Articles by "Cerpen/Indonesia/Mistik"

Tampilkan postingan dengan label Cerpen/Indonesia/Mistik. Tampilkan semua postingan

     Ketika Perang Dunia Kedua meletus, Selat Mangkaliat ditakuti oleh para pelayar, sebagai selat yang kotor, karena berkeliarannya kapal-kapal selam sekutu, yang mengintai kapal-kapal Jepang. Dan setelah perang usai, ketika Jepang bertekuk lutut, Selat Mangkaliat tetap ditakuti oleh para pelayar, dengan munculnya di selat itu sebuah perahu bajak laut yang terkenal amat buas dan ganas, siap menghadang dan merampok perahu para penyelundup kopra, baik yang datang dari jurusan SAngkulirang, atau dari Pantai Sulawesi.
     Perahu bajak laut yang berwarna hitam, dengan layar putih bergambar tengkorak hitam, dengan tulang bersilang menjadi lambang yang paling menakutkan. Ia mempunyai anak buah yang terlatih dengan senjata lengkap di bawah pimpinan seorang kepala merangkap nakhoda, bernama Patolla. Penduduk pesisir pantai Sulawesi mulanya mengenal nama Patolla sebagai jumpo dan mata-mata Jepang. Ketika tentara sekutu mendarat, Patolla melarikan diri. Takut mendapat pembalasan dari penduduk oleh kekejamannya di zaman Jepang. Kemudian mengumpulkan beberapa anak buah untuk beroperasi di laut, melakukan perampokan dan pembunuan.
     Wanita-wanita cantik ditawan dan dijadikan santapan hawa nafsu iblisnya. Setelah puas diperkosa lalu dibunuh dan dibuang ke laut. Bajak laut berdarah dingin ini sudah tidak mempunyai rasa kemanusiaan lagi. Darah, pekikan dan jeritan baginya merupakan nyanyian mengasyikkan.
     Suatu ketika perahu layar Patolla yang bernama Hantu Laut sedang berlayar di Selat Mangkaliat. Angin Timur berembus lembut, mengepakkan layar perahunya. Patolla tersenyum-senyum gembira melihat keadaan laut yang tenang dan cuaca yang jernih. BAginya keadaan laut seperti itu sangat menguntungkan, karena ia akan sangat mudah untuk menyergap mangsanya dengan perahunya yang laju.
     Tiba-tiba jauh di depan sayup-sayup terlihat sebuah layar perahu memutih diterpa sinar matahari. Mata Patolla bersina-sinar melihat mangsa di depan perahunya. Ia memerintahkan anak buahnya mengencangkan tali layar, untuk memburu perahu yang ada di depannya. Dan seketika meluncurlah perahu Patolla dengan lajunya. Tak payah bagi Hantu Laut untuk mengejar perahu yang akan menjadi mangsanya itu. Dalam waktu tak sampai atu jam Hantu Laut sudah menyerempet perahu yang sarat dengan muatan kopran, yang akan diselundupkan ke Tawau. Dengan pistol di pinggang, Patolla berdiri di haluan perahu. Ia menembak ke atas tiga kali, memerintahkan agar mangsanya menurunkan layar. Dengan penuh ketakutan perahu itu menurunkan layar. Dan Hantu Laut pun merapat seraya melemparkan tali kepada mangsanya.
     Patolla tersenyum gembira melihat perahu yang sarat dengan muatan kopra itu. Penumpangnya terdiri daru dua orang laki-laki separuh umur dan dua orang wanita muda berparas cantik. Patolla memerintahkan agar penumpang perahu itu membongkar dan memindahkan kopranya, yang dilakukan kedua lelaki itu denan tubuh menggigil ketakutan. Mereka kini insyaf telah jatuh ke tangan perampok laut yang buas dan ganas. Kedua wanita muda yang ada di dalam perahu itu diperintahkan Patolla pindah ke perahunya.
     Setelah pemindahan kopra selesai, Patolla memerintahkan kedua laki-laki itu kembali naik ke perahunya, kemudian Patolla memerintahkan anak muahnya merampas layar perahu mereka dan melepaskan ikatan perahu itu sebelum meninggalkannya terkatung-katung tanpa layar.
     Tinggal terdengar jeritan dan tangisan yang memilukan kedua wanita muda itu. Patolla berdiri bertolak pinggang dengan senyum kemenangan melihat tawanan yang masih muda dan cantik.
     Anak-anak perahunya tahu pasti kedua wanita itu akan menjadi santapan pemimpinnya yang tak berperikemanusiaan. Salah seorang anak buah Patolla yang bernama BAhar, memandang kedua wanita itu dengan mata tak berkedip. Lama ia diam-diam memperhatikan mereka. Lalu ia mempertajam ingatannya. Ia merasa masih mengenal kedua wanita itu, wanita yang sebenarnya masih ada pertalian keluarga dengan dirinya. Diingat-ingatnya, kalau tak salah wanita muda itu bernama Fatimah dan Hadijah. Ketika wanita itu melihat Bahar, tampak keduanya seolah-olah kaget dan ingin berkata kepada Bahar, namun Bahar cepat memberi isyarat dengan mengacungkan telunjut ke mulutnya. Bahar berpikir keras untuk menolong kedua wanita itu. Sebenarnya hati kecilnya sangat tidak menyetuhui tindakan pimpinannya yang ganas dan kejam, yang kadang-kadang memandang nyawa manusia tak lebih dari nyawa seekor ayam.
     Ia dijadikan anak buah perahu itu, adalah karena ditawan dalam suatu pelayaran. Sudah lama ia berniat untuk lari, namun tidak ada kesempatan, karena perahu Hantu Laut jarang merapat ke pantai, paling-paling menuju ke Tawau, menjual hasil rampokannya. Di Tawau ia tak bebas untuk naik ke darat sebaba selalu diawasi dan tidak diperbolehkan berkeliaran.
     Ketka hari sudah menjelang senja, dalam kesempatan memberikan air minum dan makanan kepada kedua wanita itu, Bahar sempat bertanya dengan suara berbisik, "Kau yang bernama Hadijah dan Fatimah asal dari Majenne?" Kedua wanita itu mengangguk seraya menjawab, "Kalau tak salah kau ini Bahar. Ya Allah mengapa kau sampai masuk komplotan ini?"
     "Sssstt... kalian tenang-tenang saja aku akan berusaha menolong kalian. Berbuatlah setenang mungkin." BAhar berlalu cepat ke buritan perahu.
     Di buritan ia termenung, merenungi malam yang pekat tak berbintang. Di langit tampak awan hitam bergumpal-gumpal, pertanda badai akan turun. Pikiran Bahar tertuju kepada Hadijah dan Fatimah, yang sebentar malam pasti akan diperkosa pimpinannya. Ia menadahkan mukanya ke langit, sebutir bintang pun tak tampak. Angin mulai berembus kencang membuat ombak menggila memukul-mukul badan perahu.
     Dan Bahar melihat Patolla sudah memerintahkan anak buahnya berjaga-jaga di bagian depan dan belakang perahu. Tak seorang pun yang boleh masuk ke ruang bawah. Bahar tahu Patolla pasti sudah akan mulai menggerayangi kedua wanita itu. Dengan merangkak di atas atap perahu BAhar cepat berlari ke bagian depan. Ombak mulai keras memukul-mukul badan perahu, namun perahu masih terus melancar laju. Tiba-tiba BAhar memasuki ruangan bawah seraya berteriak memanggil Patolla.
     "Cepat Bapak keluar... di depan kita ada perahu layar lagi. Kita mendapat mangasa baru lagi." Mendengar teriakan Bahar, Patollah yang tadinya sudah bersiap-siap memulai rencananya memuaskan hawa nafsunya, dengan mendongkol segera keluar. Seraya bertolak pinggang ia bertanya, "Mana perahu itu...?"
     Bahar mendekat Patolla dan tangannya menunjuk ke depan. "Coba Bapak lihat betul-betul bukankah yang memutih itu layar perahu..?"
     Begitu Patolla meju mendekati pinggir perahu mempertajam pandangannya, dengan gerak kilat, Bahar menikam punggung Patolla dengan badiknya, lalu menolakkannya ke laut. Di kegelapan malam, bertarung dengan deburan ombak terdengar jeritan Patolla, namun suaranya tenggelam ditelah gemuruh angin dan ombak. Bahar tertawa mengakak seraya teria, "Hai..kawan-kawan, pemimpin bajingan itu telah kutenggelamkan ke laut, dengan luka yang parah akibat tusukan badikku. Biarkan ia mampus dimakan ikan hiu.. sekarang perahu dan harta di dalam perahu ini milik kita bersama..."
     Kawan-kawan Bahar berlarian mendapatkan Bahar. Mereka semuanya segan kepada Bahar, yang kemudian berkata lagi, "Tahukan kalian.. aku sudah lama berniat meninggalkan perbuatan terkutuk ini. Kebencianku memuncak ketika aku menyadari kedua wanita yang disandera itu, adalah daran dagingku, mereka adalah keluargaku. Maukah kalian menuruti nasihatku..? Mulai sekarang kita bersumpah menghentikan perbuatan terkutuk ini. Perahu kita bawa ke pantai Sulawesi, layar yang berlambang tengkorak kita robek bila mencapai pantai dan tulisan Hantu Laut cepat kita hapus dan kita berjanji akanmenjadi manusia baik-baik. Biarkan SElat Mangkaliat aman dan tenang.. Setujukah kalian..?"
