumya. Malam alam barzah dibukakan. Dan juga malam para setan menarik orang-orang yang telah memenuhi janji untuk ke alam mereka.
     Sayup-sayup terdengar bunyi tapak kuda beradu dengan batu jalanan. Lambat tetapi pasti semakin dekat, sungguhpun langkahnya semakin pelan. Kuda itu telah turun dari kaki Gunung Sireum. Luncurannya rata, tidak mengikuti gelombang bukit dan Iurah yang dalam. Kuda gaib yang mungkin hanya Sarman saja yang dapat melihat dan merabanya. Di atasnya ada seorang berkerudung kain merah darah duduk dengan tenang, tanpa terguncang sedikit pun. Dia seorang wanita cantik berwajah putih seperti lilin. Tetapi kecantikan itu menjadi sumbang dan merindingkan bulu roma, karena rona tak berdarah seperti mayat hidup yang dipupur seperti pengantin dengan bedak tebal menghilangkan wajali aslinya. Bunyi tapak kuda itu berhenti di halaman rumah Sarman. Diiringi suatu kodrat, seluruh istri dan anaknya tertidur seperti hening orang mati. Dan udara malam mengubah ruangan rumah menjadi seperti gua-gua pengawet mayat di Toraja.
     Tiba-tiba mata wanita cantik itu memancarkan dua sorot merah bercampur biru di sekelilingnya.
     "Aku datang menjemputmu,.. Sarman. Aku istrimu," bunyi getaran suara beku dingin dari halaman. Suara itu lemah dan pasrah. Tetapi dapat menem¬bus daun pintu yang tertutup. Perlahan-lahan, diiringi oleh angin dingin yang menguakkan daun pintu. Perlahan-lahan pula Sarman memiringkan matanya ke jam gantung. Jarum pendek dan jarum panjangnya telah bersatu. Tak lama kemudian terdengar bunyi dentangan mendengung, seperti gong yang mengantarkan barisan pembakaran mayat di Bali. Bibir Sarman bergetar seperti kedinginan. Ingin rasanya ia menjawab suara itu, menolak undangan wanita cantik yang mengendarai kuda gaib di luar rumahnya itu. Tetapi sejak tujuh tahun yang lalu, Sarman sendiri sebenarnya telah meninggalkan salah situ ujung tali rohnya di Gunung Sireum. Tali roh itu telah ditancapkannya kepada putri gaib yang diakuinya sebagai istrinya di gunung itu.
    "Anak-anak kita telah menantikanmu, ... Sarman, susul suara itu lagi. "Bukankah telah genap janji, bahwa kau akan pulang hari ini?" Air mata Sarman tergenang di bola matanya. Ia sendiri tak dapat menyadari lagi, apakah makna air mata dirinya itu sendiri. Apakah air mata penyesalan, atau air mata terharu, karena akan meninggalkan istri dan anaknya yang sedang tidur nyenyak? Besok tentu semua keluarga akan heran, karena ia pergi tanpa pesan dan jejak. Raib seperti terisap oleh kekuatan langit.
     Seperti orang yang kena hipnotis perlahan-lahan Sarman melangkah ke depan pintu yang sudah terbuka. Baju panjang dan kerudung merah, berlatar belakang kegelapan malam yang pekat terlihat seperti bara neraka yang menyembul dari pusat bumi. Tersaruk-saruk Sarman menuruni tangga. Tangan pucat putih menyambutnya dari atas kuda hitam. Seperti seringan kapas, tubuh Sarman melayang ke belakang perempuan yang memegang kekang. Ketika itu gandulan jam dinding yang bergoyang tetap setia menunjukkan waktu. Tetapi tuannya sendiri telah berangkat ke alam lain... Tujuh tahun yang lalu, Sarman bersama tiga orang lain mendaki Gunung Sireum Bandung Selatan. Mereka terpengaruh oleh ajakan seorang tua berbaju hitam yang tiba-tiba muncul di kampung mereka, Sarman, Rudin, Sateh, dan Garada, menceritakan bahwa mereka pada waktu yang sama di hari yang sama pula, didatangi seseorang yang mengaku sebagai utusan dari salah satu kerajaan kaya raya di kaki gunung. Dan serentak pula mereka berhenti di sebuah warung kecil yang jaraknya hanya 1 kilometer lagi dari pendakian lereng gunung itu.