     Semua kawan Bahar berterai menyatakan setuju danmereka semua bersumpah dan berjanji akan menuruti nasihat Bahar. Begitu mereka mengucapkan sumpah dan janji, tiba-tiba cuaca menjadi cerah, laut berubah menjadi tenang. Dari dasar laut, tersembul bola perak yang benjol memercikkan cahaya yang gemilang, seolah-olah rembulan turut bersuka cita dengan janji dan sumpah bajak laut itu. Dan perahu mereka pun melancar dengan lajunya mencari arah pantai.
     Sementara itu Patolla yang tertikan dari belakang, timbul tenggelam dibantingkan ombak. Punggungnya yang mengucurkan darah, terasa perih terkena air laut. Namun ia terus berusaha berenang dengan susah payah. Di kejauhan terlihat olehnya layar perahunya meluncur laju semakin mengecil dan semakin jauh. Ombak terus mengombang-ambingkan tubuhnya. Dan ketika ombak mulai tenang serta rembulan mulai bersinar, Patolla berhasil mendapatkan pohon nipah yang hanyut lalu bertopang. Ia mencoba menahan sakit sekuat-kuatnya. Sementara arus menghanyukan tubuhnya dengan kencang. Ketika sudah laurt malam, sebuah pukulan ombak yang kuat membantingkan tubuhnya ke pantai. Patolla merasa bersyukur, walaupun dalam keadaan payah, ia bisa mencapai pantai. Dengan lesu ia mencoba merangkak. Lukanya terasa sangat pedih.
     Ia merasa lapar dan dahaga.
     Sebagai seorang pelaut ya mengingat dan masih mengenal pantai itu adalah pantai Tanjung Mangkaliat. Dengan sangat susah payah ia terus merangkak. Tiba-tiba di kejauhan ia melihat cahaya lampu bersina-sinar, dari balik pohon-pohonan yang rimbun lebat. Patolla mengingat-ingat, dulu kalau tidak salah ingat di situ terdapat sebuah perumahan penunggu mercu suar. Mungkin di situ ia akan mendapat pertolongan. Patolla mengumpulkan seluruh kekuatannya menuju ke arah lampu itu. Ia berjalan terhuyung-huyung, akhirnya berhasil juga mencapat tempat itu. Benar juga dugaannya. Tempat itu sebuah bekas perumahan mercu suar. Ia cepat mendekatinya dan menaiki tangga rumah itu.
     Pintunya terkuak dan jelas tampak seorang laki-laki uta sedang mengahadapi lampu tempel memperbaiki pukatnya. Patolla lalu naik dan menyapanya. Orang tua itu tak menjawab, hanya menatapnya dengan sorotan mata yang tajam. Patolla memperlihatkan belakangnya yang luka berdarah, kemudian berkata meminta air minum dan makan. Orang tua itu tak menjawab, hanya berlalu ke belakang, kemudian membawakan air minum dan sepiring singkong rebus. Patolla mengira mungkin orang tua itu bisa, tak bisa berbicara.
     Tanpa disuruh lagi Patolla cepat minum dan melahap singkong rebus itu. Selesai makan ia terus terbaring kelelahan merasakan lukanya yang nyeri. Dan dalam keletihan amat sangat, ia tertidur.
     Esoknya ketika Patolla sadar, sambil menggosok-gosok matanya, ia menoleh berkeliling. Betapa kagetnya ia, orang tua yang dilihatnya tadi malam, ternyata sudah menjadi bangkai yang tergeletai di sampingnya, menyebarkan bau busuk. Dan di kiri kanannya bergulingan tengkoran-tengkoran manusia. Patolla memperhatikan bangkai orang tua itu, kemudian baru ia teringat. Beberapa waktu yang lampau ketika merampok sebuah perahu, ia pernah menembak kepala orang tua itu sampai benaknya bertaburan kemudian mendorongkannya ke laut.
     Dan tengkoran yang bergulingan di kanan kirinya, berubah bentuk menjadi mayat-mayat yang pernah dibunuhnya di tengah laut. Di sampingnya lagi dilihatnya gelas yang diminumnya tadi malam penuh berisi daran dan sebuah piring berisi potongan tulang-tulang manusia. Itulah rupanya yang diminum dan dimakannya tadi malam. Akhirnya Patolla merasa ngeri dan ketakutan.
     Ketika ia mencoba lari, ia jatuh terjerembab dari anak tangga rumah itu, kemudian dalam keadaan sangat payah, ia mengembuskan napasnya yang penghabisan. Tamatlah riwayat Patolla sebagai bajak laut yang amat buas dan ganas.
     Beberapa hari kemudian sebuah perahu yang kehabisan air tawar dan mendarat di pantai Mangkaliat menemukan mayat bajak laut itu dalam keadaan sudah membusuk dirubung lalat hijau dan ulat-ulat.
cerita : Masran H.A.
majalah Senang edisi 0534, thn 1982

      Rahasia alam gaib merupakan suatu misteri yang sampai saat ini masih belum dapat dipecahkan. Siapa yang kuasa emngungkapkannya? Sebab manusia sendiri cuma sampai pada batas kesimpulan. Alam gaib adalah jagad raya semu yang tak terjangkau oleh akal pikiran manusia biasa. Angin-Udara-Air-Tanah adalah empat pokok kehidupan.
      Angin yang bisa dirasa, didengar tetapi tak dapat dipegang dan dilihat. Angin yang sejuk berembus, kadang berubah menjadi badai topan yang maha dahsyat. Sedang udara adalah pernafasan kehidupan. Sifatnya tetap, tidak berubah.
     Unsur air sifatnya mengikuti keadaan. Dimana ada tempat yang rendah, di situlah dia mengalir. Bentuknya luwes sehingga dapat menyesuaikan dirinya dengan alam lingkungannya.
     Dan unsur yang terakhir, yang merupakan inti kehidupan manusia adalah tanah. Ya, tanah!
     Pernahkan Anda berfikir suatu saat nanti Anda akan mati kemudian kembali menjadi tanah lagi? Manusia pertama justru dijadikan oleh Tuhan dari tanah liat yang kemudian ditiupkan roh. Oleh sebab itu manusia harus selalu ingat tentang asa;-usulnya semula. Tanah yang setiap hari dinjak-injak, kadang dikencingi, diludahi, tetapi dia tak pernah protes kepada kita. Walau bagaimanapun juga tanah akan tetap kembali menjadi tanah.
     Pernahkan Anda memikirkan suatu misteri alam gaib akan dapat terbuka oleh ketinggian akal budi manusia, entah pada abad dan peradaban yang akan datang? Jawaban Alif Lam Mim hanya Tuhan yang mengetahui.
     Tapi pernahkan Anda mendengar tentang kematian seseorang yang tidak mau bersatu dengan tanah lagi? Sedang mayat yang dibakar kemudian abunya dilarutkan ke dalam larutan masih ingin kembali bersatu dengan tanah di dasar laut. Memang ada suatu adat yang mengajarkan kepada anak cucu keturunannya, bila mati abu mayatnya jangan dikubur di dalam tanah atau dibuang ke laut. Namun harus digantung di udara. Di tempat yang tersmbunyi. Inilah yang akan saya ceritakan kepada Anda, tentang suatu rahasia salah satu dari ilmu-ilmu alam gaib itu.

     Gerimis pagi yang menampar wajah kakek tua renta itu membuat tubuhnya menggigi. Berkali-kali ia mengeluh, merapatkan kedua tangannya mendekap dadanya yang kerempeng. Seolah-olah perjalanan itu terlalu berat bagi laki-laki tua seusianya. Sesekali ia harus berhenti untuk menenangkan pikirannya. Hatinya masih berdebar-debar ketakutan, setiap kali ingat bayangan-bayangan peristiwa awal dari kesengsaraannya sekarang ini.
     Dua minggu yang lalu, ketika ia sedang tidur nyenyak mendadak satu suara menyeramkan membuatnya terbangaun dengan wajah pucat. Suara seram itu bergaung di dalam kamarnya, melingkar-lingkar tak putus-putusnya. Telinganya sampai terasa sakit.
     "Hhrrr...goghgh..Sogthot..."
     Kemudain jendela dan pintu kamarnya terbuka dengan keras seprti didorong oleh tenaga dahsyat dari luar. Dan angin menerobos masuk memorak-porandakan perabotan rumahnya. Semakin lama suara angin yang masuk itu terdengar semakin mencicit menyeramkan. Dinding kamarnya bergetar hebat dan tempat tidurnya bergoyang-goyang, sementara meja kursi bergelimpangan di lantai bercampur kertas-kertas yang berhamburan. Akhirnya ia menjerit ketakutan. Sesosok tubuh mengerikan tiba-tiba muncul di hadapatannya. Makhluk dari 'planet lain' itu menatapnya dengan bengis.
     "Aku telah datang. Mengapa kau mengundangku?" Kakek tua renta itu menjadi kebingungan mendapat pertanyaan yang aneh. Mengundangnya? Aku? Sampai lama ia tidak menjawab, cuma bibirnya saja yang tetap bergetar seperti diserang demam.
     "Hghhrr... apa yang kau inginkan, manusia?" dengus makhluk itu mengagetkannya dari lamunannya. Dan dengan terputus-putus kakek itu menjawab, "Aku..aku.. ingin memasuki roh alam gaib.."
     "Hhrrgh... tahukah kau bahwa hal itu sangat mustahil dan mengingkari kodrat yang sudah dijatuhkan kepada manusia?"
     "Aku tahu.. tapi.. tapi keinginanku untuk mengetahui segala rahasia alam gaib sungguh sangat besar.."
     "Ghoghh..shogghtt.. Kau telah bertahun-tahun menekuni dunia mistik dan alam gaib. Umurmu kau habiskan hanya untuk mempelajari ilmu-ilmu kebatinan kelas tinggi. Apakah kau tidak menyesal, jika keinginanmu itu kupenuhi tetapi dengan syarat yang berat sekali? Otakmu yang kotor itu memang pantas menjadi pengikutku yang setia, he manusia."
     "Aku..aku berjanji akan memenuhi segala syarat yang akan kau tentukan, asal keinginanku itu terkabul.."
     "Hhhrrghhh..Baik, aku percaya dengan janjimu. Besok purnama penuh, kau harus datang ke puncak Mahameru. Carilah sebuah kawah yang berwarna merah dan kelabu. Di sana kau bisa melaksanakan rencana-rencanamu yang ingin menguasai jagad." Tiba-tiba makhluk mengerikan itu mengeluarkan seribu pekikan yang menggetarkan jantung. Dari atas langit kemudian terdengar nyanyian-nyanyian seram sebagai jawaban. Dan lenyaplah makhluk itu dengan meninggalkan bau busuk.
     Kakek tua renta yang selama hidupnya tekun mempelajari ilmu-ilmu kebatinan kelas tinggi itu kini berdiri terlongong-longong. Akhirnya dia cepat-cepat mempersiapkan segala keperluan untuk mendaki puncak Gunung Mahameru. Malam itu juga dia membuat ramuan mantra di atas tungku api, Dan membalik-balik buku kuno yang berisi tintunan ilmu-ilmu sesat, membuat percobaan-percobaan aneh dan melakukan meditasi tertutup sampai menjelang subuh.
     Puncak Mahameru tampak berselimutkan kabut tebal. Hawa dingin luar biasa, kesepian, kesunyian, keseraman dan sendiri dalam perjalanan di malam purnama penuh, kakek tua renta itu sudah basah kuyup oleh gerimis yang terus mengerus tak henti-hentinya itu.
     Dengan susah payah akhirnya dia berhasil mencapat puncak.
     Waktu itu hampir tengah malam. Bulan yang bersinar bundar di atas menaburkan cahayanya sampai ke bibir jurang di sekitarnya namun kawah yang sedang dicarinya itu masih belum juga ditemukan.
     Tiba-tiba alam sekitarnya menjadi gelap. Dengan kaget kakek itu memandang ke langit. Ya, Tuhan.. matanya terbelalak melihat seeokor burung elang yang besar terbang rendah menutupi rembulan. Dan di atas punggung burung raksasa itu duduk seorang berjubah merah. Sebentar saja burung elang itu sudah menghilang di balik kabut sebelah sana. Si Kakek masih termangu-mangu tekjub, tetapi segera sadar dan cepat mengejar. Berkali-kali dia jatuh bangun menuruni lereng yang terjal penuh jurang menganga seram.
      Sementara gerimis masih tetap turun. Aneh memang, di waktu cuaca begini, bulan masih tetap bersinar. Kakek itu berhenti di depan sebuah kawah yang gelap menyeramkan. Sinar bulan tidak mampu menerangi dasar kawah. Yang tampak cuma kegelapan yang menggila. Dan bau busuk yag luar biasa dari lubang itu. Beberapa saat kemudian, dari dasar kawah itu terdengar suara menggelegak bergemuruh seprti akan memuntahkan lahar. Tanah yang dipijak juga ikut bergetar hebat.
     "Rrrrr..." suara menyeramkan itu kembali terdengar. Dari kegelapan lalu muncul seberkas cahaya merah darah dan perlahan-lahan tampak kabut berwarna kelabu.. Ya, itulah kawah yang dicari-cari itu.
     Dengan hati-hati ia menuruni kawah itu. Baru beberapa langkah, tubuhnya sudah terhuyung-huyung, perutnya terasa mual mau muntahkarena tidak tahan bau busuk yang semakin keras. Sambil merangkak dia mencoba melihat keadaan di bawah sana. Tetapi kabut yang tebal menghalangi pandangannya. Mendadak tanah yang dipijak longsor dan dengan menjerit ngeri tubuhnya terbanting ke bawah..
     "A a a ..." Kakek itu menjadi panik, di tengah udara di saat tubuhnya masih melayang, dia mencoba memegang apa saja yang sekiranya dapat menghentikan luncuran tubuhnya. Namun usahanya itu sia-sia. Dan dengan suara keras tubuhnya jatuh di tengah-tengah kawah. Byurr.. hampir tak percaya dia masih hidup.
     Ternyata di dasar kawah yang dari atas terlihat mengerikan itu, merupakan danau kecil berair panas. Tubuhnya menggeliat-geliat kesakitan. Untung dia pandai berenang, sehingga dengan susah payah akhirnya berhasil ke tepi kawah dengan selamat. Napasnya masih memburu tegang. Waktu dia memperhatikan dengan seksama, ternyata di tengah-tengah danau kawah itu terdapat sebuah batu bundar yang mengeluarkan sinar merah mencorong.
     Tetapi ketika dia akan memasuki sebuah gua di belakang cadas, mendadak matanya terbelalak memandang tulisan di dinding gua sebelah luar. Alangkah dahsyatnya tenaga orang yang mampu menggores batu dengan ujung jari. Tulisan itu berbunyi mengancam:
"Kepandaian sejati bukan untuk menguasai jagad. 
Terkutuklah bagi yang ingkar pada kodratnya dan 
siksa akan menikam di jantungmu sebelum kau menyesali 
perbuatanmu yang berlumur dosa."
     Kakek itu termenung, pikirannya seketika menjadi bingung. Siapa yang menulis peringatan di dinding gua itu? Apakah dia sudah tahu tentang tujuanku datang kemari? Namun bila ingat pesan makhluk dari planet lain yang dipujanya selama ini. akhirnya dia jadi nekat. Tanpa memedulikan bahaya yang mungkin mengancam, dia terus masuk ke dalam gua. Ternyata keadaan gua itu sangat luar biasa indahnya. Sebuah istana di bawah perut gunung. Di setiap tikungan terdapat batu permata yang memancarkan sinar kemilau terang. Bau harum yang segar mengalir terbawa embsan angin. Kakek itu hampir tak percaya ketika melihat seorang putri jelita sedang duduk di atas kursi batu hitam.
     "Masuklah, kau pilih buah itu dan makanlah," perintah putri itu berwibawa. Si kakek ragu-ragu, untuk apa ia harus makan buah ranum itu?
     "He, bukankah tujuanmu datang kemari ingin memiliki kesaktian sejati?"
     "Ooo.." desah kakek itu seperti linglung. Dan tanpa berkata lagi dia terus mengambil buah sebelah kiri dan dimakannya. Buah itu ternyata pahit rasanya.
     "Pergilah ke kamar nomor 99 di ujung lorong sebelah kiri. Waktumu hanya empat puluh hari. Nah, berlatihlah dengan baik."
     Kakek itu menurut, entah mengapa dia tak kuat bertatapan muka dengan putri. Lorong gua sebelah kiri itu merupakan jalur rahasia yang berliku-liku. Tiap-tiap sepuluh langkah pasti terdapat kamar batu. Dia terus mencari kamar nomor 99.
     Dan kamar yang diperuntukkan baginya itu adalah sebuah kamar batu berukuran empat kali tiga meter. Tidak ada sinar yang asuk. SEmuanya tampak gelap menyeramkan. Apalagi udara yang sangat busuk baunya.
     Setelah meneliti semua sudut di ruangan kamarnya, lalu dia memilih tempat untuk bersemedi. Mulai mala itu juga kakek itu berlatih ilmu-ilmu rahasia alam gaib yang diajarkan oleh sesuatu yang tidak tampak wujudnya tetapi terasa kehadirannya. Tiap tengah malam suar misterius itu selalu ada. Suaranya berat, sember dan tidak enak didengar telinga. Makin hari latihannya makin berat. Mengosongkan jiwa tetapi menghidupkan nafsu-nafsu yang bergetar di setiap lubang pori-pori dan urat nadinya. Dan jika siang hari, dia harus membuat percobaan-percobaan gila. Berbagai ramuan yang sudah disediakan sebelumnya, harus dicampur dengan setetes darahnya sendiri. Tiap hari ia menggigit lidahnya untuk mendapatkan darah bagi campuran ramuan mantra yang sedang dicoba.
     Kemudian setelah melakukan tapa pati geni selama empat puluh hari empat puluh malam, kakek itu telah berhasil mencapai tingkatan 'hening sajroning curigo' yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu pada jarak ribuan tahun yang lampau maupun yang akan datang. Kekuatan batin yang dapat menggetarkan dan mempermainkan jiwa seseorang yang diingininya melalui ilmu pembetot sukma yang luar biasa jahatnya.