     "Aku jadi bingung," geleng Sateh, "mustahil dalam waktu yang sama utusan itu mendatangi kita. Terlebih lagi dengan bentuk dan penampilan yang serupa pula."
     "Mungkin saja,.. . sama pakaiannya dan tuanya, tetapi bukankah kita tidak mempunyai fotonya?" tukas Rudin. Berlainan dengan suasana di sebuah restoran besar di tengah kota, sebuah warung kecil di tempat sunyi, membuat orang cepat berkenalan dan akrab. Seperti mereka yang datang dari tempat yang berjauhan, menerima titah datang ke tempat yang sama, dengan tujuan yang sama pula.
     "Bapak-bapak ini .akan pergi ke Gunung Sireum, bukan?" tanya pemilik warung.
     Mereka bertiga berpandangan, dan Garada yang menyahut, "Mamang tahu juga rupanya."
     "Sudah 27 tahun aku di sini, meneruskan wasiat kakek kami yang ratusan tahun tilem ke gunung itu," jawab pemilik warung.
     "Tilem?" songsong Sateh, hampir serentak dengan suara Rudin.
     "Ya ... tilem," ulang yang punya warung lagi" Terkadang datang juga ia menjumpai anak cucunya, sekedar muncul di halaman rumah. Mewasiatkan agar warung ini tetap dibuka sepanjang malam." Mereka, baru menyadari keanehan warung yang telah puluhan tahun tetapi keadaannya tetap seperti baru itu. Dan setelah mereka berpikir bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang datang seperti mereka memenuhi panggilan yang datang ke tempat itu, keraguan mereka disaput keraguan lagi.
     "Biasanya sebelum matahari tegak kalian sudah harus berada di lereng gunung itu," kata pemilik warung yang wajahnya memendam beribu rahasia itu lagi.
     Tak disangka mereka sama sekali, gunung yang kelihatannya sederhana dari jauh itu, berisi hutan tua. Seperti tidak pernah disentuh manusia. Semak-semak setinggi kepala. Akar-akar yang berpintalan, saling rajut-merajut mengambang di atas mereka. Ada yang menghunjam ke dalam tanah, keluar kembali seperti ular besar bergulung-gulung, mencekam perasaan hati. Daun pohon-pohon besar meneduh lembab. Tak ada cahaya matahari yang sampai ke pundak mereka. Di tengah hutan belantara gelap itu sayup-sayup terdengar bunyian-bunyian seruling dan kecapi seperti sebuah pesta merayakan pengantin di zaman dulu. Terdengar pula tawa cekikikan kecil, seperti tawa gadis-gadis kecil yang bermain percikan air di tepi sungai.
     Mereka berempat saling pandang. Keseraman hutan Gunung Sireum terobat dengan bunyi musik klasik dan tawa kegelian gadis-gadis mungil itu. Terasa seperti telah berada di dalam pelukan mereka. Dada mereka bagai telah menganga, menyambut pelukan gumpalan-gumpalan daging empuk dada gadis remaja yang tiarap di pangkuan mereka dengan darah gemuruh.
     Sateh mempercepat langkahnya. Ia ingin duluan mengintip gadis-gadis yang mandi tidak berkain di dalam air. Alangkah mengasyikkan melihat kulit-kulit halus yang putih kuning di dalam air jernih. Ia ingin menerkam tubuh-tubuh itu, seperti melahap sepiring agar-agar merah yang memancing dahaga.
     Tetapi mereka tertahan di sebuah gerbang terdiri dari susunan pualam berbagai warna.
     "Itu dia orang tua yang mengundangku," ujar Sateh.
     "Dia juga yang menghubungiku," sambung Rudin
     "Memang dia yang datang kepadaku," sahut Garada pula.
     Sarman tidak perlu berkata lagi, karena memang orang tua berpakaian hitam itu juga yang menegurnya ketika ia sedang dirundung rugi besar akibat kiosnya terbakar.
     "Kedatangan cucu-cucu memang telah ditunggu", sambut lembut orang tua itu. Suara yang keluar dari mulutnya lebih besar dari bentuk tenggorokannya. Suara itu seperti bukan dari dirinya sendiri. Tetapi dari alam lain yang lebih tua dan hebat. Suara tawa kecil perempuan-perempuan tadi telah menguatkan hati mereka untuk melewati pintu gerbang. Mereka disuruh masuk ke dalam pintu-pintu seperti liang batu tersusun, yang di dalamnya terdengar bunyi gemercik air dari mulut pancuran kecil.