    
     Hari itu selesailah sudah waktu yang dijanjikan untuknya. Dia menghadap putri lagi. Tetapi dia terkejut, ketika melihat wajah putri yang waktu pertama kalidia datang sangat cantik jelita, sekarang berubah menjadi nenek peot yang jelek dan menjijikkan. Sinar matanya berwarna kelabu mengandung unsur-unsur jahat sedang menatap dirinya tanpa berkedip. Tak terasa kulit tubuhnya jadi merinding seram.
     Dia terus bersujud di depan nenek peot itu. Ada rasa takut yang tak dapat dikatakan merayapi jantungnya. Beberapa saat masih hening. Seolah-olah keduanya sama-sama tenggelam dalam kematian semu. Tiba-tiba di luar gua terdengar suara burung elang, wajah nenek peot yang semula dingin tanpa perasaan itu kini berubah tidak senang. Dia seprti mempunyai firasat adanya sesuatu yang mengintai.
     "Hari ini kau telah lulus dalam ujian ilmu-ilmuku. Sejak saat ini kau sudah resmi menjadi pengikut dan pemujuaku yang setia. Apa janjimu setelah ambisimu yang gila nanti terwujud?" tanya nenek peot itu nyaring di antara batuknya. Kakek itu tergagap memandang 'majikannya'.
     "Aku.. akan setia dan menurut apa yang kau perintahkan."
     "Bagus, perlu kau ketahui.. di alam ini ada dua kekuasaan. Alam gelap yang menjadi kerajaanku dan alam terang yang dikuasi oleh musuhku. Kau harus mewakiliku melenyapkan musuh kita itu. Sebab, kehidupan tidak bisa menerima dua sumber kekuatan yang saling bertentangan dalam satu tempat dan waktu yang sama. Salah satu harus hancur. Nah, sanggupkan kau melaksanakan tugas bagi kerajaan kita?"
     "Aku akan menjalankan perintahmu tetapi mohon tanya, siapakah musuh kita itu?"
     "Pergilah ke luar, dia sengan menunggumu di sana.."
     Alam seolah murka. Langit berwarna kelabu gelap. Pohon-pohon juga tampak kelabu. Jalanan berdebu kotor dan sungai yang mengalir berwarna kemilau keruh. Udara seprti berhenti mengalir. Aneh, si kakek memandang semuanya seperti di bawah sadar. Tetapi yang lebih mengejutkan adalah burung elang raksasa dan seorang tua berjenggot putih sampai menyentuh lutut. Wajah tua itu menatap penuh welas asih. Cahaya terang keluar dari tubuhnya yang terbungkus jubah merah. Itulah si orang misterius waktu pertama kali dia datang ke kawah.
     "Sadhu..sadhu.. sadarlah ng'ger.."
     "Apa? Kau bicara dengan siapa?" bentan kakek itu.
     "Kepadamu ng'ger, aku ingin memberi nasihat, tinggalkan tempat ini dan bersujudlah kepada Tuhan Yang Maha Agung dan Suci.." si orang misterius berjenggot panjang itu masih tersenyum damai. Mendadak kakek itu tertawa mengakak.
     "Grr.., kau anggap apa aku ini, cucumu kak? Hua..ha..haha.."
     "Kau memang pantas kusebut cucuku ngger, karena usiamu sepertiga dari usiaku yang sebenarnya. Jangan kaget, akulah yang disebut Ki Waskito, penguasa alam terang, musuh bebuyutan gurumu."
     "Ah, kau..kau..," jawab kakek itu terkejut.
     "Ya, aku memang bertugas menyadarkan orang-orang sesat yang ingkar kepada kodratnya. Jangan terlalu jauh bermimpi tentang rahasia alam gaib. Tidak bisa ng'ger.. tidak bisa.."
     "Tetapi aku telah berhasil, peduli apa denganmu."
     "Apa yang kau ketahui itu cuma kulit luarnya saja. Dan itu telah menyesatkan pikiranmu. Sadarlah sebelum terlambat.."
     "Hmm, susah payah aku berlatih ilmu. Sekarang kau bilang semua itu cuma omong kosong belaka. Jahanam kau. Aku akan menghancurkan Waskito. Aku akan segera melaksanakan rencanaku, dunia ini akan kugenggam di dalam tanganku. Hua..ha..haha..." Dan tertawalah kakek itu seperti sudah sinting.
     "Aku tahu, kepandaianmu sekarang ini mungkin mampu mecelakakan sesamamu yang tidak kau senangi atau malah kau buat suatu percobaan dari ambisimu yang gila. Tetapi kituk cepat menelan dirimu. Kau akan mati di dalam kegelapan. Kau dengar ng'ger, mati dalam kegelapan adalah siksa yang pedih seperti di neraka."
     "Persetan dengan khotbahmu, Waskito. Lihatlah, apa yang akan kulakukan ini," geram kakek itu penuh kemarahan. Dia terus mengambil sebuah kaca bulat sebesar kepala orang. Mulutnya membaca mantra, dan bola kaca itu dibantingnya dengan keras. Bummm.. seketika itu juga terjadi keajaiban. Di depan mereka terpampang ilusi seperti layar yang memperlihatkan keadaan pada saat itu juga dalam jarak ribuan kilometer di tempat lain.
     Alangkah hebat dan ajaibnya. Pada waktu itu tampak seorang laki-laki muda sedang jalan di jalan raya. Entah apa sebabnya mendadak kepala orang muda itu mengepulkan uap hitam, tubuhnya bergetar hebat. Lalu sebelum si orang misterius itu sempat mencegah, kakek itu sudah membentak memberi perintah lewat mantranya. Aneh, orang muda di dalam layar ilusi itu tiba-tiba mengamuk. Dua orang yang sedang duduk di warung diseret kasar terus dibacoknya berkali-kali sampai mati mengerikan.
     Belum puas sampai di situ, kakek itu mulai mengarahkan pikirannya kepada dua buah pesawat terbang yang sedang melayang di atas lautan. Dan dengan kekuatan batinnya, ia mampu memaksa salah satu pesawat itu mengubah arah penerbangannya. Seperti tak berdaya, dua pesawat itu dipermainkannya sebentar, kemudian ditariknya ke dalam lingkaran pengaruhnya. Dua pesawat terbang itu meluncur kencang tanpa kendali lagi, dan..rrr.duaarrr.."
     Bagaimana panik dan menyedihkan tragedi di atas lautan itu. Hancur berkeping-keping kemudian tenggelam ke dasar laut. Mungkin tidak ada seorangpun di dunia ini yang percaya bahwa musibah itu karena perbuatan gila seseorang yang mempunyai ilmu sesat.. dan sudah dapat dipastikan, dunia akan gempar.
     "Hua.ha.ha.. lihatlah Waskito, aku akan menghancurkan apa saja yang berani menentangku. Termasuk kau juga."
     "Biadab. Perbuatanmu sudah keterlaluan ngger. Dunia bisa berantakan kalau nafsu gilamu itu tidak segera dihentikan."
     "Huaah, tua bangka sialan. Apakah kau takut, heh?"
     "Aku takut jika ilmu yang kau miliki itu kau pergunakan untuk mempengaruhi pikiran para pemimpin dunia. Bukan tidak mustahil dengan menciptakan rasa tidak percaya sesama negara maju, kemudian kau memasukkan pikiran iblismu ke dalam otak mereka, dunia ini bisa meledak menjadi kiamat sebelum waktunya..."
     "Hmm, kalau sudah mengerti mengapa kau tidak segera tunduk kepadaku? Berlututlah, dan kuampuni nyawamu!" bentak kakek itu penuh kesombongan. Tetapi Ki Waskito cuma menghela napas panjang berkali-kali. Agaknya dia menyesali ilmu kepandaian orang yang disalahgunakan untuk memuja nafsu. Tapi dia harus segera melenyapkan sumber bibit malapetaka di kemudian hari itu. Dunia benar-benar sedang menghadapi ancaman yang mengerikan dengan lahirnya orang-orang gila yang mabuk peperangan dan ingin hidup sendiri. Entah bagaimana jadinya jika kakek itu berhasil mempengaruhi para pemimpin negara yang mempunyai senjata nuklir untuk saling menghancurkan Akibatnya tentu sangat mengerikan.
     "Kesabarnku tentu ada batasnya ng'ger, jika kau tidak bisa disadarkan lagi, yah.. terpaksa aku harus melenyapkanmu."
     Tertawalah kakek itu mengakak mendengar kata Ki Waskito. Tetapi kemudian wajahnya berubah gelap menyeramkan penuh hawa maut yang menjijikkan. Perlahan-laan ia maju mengancam. Keduanya saling berhadapan dengan waspada. Masing-masing mempersiapkan ilmunya untuk saling terjang. Mendadak kakek itu menggempur dengan suara parau dan tenaganya mendorong ke depan melancarkan serangan yang bukan main hebatnya melanda dada si orang misterius berjubah merah. Tetapi Ki Waskito sudah bersiaga. Dengan cepat dia mengebutkan lengan bajunya yang lebar.
     Serangkum angin lantas menahan hawa jahat dari kakek yang menjadi musuhnya itu. Dan terjadilah pertarungan dua ilmu yang berlawanan aliran. Pertempuran kelas tinggi dari tokoh ilmu kanuragan sejati itu memang sangat mendebarkan jantung. Indah dilihat tetapi mengandung hawa maut yang setiap saat mengincar kelemahan lawan.
     Sekali waktu Ki Waskito memperoleh kesempatan baik. Sambil bersiul nyaring dia melancarkan jurus simpanannya 'Menggugurkan langit mengaduk lautan'. Gelombang tenaga yang tidak terlihat berputar-putar seperti mau merontokkan isi dada musuhnya. Dengan memekik ngeri, kakek itu muntah darah dan tubuhnya terhuyung-huyung mundur. Wajahnya menjadi pucat pasi. Hampir tak percaya dia memandang lawannya masih dengan sorot kebencian. Sekali lagi Ki Waskito melontarkan pukulan sakti udara kosong tingkat kesebelas, kemudian disusul dengan tendangan berantai 'Mengejar arwah, menyambung roh'. Hebat serangannya kali ini. Suatu arus kekuatan gaib mencengkeram kakek itu dan kemudian menghentakkannya sekuat-kuatnya hingga meledak dan hancur berkeping-keping. Sampai beberapa saat Ki Waskito masih termangu-mangu memandangi asap berbau busuk dari bekas 'mayat' musuhnya.
     Perlahan-lahan alam kembali seperti semula. Bayangan semua berwarna kelabu yang aneh sudah lenyap. Tetapi dari jauh, kawah puncak Mahameru menggelegak dahsyat seolah-olah murka melihat kematian murudnya yang setia. Berkali-kali terdengar letusan disertai hujan abu dan percikan api yangmenyembur ke luar dari puncak gunung.
     Ki Warkito segera naik ke atas punggung burungnya dan memburu ke puncak Mahameru. Dia harus segera tiba di sana agar bencana yang lebih dahsyat dapat dicegah. Akhirnya dia melihat tanda-tanda buruk itu. Sejalur asap hitam kemerah-merahan meluncur dari dasar kawah. Ki Waskito menangkap dan meremasnya sekuat tenaga. Ada perlawanan dari benda yang ditangkapnya itu. Tetapi dia makin memperkeras tenaganya. Dan dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Agung, Ki Waskito berhasil menghancurkan benda merah di dalam genggamannya itu.
     Seketika itu juga keadaan menjadi reda kembali. Dan Ki Waskito lalu mengambil sesuatu di dalam benda merah di dasar kawah. Benda itu ternyata abu jenazah orang sakti yang sesat hidupnya pada ribuah tahun yang lalu. Abu jenazah yang tidak mau bersatu kembali dengan tanah.
 cerita: Wahyu HR
Senang 00532, thn 1982

     Kami sudah lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Kakak sepupuku ini termasuk awet muda. Usianya sepuluh tahun lebih tua bila dibandingkan dengan umurku, tetapi tampaknya ia semuda usiaku. Aku tidak menanyakan resep awet mudanya. Yang kuketahui hanyalah ia selalu bergembira. Pembawaannya tenang, tidak mudah terpengaruh oleh suasana yang datang mendadak. Dalam suka maupun duka selalu tersenyum.
     Kami berbicara tentang soal-soal keluarga. Hal ia akan mengawinkan anak sulungnya, dan anaknya yang lain yang akan ujian SLTA serta memasuki Perguruan Tinggi, penghapusan subsidi BBM dalam kaitannya dengan anggaran rumah tangga dan lain-lain. Ia punya banyak bahan untuk berbicara. Seolah-olah tidak ada habis-habisnya. Aku hanya menimpali sekali-dua.
     "Sebenarnya dari mana tadi?" tanyaku sesudah kami makan siang bersama.
     "Ah, hanya jalan-jalan ke Kajoran," jawabnya.
     "Ke Pak Sasra?"
     "Kok tahu."
     "Terkenal. Perlu apa?"
     "Sebenarnya soal sepele. Soal mimpi"
     "Lho soal mimpi saja kok sampai ke orang tua segala."
     "Mimpiku ini sudah tiga kali, berturut-turut dan selalu sama."
     "Apa kata Pak Sasra?"
     "Aku ditanya apakah punya keris yang tidak bersarung."
     "Lalu..?"
     "Aku tidak punya."
     "Ha, rupanya soal wesi aji, ya? Punya banyak?"
     "Banyak sih enggak. Ada beberapa saja. Dua belas keris dan tiga tombak."
     "Wah, lumayan juga."
     "Kau punya berapa?"
     "Satu pun tidak ada. Bapak punya sebilah dari Mataram. Itu juga entah ada isinya apa tidak, aku tidak tahu."
     "Susah juga mimpiku itu."
     "0, iya. Bagaimana sih mimpinya?"
     "Seorang wanita menuntut agar aku mengambil suaminya. Kalau tidak ia akan pergi menyusul suaminya."
     "Apa yang dikatakan Pak Sasra ada benarnya, tetapi juga belum tentu benar."
     "Maksudmu?"
     "Menurut pendapatku, 'suami' berarti 'jodoh'. Memang bisa diartikan keris mencari sarungnya. Tetapi itu terlalu mengada-ada. Kalau aku berpendapat bahwa jodoh berarti pasangan. Maka cobalah cari apakah ada benda pusaka itu  yang seharusnya berpasangan."
     Ia menepuk dahinya. "Benar. Memang ada. Aku membeli sebilah mata tombak dari seorang kenalan di Surabaya. Katanya tombak dari Bali. Mata tombak itu dulunya ada dua, tetapi yang satu entah di mana. Waktu 'peristiwa bentrokan kedua' dulu hilang. Mungkin dibawa saudaranya yang pulang ke Bali."
     "Mungkin itulah yang minta dicarikan pasangannya."
     "Mungkin. Kalau ada waktu mari ke Sala untuk melihat mata tombak itu." Aku memang selalu mempunyai waktu luang. Kami berdua menuju ke Sala. Ke rumah kakak sepupuku. Hanya dalam waktu dua jam kami sudah berada di ruang tamu rumahnya di Kauman Sala. Ketiga mata tombak diperlihatkannya kepadaku. Yang dua tidak tampak ada keistimewaannya, sedangkan yang satu agak aneh. Pamor bilahnya ada gambar kepala ular menganga, tetapi taring yang keluar hanya satu. Sebelah kiri saja. Biasanya, gambar taring ular ada dua. Kiri dan kanan.
     "Pasti yang ini yang dari Bali," kataku.
     "Betul. Landeyannya kubuatkan dari galih asam."
     "Nah, kau sudah tahu apa arti mimpimu. Terserah bagaimana tindak lanjutnya."
     "Jadi, bilah tombak ini meminta agar pasangannya kubawa ke sini juga?"
     "Tafsiranku begitu. Terserah kau saja bagaimana."
     Ia termenung sejenak. Tidak lama kemudian ia menatapku tajam. Ia ingin mengemukakan sesuatu kepadaku.
     "Aku banyak pekerjaan," katanya. "Kau yang punya waktu luang. Aku minta tolong ..."
     "Karena aku penganggur, kau menyuruhku mencari bilah tombak ini. Begitu?"
     "Jangan sentimentil begitu. Aku kan tidak bermaksud..."
     "Baiklah. Aku memang sudah lama tidak ke Bali."
     "Kau pasti bahwa bilah yang satunya berada di Bali?"
     "Perasaanku mengatakan begitu. Kalau kau tidak keberatan, bilah yang ini akan kubawa."
     "Bawalah."
     Bilah itu dilepas dari gagangnya. Dibungkus dengan kain flanel lalu diserahkan kepadaku. Setelah menerima bilah tombak itu, kakakku masuk. Tidak lama kemudian ia menyerahkan sebuah amplop. Aku tidak perlu bertanya. Tentu uang jalan. Aku tidak perlu berbasa-basi. Uang itu kuterima. Tidak kuhitung. Baru setelah tiba di rumah kuhitung. Seratus lima puluh ribu rupiah, lebih dari cukup bagiku. Aku tidak memerlukan uang terlalu .banyak karena sahabat dan kenalanku cukup banyak di Bali. Walaupun aku sudah lama meninggalkan Pulau Dewata, tetapi kawan-kawanku masih lumayan banyaknya. Aku pernah tinggal di sana selama tiga tahun.
     Tiba di Denpasar, aku langsung ke rumah kawanku di Kayumas Kaja. Di sanalah aku menginap. Karena tidak ada waktu lagi aku hanya tidur saja sesudah berbincang-bincang sampai pukul sebelas malam. Aku tidak sempat jalan-jalan ke pusat kota yang sangat dekat. Malam itu bilah tombak itu berada atas kepalaku. Aku tidur di sekutu yang telah dijadikan kamar. Begitu terlena, aku bermimpi. Seorang wanita mendatangiku. Ia mengatakan bahwa aku harus ke Nusa Penida. Di sanalah "suaminya". Aku terbangun. Ternyata baru pukul satu malam. Aku tidak dapat tidur lagi lalu mencari minuman ke Pasar Senggol.
     Esok paginya ketika aku akan berjalan-ialan melemaskan otot di pagi hari aku bertemu dengan kawan lama. Wayan Rentig seorang perawat di RS Sanglah. Ia tinggal di Banjar Sading dekat Banjar Abian Timbul. Ketika ia menanyakan tentang diriku, kukatakan bahwa aku akan ke Nusa Penida mencari sebilah tombak kuno.
     "Nusa Penida,  Pak Jawo? Tidak main-main?"
     "Ya. Mengapa?"