     Kegersangan perjalanan membuat mereka merasa seperti barisan tentara sewaan menempuh padang pasir. Mereka rindu air yang diteguk, rindu kulit wanita yang akan mereka lumat dengan pelukan-pelukan erat. Begitu masuk ke dalam pintu gerbang batu mereka disambut oleh pelukan-pelukan gadis tanpa pakaian. Bergumul mereka di atas rumput halus yang seperti permadani. Di sela-sela tawa cekikikan, palun berpalun dengan lenguh-lenguh napas yang terseret-seret panjang di tenggorokan. Tujuh hari mereka berempat tinggal di dalam kamar batu yang gelap, lengkap dengan makanan yang telah terhidang, bila mereka beristirahat menambah tenaga.
     Tujuh hari itu dibayar dengan tujuh tahun hidup ditunjang oleh alam gaib. Mereka telah meninggalkan air tulang sumsum mereka yang terhimpun di ujung tulang sulbi. Sama juga artinya mereka telah meninggalkan sejemput roh kehidupan mereka, yang pada suatu masa nanti akan mereka jemput sendiri ke tempat ini.
     Ketika mereka keluar dari kamar batu masing-masing, keadaan mereka sudah seperti binatang berkaki empat. Tak mampu berdiri, selain merangkak dengan persendian lemah dan tulang pinggang yang lunglai. Orang tua berbaju hitam dan bercelana gantung itu  melecut mereka dengan cemeti kulit ekor pari yang berduri. Cemeti itu terlihat seperti berlumur cairan kering yang merah kecoklatan, seperti darah kering. Mungkin sudah beratus orang terdahulu yang telah dilukai cemeti itu.
     "Ayoohhh, ... pergi, tunggulah di tempat-tempat yang disebutkan berikutnya, sampai waktu yang dijanjikan istri-istri kalian yang akan menjemput kalian!" hardik orang tua yang tiba-tiba berubah kasar dan buas itu. Mereka merangkak, sambil memekik-mekik diiringi bunyi cemeti seperti mercon yang mengeluarkan api. Melukai punggung dan tengkuk mereka yang tujuh hari yang lalu, bergelung di atas tubuh-tubuh wanita gaib yang menyerahkan tubuhnya. Pukulan cemeti, membuat dedaunan yang tersambar menjadi bertebaran. Sebagai gambaran pertama dari neraka alam marakayangan lain yang akan mereka tempuh di masa yang akan datang. Lutut mereka terkupas, punggung bilur-bilur pecah dihantam cemeti. Sesampainya di warung, mereka dapati warung itu tertutup, seperti tidak pernah didiami, dengan sarang laba-laba dan tanah sarang tawon yang berbuku-buku.
     "Sialan... ke mana pemilik warung tempat kita akan minta minum?" oceh Garada, kemudian mengopek darah yang mengering ditimpa panas pada lengan dan tengkuknya.
     "Mungkin dia tidak pernah ada, secara nyata," jawab Sateh.
     Sateh berdagang kayu bangunan. Yang dalam tempo setahun saja telah membuat ia menjadi orang kaya raya. Orang tidak mengetahui bagaimana caranya Sateh beruntung besar dalam usahanya. Sedangkan orang lain yang sama jenis usahanya dengan Sateh, beringsut menambah modal. Pada hari-hari tertentu, ada saja beberapa buah truk membongkar kayu ke gudang Sateh. Sateh tidak dapat banyak bertanya kepada supir truk, siapa yang mengirimkan kayu itu.
     "Aku hanya disuruh membongkar kayu ini di sini", jawab supir truk itu, "lain tidak." Kemudian truk utusan itu berlalu dengan cepat. Pengaruhnya, orang dikaburkan untuk memperhatikan nomor plat kendaraan itu, terlupa pula mencatat nama supirnya. Sehingga lama kelamaan Sateh menjadi biasa dengan keadaan itu. Dia tidak bertanya lagi menerima kiriman dari Gunung Sireum itu.
     Berlainan dengan Rudin pedagang kain. Ia sering disuruh seseorang yang berpesan, agar menunggu sesuatu di tepi jalan kecil di mulut hutan. Lalu meluncur saja sebuah pick-up penuh membawa tekstil. Berbagai corak dan rupa yang tergambar dalam rencana Rudin memperbesar usahanya.