     “Pak Jawo tahu sendiri kan bahayanya? Tetapi jangan khawatir. Kalau ada apa-apa mintalah tolong Idayu Pedanda Stri."
     Sebenarnya Rentig tahu namaku. Tetapi orang Bali biasa memanggil seseorang dengan nama daerahnya. Maka ia memanggil aku dengan panggilan Pak Jawo. Dan nama Idayu Pedanda Stri sudah kukenal lama sekali. Sejak tahun 1963. Ia seorang "dukun" yang hebat. Perkenalan kami secara kebetulan. Kami berbicara mengenai banyak hal. Tentang hari baik, kala, tanda-tanda yang semuanya kuketahui dari primbon dan masih dipercayai oleh masyarakat Bali. Juga tentang wayang yang sangat kukuasai karena kami dari keluarga dalang. Dulu dia tinggal di Kesiman dekat Sanur. Menurut Rentig dia sekarang di Tangled, Nusa Penida.
     Ketika sudah sarapan, aku pamit kepada kawanku untuk melanjutkan perjalanku ke Nusa Penida. Aku diantar dengan colt yang juga melayani rute ke Sanur. Dari Sanur aku menyewa perahu menyeberang ke Nusa Penida. Aku agak bingung melihat "kemajuan" daerah Sanur. Begitu juga pantainya tidak seperti dulu lagi. Tetapi aku tidak mau berpikir tentang itu sekarang. Pikiranku kupusatkan ke pulau di hadapanku. Aku berada di perahu yang berlayar tenang. Laut teduh hanya diwarnai riak-riak kecil.
     Begitu mendarat di Toyapakah, aku sudah mendapat berita bahwa di sebuah tempat ada ular hitam besar. Tidak ada orang yang berani mendekatinya. Katanya ular itu galak sekali. Beberapa orang yang mendekat dipatuknya dan mati hangus. Badan korban itu menghitam. Petugas kepolisian juga gagal membunuh ular itu. Dengan tembakan senapan juga tidak mempan. Ular itu seperti besi saja layaknya.
     "Saya ingin melihat. Di mana tempatnya?" kataku kepada pemilik warung tipat (ketupat).
     "Di sebuah bukit di dekat Tangled," jawabnya.
     "Lho di sana kan ada Balian terkenal"
     "Sudah dicoba tetapi gagal." "Baiklah. Saya akan melihatnya. Hanya melihat."
     Mereka mengangkat bahu. Barangkali mereka mencibir di belakangku. Tentu mereka mengatakan aku orang Jawa yang sok. Ah, masa bodoh. Walaupun aku berbicara dengan bahasa Bali, mereka masih mengenaliku sebagai orang Jawa. Sialan. Ternyata aku kurang tajam mengucapkan huruf "t". Seharusnya aku mengatakan thidhak bukannya tidak. Huh, lidah yang doyan tempe ini.
     Aku menyewa sebuah sepeda tua. Lumayan. Kukayuh sepeda itu terseok-seok menyusuri jalan yang tidak begitu lebar. Di bahuku tergantung bungkusan bilah tombak yang kubawa dari Sala. Sore hari aku tiba di Tangled. Mencari Idayu Pedanda Stri, tidaklah sulit. Orang tua itu ternyata masih mengenali diriku. Kami berbincang-bincang sampai malam.
     Ketika aku membaringkan diri, naluriku mengatakan bahwa aku harus berhati-hati. Entah dari mana datangnya bahaya itu. Aku mempersiapkan diri. Malam itu aku tidak berbaring ketika tidur, tetapi menyandarkan diri di tempat tidur dengan mengganjal punggungku dengan bantal. Mataku setengah terpejam, tetapi hatiku tetap jaga. Aku selalu waspada. Seluruh inderaku kupusatkan sehingga tidak memecah perhatianku.
     Lewat tengah malam, dari kisi jendela kulihat cahaya cemerlang datang dari sebelah barat menuju ke tempatku. Aku meluruskan punggungku. Duduk bersila di atas bale-bale tempatku beristirahat. Begitu cahaya itu menyibak masuk, kuacungkan kedua tanganku menangkis terjangannya yang masuk ke kamar. Tampaknya hendak menerpaku. Begitu cahaya kehijauan itu bertemu dengan kedua telapak tanganku, terasa panas bukan main. Badanku bergetar hebat, hampir saja aku jatuh pingsan. Namun kukuatkan hatiku, juga semangatku. Cahaya yang masih menggantung itu kuterjang dengan kepalan kedua tanganku. Kembali rasa panas membakar lenganku. Panas di tangan menjalar ke dadaku sehingga membuat napasku sesak. Hampir aku tidak dapat menahan tindihan panas yang makin membara. Segera kuingat bahwa di telapak tanganku telah dituliskan rajah Kalacakra. Dengan memusatkan seluruh jiwaku merapal aji Kalacakra, kubuka telapak tanganku.
     Cahaya hijau itu menerjang lagi, dia kupukul dengan telapak tanganku. Cahaya yang bagaikan bola api berwarna hijau itu mental ke luar rumah. Terdengar jeritan yang menyayatkan hati. Aku tidak memburu ke luar, tetapi kembali duduk bersila mengatur napas yang sudah sempat megap-megap. Sandi-sendi tulang tanganku bagaikan lepas. Aku sadar bahwa aku sudah memakai tenaga yang berlebihan. Tidak lama kemudian Idayu Pedanda Stri memasuki kamarku yang sebenarnya sekepat yang diberi dinding.
     "Terima kasih atas bantuanmu, Nak," katanya penuh kasih sayang. Dan para pembaca jangan membayangkan bahwa Idayu Pedanda Stri ini seorang gadis jelita, remaja putri. Bukan. Beliau sudah nenek-nenek. Usianya sudah lebih dari seratus tahun. Masa jaya Kerajaan Badung masih dialaminya. Ketika Denpasar masih dikelilingi hutan. Namun ia tampak masih tegap. Tingginya seratus enam puluh lima. Terlalu tinggi bagi seorang wanita. Keriput di wajahnya memang masih menampakkan sisa kecantikan di masa lalu, gadis kasta Brahmana yang tidak lepas dari keropak berisi ilmu-ilmu kebatinan.
     "Siapa yang datang tadi?" tanyaku "Luh Sukerti. Balian Nusa Penida," jawabnya sambil mengunyah sirihnya.
     "Mengapa memusuhi Anda?"
     "Dia tidak rela titiyang tinggal di sini." Titiyang adalah sebutan untuk dirinya sendiri bagi kasta Brahmana.
     "Mengapa begitu?"
     "Luh Sukerti menghendaki Ular Hitam di Bukit Babaran."
     Aku mengeluh pendek. Rupanya mereka yang bermata tajam sudah tahu apa sebenarnya ular atau yang dihebohkan sebagai Naga Hitam oleh penduduk itu.
     "Kedatangan saya juga untuk itu," kataku kemudian.
     "Titiyang tahu. Titiyang memang menjaga agar lipi itu tidak diambil orang lain. Dewa Ratu memberikan mimpi agar titiyang menjaganya. Tetapi Luh Sukerti tidak mau tahu."
     Sebenarnya ada tanda tanya mengenai Luh Sukerti. Menurut namanya ia pasti masih gadis. Tetapi melihat kemampuannya pasti sejajar dengan Idayu Pedanda Stri. Aku tidak bertanya lebih lanjut.
     "Tinggal saja dulu di sini. Nanti pada Kajang Kelion kita ambil barang itu." Empat hari luang kugunakan untuk segala macam kegiatan. Kadang aku ikut berbasan (membaca keropak dalam bahasa Jawa Kuno yang biasanya cerita Ramayana, Mahabharata, dan lain-lain) di rumah Kelian (Kepala Kampung). Kadang bertukar pikiran dengan beberapa orang pemuda yang sedang mempelajari perihal wayang kulit. Tentu saja aku sangat senang sebab aku juga menyenangi kesenian itu. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku dari keluarga dalang.
     Pada hari Kajang Kelion aku menuju ke tempat Ular Hitam yang dihebohkan itu berada. Kebetulan waktu itu sedang purnama, langit sangat cerah. Aku berjalan sambil menenteng bilah tombak yang berada di dalam bungkusan kain flanel. Jalan setapak yang kulewati cukup baik. Idayu Pedanda Stri yang berjalan di depan terus saja melangkah tanpa berbicara atau menoleh kepadaku. Jalannya masih tegap. Tidak kudengar napas yang memburu. Aku harus mengacungkan jempol kepada wanita tua itu.
     Ketika tiba di lereng sebuah bukit, kami membelok ke selatan. Di sana tumbuhan cukup banyak. Pepohonan besar tumbuh dengan subur. Ketika tiba di dekat sebuah gua, Idayu Pedanda Stri memberi isyarat agar aku masuk. Mulut gua yang diterangi cahaya bulan memudahkan aku mencapainya. Dari cahaya putih yang memantul, jelas bahwa ini gua kapur. Setapak demi setapak aku masuk ke dalam gua yang gelap. Aku berhati-hati. Kuacungkan bilah tombak itu di depan.
     Setelah berjalan beberapa saat, terlihat berkas cahaya yang masuk ke gua. Rupanya ada celah di atas. Kini dengan jelas tampak seluruh ruangan. Di sebuah ceruk kulihat benda hitam besar menggeliat. Dua cahaya hijau cemerlang. Ketika mataku sudah biasa di dalam keadaan remang-remang, dapat kupastikan bahwa benda hitam itu adalah ular. Ya, ular yang besar. Bilah tombak di tanganku kugenggam erat-erat. Bilah itu terasa menggeliat juga.
     Tiba-tiba bilah tombak di tanganku meluncur, menerjang ke depan. Dan yang kulihat sungguh menakjubkan. Kini terlihat dua ekor ular besar yang saling melilit. Entah berkelahi, entah melepaskan rindu. Tetapi keduanya tidak saling menggigit. Tampak jelas betapa erotiknya gerakan keduanya Kini aku dapat memastikan bahwa keduanya sedang melepas rindu.
     Gerakannya makin lama makin hebat. Lilitan makin tak teratur. Cepat sekali. Lalu, dengan tiba-tiba keduanya meregang, dan ... berhenti diam. Begitu kuperhatikan, kedua ekor ular besar itu sudah tidak kelihatan lagi. Kuberanikan diri mendekat. Di tempat itu kini menggeletak dua bilah mata tombak. Kuambil keduanya, kubungkus dengan kain flanel yang kubawa. Di luar gua aku disambut oleh Idayu Padanda Stri yang tersenyum penuh kemenangan.
cerita Murhono HS
terbit di Majalah Senang no.00534, thn 1982 

     Bagi penduduk desa Menara Jati dan sekitarnya yang jauh dari pusat kota, nama Bang Bolang sudah tak asing lagi. Sebab nama Bolang merupakan momok bagi masyarakat di sana. Bolang yang memiliki ilmu silat yang tinggi serta sempurna. Ditambah lagi dengan ilmu kebal yang dimilikinya ia berbuat sekehendak hatinya. Segala ucapan yang keluar dari mulutnya, merupakan perintah yang tak boleh dilanggar. Dan apabila ada yang coba-coba melanggar perintah Bang Bolang, sama saja dengan mengantarkan nyawa dengan suka rela.
     Puluhan kaki tangannya bertebaran di desa Menara Jati dan desa-desa sekitarnya. Mereka menyamar sebagai pedagang untuk dapat berbaur dengan masyarakat yang sedang berada di pasar kalau-kalau mereka bercerita buruk tentang majikan mereka, Bang Bolang yang gagah. Sementara itu kaki tangan Bolang yang menjadi petani akan memasang kuping tajam-tajam, jangan sampai ada pembicaraan di kalangan kuli-sawah itu yang menjelek-jelekkan nama Bolang. Kalaupun ada yang berani untuk berbisik-bisik tentang sepak terjang Bolang, maka tak salah lagi jika alamat buruk pasti menimpanya.
     Tindakan yang sering dilakukan Bolang dan anak-anak buahnya bukan tak diketahui oleh Pak Somad yang menjadi Lurah sejak beberapa tahun yang lalu di desa Menara Jati. Tetapi apa hendak dikata? Pak Somad yang sudah setengah tua itu tak dapat berkutik oleh ancaman-ancaman yang ditujukan kepadanya oleh Bolang. Apalagi Pak Somad tidak memiliki sedikitpun kepandaian silat yang mungkin saja dapat diandalkan untuk merobohkan Bolang. Maka daripada menanggung risiko yang lebih parah, baik bagi keluarganya maupun terhadap dirinya sendiri, mau tak mau sang kepala desa yang setengah tua itu menutup mata saja atas segala tindak kriminal yang dilakukan Bolang di wilayah desa kekuasaannya.
     Jalan lain bukan tak pernah ditempuh oleh Pak Somad dalam usahanya menumpas "gerombolan" Bolang dan kawan-kawannya ini. Pernah pada suatu kesempatan ketika ia menghadiri rapat di keresidenan, masalah Bolang ini sempat dilaporkannya kepada manteri polisi yang kebetulan hadir dalam rapat itu. Tetapi sebelum laporan yang diterima dari Lurah Somad diteruskan oleh manteri polisi tadi ke kantor kores kepolisian terdekat, masyarakat tiba-tiba saja digegerkan oleh berita ditemukannya mayat pak manteri polisi di sebuah kebun tebu tak jauh dari kantor keresidenan. Agaknya di antara peserta rapat yang diadakan di kantor keresidenan tadi terdapat seorang kaki tangan Bolang yang mengetahui perbuatan lurah Somad melaporkan adanya pasukan Bolang di desa kekuasaannya. Dan pak manteri polisi yang berjanji akan meneruskan laporan lurah ke kantor kores kepolisian setempat telah dihadang terlebih dahulu oleh kaki tangan Bolang, sehingga rencana itu berantakan dan berakhir dengan kematian sang manteri polisi yang malang.
     Lurah Somad pun tak luput dari "garapan" gerombolan Bolang. Tetapi agaknya nasib baik masih melindungi Pak Somad. Bolang tak sampai mencabut nyawanya tetapi sebagai gantinya mata kiri Pak Somad buta akibat sodokan jari Bolang yang konon keras bagai besi. Sejak peristiwa itu Lurah Somad terpaksa hanya menarik napas panjang saja setiap menerima laporan dari warga desanya bahwa ia telah dirampok atau dianiaya oleh anak buah Bolang. Sebab menindak salah seorang anak buah Bolang yang merampok sama saja artinya dengan menantang Bolang.
    Begitulah keadaan desa Menara Jati selama beberapa tahun. Tak seorang pun yang berani coba-coba menjadi pahlawan untuk menumpas Bolang dan kawan-kawannya yang kian hari semakin merajalela. Julukan yang kini disandang oleh Bolang adalah "Bolang si Sambar Nyawa". Dan julukan itu memang bukan kosong belaka, sebab Bolang tak membedakan antara pohon kayu dan leher manusia yang dibencinya. Setiap ia merasa dihalangi dalam setiap tindakannya, maka golok yang setiap saat selalu bertengger di pinggangnya tak segan-segan membabat hingga putus kepala musuhnya.
     Tindakan jahat komplotan Bolang yang merajalela di Menara Jati dan desa-desa sekitamya memang sudah terlewat batas dan tak berperikemanusiaan lagi. Mereka memporak-porandakan rumah mangsanya tanpa pandang bulu bila ada informasi yang masuk bahwa seorang penduduk baru saja menjual hasil panennya, atau baru saja menjual temak mereka. Petugas keamanan desa tak ubahnya laksana tonggak-tonggak mati yang tak berdaya berbuat apa-apa atas gerombolan Bolang itu.
    Segala macam jenis senjata tajam tak berarti bagi kulit Bolang. Sedangkan peluru pun tak mampu menembus kulitnya. Hal ini pernah didemonstrasikan Bolang sendiri pada suatu sore di sebuah tanah lapang. Seorang anak buah Bolang disuruh menembak dada dan punggung Bolang dengan senapan yang dimiliki komplotannya. Suara dar... dar...do... yang berasal dari moncong senjata panjang itu tak satu pun yang menembus kulit Bolang. Timah-timah panas tadi tampak jelas di mata penduduk desa Menara Jati, jatuh satu per satu di tanah tepat di kaki Bolang. Sementara itu Bolang hanya tertawa saja memandangi peluru-peluru itu. "Apa kalian kira ini peluru mainan  hah..!!! Kalau tak percaya coba kemarikan kambingmu itu", kata Bolang sambil menunjuk kepada seorang bocah angon yang membawa beberapa ekor kambing gembalaannya sambil menonton demonstrasi Bolang. Meskipun dengan suara yang sendu dan tangis yang pilu, si bocah angon mempertahankan kambingnya agar tidak ditembak, tetapi tanpa ragu-ragu salah seorang anak buah Bolang menyeret seekor kambing ke tengah lapangan. Dan tak lama kemudian kambing yang malang itu sudah tergeletak di tanah tanpa nyawa, ditembus peluru yang berasal dari senjata yang kini dipegang oleh Bolang. "Nah... siapa lagi yang masih mengira bahwa ini senjata mainan anak-anak? Kalau mau coba silakan, akan kubuat ia melingkar di tanah seperti kambing itu", kata Bolang sambil tertawa mengakak meninggalkan lapangan. Baru beberapa langkah Bolang melangkah seorang anak buahnya melemparkan golok ke arah Bolang tetapi golok itu tak berhasil juga melukai kulitnya. Bahkan sebaliknya si pelempar golok tadi terjerit sekeras-kerasnya ketika Bolang membabat sebelah kakinya hingga buntung.