     Garada termasuk orang yang paling beruntung. Karena pada hari-hari tertentu, ada saja orang membongkar bertruk-truk beras di muka tokonya. Sehingga ia mempunyai berpuluh cabang leveransir beras yang terkenal kaya raya. Sekali ia tertarik kepada seorang tua sederhana yang selalu duduk di bangku panjang halaman tokonya. Beberapa kali ia menyodorkan rokok kepada orang tua sederhana itu. Tetapi orang tua itu menolak dengan sopan, "Nantilah  bila aku telah ingin, baru aku meminta rokokmu."
     Jawaban itu bagai mengandung makna lain di lubuk hati Garada.
     "Tinggal beberapa tahun lagi waktumu," ujar orang tua itu bertanya dengan sinar mata lembut, penuh belas kasihan. Garada ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi cahaya mata orang tua yang kelihatannya mengandung sinar mata seorang kyai itu mempengaruhi keteguhan hati Garada untuk menyimpan rahasia kekayaannya.
     "Kek ...,Kakek tahu dari mana keadaanku?" tanya Garada tergagap-gagap. Terdiam sejenak orang tua jauhari itu, kemudian menyahut, "Aku melihat keadaanmu seperti bunga yang sedang saat berkembang sempurna tetapi tak lama lagi akan gugur."
     Garada menarik tangan orang tua itu ke dalam kantornya. Hanya mereka berdua saja di tengah hari itu. Karena seluruh pegawai Garada sedang makan keluar.  Sejak Garada bersimpuh lutut mengadukan nasibnya yang akan datang kepada orang tua itu, Garada menjadi sering berkelakuan tidak biasa. Ia telah membuat sebuah mesjid besar, yang seluruh biayanya dari dirinya sendiri. Se-tiap malam Jumat, ia mengundang para santri dan anak yatim piatu, untuk membaca Al Quran dan menerima sedekah dari tangannya. Kemudian dia sering mengundang beberapa Ajengan untuk memberi ceramah agama di rumahnya, dan mengundang seluruh pemuka masyarakat.
      Ketika istri gaib Sarman datang menjemput, pada saat yang sama Garada didatangi putri dari puncak Gunung Sireum Bandung Selatan. Sungguhpun Garada jauh berada di Sukabumi. Pada malam itu juga utusan itu mendatangi Garada. Ditandai dari anjing yang melolong panjang ketika menjelang tengah malam. Derap langkah kaki kuda itu sampai juga. Tetapi jauh dari rumahnya. Diiringi oleh ratap halus perempuan seperti kematian anak.
     "Garada .. Garada ... mengapa suamiku mungkir janji?" Suara itu halus membelah malam dengan lirih dan seram. Garada berharap tak seorang pun yang akan mengetahui penjemputan itu. Sebelumnya Garada telah mengundang 19 orang anak yatim piatu dari salah satu yayasan. Garada berlari ke sebelah rumah menuju musola. Lalu membangunkan seluruh anak yatim piatu yang menginap di situ.
     Tak lama kemudian terdengarlah dengung anak-anak di bawah umur membaca Kitab Suci. Dan suara tangis perempuan di luar rumah semakin pilu dan kesakitan. Sedangkan Garada sendiri duduk menghadapkan diri dengan posisi tersendiri, menghunjamkan ujung alip ke dalam bumi dengan keempat anggota badannya terpentang ke halaman rumah.
     Akhirnya terdengar suara seperti letusan knalpot mobil yang tersumbat meledak di halaman rumahnya. Mengepul, dengan rupa asap berbentuk puting beliung seperti gasing besar. Gemuruh kembali menuju arah Gunung Sireum. Batallah penjemputan, dan terhapuslah nama Garada di Gunung Sireum, selama ia tidak lengah memilih jalan bertobat dari mensekutukan Allah pada waktu yang lalu.
     Tetapi hanya Allah pulalah yang akan menilai apa yang dilakukan hamba-Nya, di muka bumi. Sungguhpun Garada telah terlepas dari perjanjian dengan makhluk gaib yang menolong kehidupannya selama ini.
     Di kamar batu di puncak Gunung Sireum, tergeletak berserakan sejemput debu hitam yang telah menjadi arang, berbau amis. Dan orang tua memegang cemeti itu terus-menerus memukuli Sarman ... bertubi-tubi. Karena melepaskan amarah kepada Garada yang terlepas dari penjara alam gaib sampai menunggu waktu kiamat. Cemeti bergetar ... diiringi lengkingan pekik Sarman.
Mpu Wesi Geni
Senang 00531 thn 1982

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.