     Sementara si anak buah yang dibabat kakinya itu terlolong-lolong kesakitan, Bolang dengan gaya yang acuh tak acuh melemparkan setumpuk uang, " Nih untuk bayar dokter, jangan lupa kalau sudah sembuh cepat datang ke rumahku, mengerti..!" Setelah itu ia pun berlalu dengan iringan mata yang heran serta dendam yang membara dari penduduk desa Menara Jati. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan? Sebab demonstrasi yang diperagakan oleh Bolang telah membuat keyakinan yang lebih mendalam di hati penduduk desa itu, bahwasanya Bolang tak mungkin dapat ditundukkan oleh siapa pun. Hingga detik ini belum ada yang berhasil membuka tabir rahasia tentang kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Bolang, dan azimat apa gerangan yang dipakainya untuk menahan tajamnya golok serta tahan tembus peluru. Dan Bolang tak pernah menyangka bahwa di antara anak buahnya yang telah dianggapnya setia ternyata ada juga di antaranya yang berusaha untuk mengetahui rahasia kekebalan Bolang. Segala ikhtiar telah mereka lakukan untuk mencapai maksud ini, tetapi semua dukun yang dihu¬bungi dan dimintakan pertolongan, selalu mengatakan,"Wah ... ilmunya terlalu tinggi, aku tak mampu melawannya. Jarang orang yang kuat memegang ilmu yang dimiliki oleh Bolang". Sehingga mereka tak berani lagi coba-coba mengkhianati majikannya yang menurut beberapa dukun tadi mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Bahkan kini sebaliknya, mereka semakin sewenang-wenang dalam melakukan tindakan kejahatan sebab di dalam benak mereka tersimpan keyakinan bahwa tak ada yang berani menghalangi apa pun yang mereka perbuat. Sebab itu berarti harus berhadapan dengan majikan mereka yang kebal dan digjaya.
     Pada suatu hari di desa Meranti Jajar diadakan pesta perkawinan antara putri Pak Carik desa dengan seorang pemuda pendatang yang konon baru pulang dari menuntut ilmu di sebuah pesantren.
     Pesta itu demikian meriahnya, dan tamu yang diundang oleh Pak Carik bukan saja dari desa Meranti Jajar saja, melainkan hampir semua kepala desa dari desa-desa tetangga. Di antara kepala desa yang diundang itu termasuk Lurah Somad, yang menjadi kepala desa Menara Jati. Selain itu aparat pemerintah sekitamya pun tak lupa turut dimintai kehadiran-nya untuk memberikan doa restu kepada mempelai, Pak Wedana, Pak Camat dan tak ketinggalan Komandan Resort Kepolisian setempat pun turut hadir di keriyaan itu.
     Letnan Satu Polisi Amran yang saat itu memimpin Kores setempat malam itu tampak hadir dengan mengenakan baju safari abu-abu. Ia datang bersama beberapa bawahannya yang juga kebetulan diundang oleh Pak Carik. Suasana pesta perkawinan putri Pak Carik pada malam itu begitu meriahnya. Tarian khas daerah setempat yang berupa tayuban serta pencak silat turut mewarnai pesta. Sesekali para undangan dibuat tertawa oleh ulah rombongan dagelan yang malam itu turut dihadirkan.

     Tiba-tiba saja segala kemeriahan serta kegembiraan pesta itu terhenti mendadak. Segerombolan orang yang berwajah kasar dengan pakaian ala warok memasuki arena pesta itu. Pak Carik yang belum mengetahui siapa tamu yang tak diundang itu tiba-tiba saja berdiri mendekati mereka. "Maaf Saudara-saudara, kalau boleh tahu siapakah sebenarnya ki sanak semua ini? Sebab saya merasa tak mengenal ki sanak semua, atau mungkin ki sanak diundang datang ke pesta perkawinan, tetapi telah salah alamat?" ujar Pak Carik dengan suara yang diramah-ramahkan tetapi jelas menahan marah karena merasa dibuat malu oleh "tamu tak diundang" ini. Apalagi di depan para undangan yang rata-rata orang terhormat dan mempunyai kedudukan.
     "Jadi kalau kami mau ikut nandak di sini apa tak boleh? Diundang atau tidak, bagi kami bukan urusanmu. Yang penting kami mau senang, apa tidak boleh?" Jawab salah seorang dari tamu tak diundang tadi dengan tangan yang memelintir kumis tebalnya. Sementara itu Pak Lurah Somad yang telah maklum siapa yang datang itu, diam-diam bangkit dari kursinya dan pergi menghilang entah ke mana, sebab ia tak mau peristiwa yang membuat matanya cacat terulang kembali.
     Para tamu yang menyaksikan adegan ini pun mulai banyak yang berkerumun di sekeliling Pak Carik dan rombongan tadi. Merasa ditantang begitu di hadapan tamu-tamunya, maka tak ayal lagi tangan Pak Carik melayang singgah ke muka si penantang.
     Suasana yang tadinya meriah oleh gelak tawa serta sindiran-sindiran menggoda kedua mempelai, kini berubah menjadi arena perkelahian massal antara rombongan tak diundang dengan undangan laki-laki yang merasa harus membantu Pak Carik .sebagai tuan rumah.
     Tiba-tiba saja terdengar teriakan menggeledek dari sebuah arah yang agak gelap oleh rimbunnya pohon jambu cangkokan.
     "Berhenti..., semuanya mundur..., biar aku yang menghadapi kecoa tua itu". Bersamaan dengan hilangnya suara menggeledek tadi di tengah-tengah tenda pesta telah berdiri sesosok tubuh tegap dengan kumis melintang. Mendadak wajah Pak Carik menjadi pucat setelah maklum siapa yang berdiri di hadapannya. Tetapi sebelum sempat ia berpikir jauh, sebuah tamparan yang sangat keras telah mendarat di pipinya hingga ia jatuh tersungkur ke tanah dan seterusnya pingsan.
     "Siapa yang mau coba-coba dengan Bolang, heh..!   Silakan maju, jangan satu-satu tetapi sekaligus semuanya saja", tantang Bolang dengan pongahnya.
     Letnan Amran segera mengambil tindakan pengamanan.
     "Nama Anda Bolang? Kenalkan saya Letnan Amran, Komandan Resort Kepolisian di daerah ini. Saya harap Anda segera menghentikan tindakan main hakim sendiri, dan saya harap Anda ikut saya ke kantor polisi", ujar Letnan Amran penuh wibawa.
     Bolang bukanlah Bolang bila ia harus mundur atau ciut dengan orang seperti Letnan Amran yang berpotongan peragawan itu.
     "Oh... kau polisi, ya? Kalau kau mau pulang ke kantormu malam-malam begini, pulanglah. Mengapa harus ajak-ajak orang lain?" jawab Bolang dengan memandang sinis serta menganggap rendah kepada Letnan Amran. Tanpa banyak tanya lagi tangan Letnan Amran segera melayang ke pipi Bolang dengan kerasnya, sebab ia merasa tersinggung serta merasa wibawanya sebagai seorang abdi hukum telah dihina dan diejek di muka umum serta masyarakat yang harus diayominya.
     Bolang yang menerima pukulan Letnan Amran, bukannya mengelak tetapi malah tertawa terpingkal-pingkal sambil terus menyodorkan wajahnya. Dan ketika Letnan Amran bermaksud mengulangi lagi pukulannya untuk kedua kalinya, tiba-tiba saja siku Bolang telah mendarat di tulang iganya sehingga ia tersungkur jatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu Letnan Amran bangkit dan langsung mencabut pistol yang sejak tadi telah disiapkan di pinggangnya.
     Dor... dor... dor... , senjata di tangan Letnan Amran menyalak, dan moncongnya tepat diarahkan ke dada Bolang. Sebab Letnan Amran telah mengetahui siapa sebenamya Bolang. Ia telah banyak mendengar tentang tingkah laku Bolang yang meneror masyarakat selama ini. Selain itu ia masih sempat dibisiki oleh Lurah Somad yang lari menghilang tadi bahwa inilah orang yang bernama Bolang. Hingga Letnan Amran bertekad membekuknya.
     "Kalau perlu pergunakan senjatamu". Itu pesan Kolonel Iskak yang masih diingatnya. Perintah itu diterimanya saat ia mengikuti brifing di markas besar, sebelum ia menyusup ke daerah operasi Bolang dengan mengangkatnya sebagai komandan resort untuk sementara. Sebab sebenarnya Letnan Amran adalah anggota Team Anti Bandit dari pusat.
     Itulah sebabnya mengapa Letnan Amran berani mengarahkan moncong pistolnya langsung !ke dada Bolang. Suara letusan senjata api itu membuat semakin paniknya keadaan pesta Pak Carik. Pekikan dari perempuan serta tangis•anak-anak mewarnai suasana gaduh tadi. Tetapi Bolang ternyata tetap berdiri tegar di hadapan Letnan Amran.
     "Kalau perlu habiskan saja peluru di pistolmu itu", ujar Bolang sambil kembali melayangkan sebuah pukulan ke arah muka Letnan Amran mengakibatkan pistolnya terjatuh. Di saat semua orang yang berada di situ terkesima, tak terkecuali Letnan Amran sendiri, tiba-tiba Saleh yang saat itu sedang jadi mempelai, datang ke arah Bolang dengan sikap yang tenang tetapi pasti.
     "Hai Bolang.., kami tak pernah mengganggumu dan anak buahmu tetapi mengapa kau membuat kacau tempat ini? Kalau kau benar-benar jagoan lawanlah aku" ujar Saleh sambil terus mencelat menjauhi arena "pertempuran" tadi dan mengambil ancang-ancang siap tempur di halaman rumah yang tak tertutup terpal.
     Merasa ditantang, darah Bolang menjadi mendidih. Selama bertahun-tahun ia menjadi "biang kerok", belum ada seorang pun yang berani menantangnya duel, apalagi tantangan itu diajukan oleh seorang pemuda yang dianggapnya masih ingusan dan di depan anak buahnya yang kini berbaur dengan penduduk setempat menjadi penonton pertarungan satu lawan satu ini.
     Pertarungan antara Saleh dan Bolang berjalan cukup seru. Meskipun Ratih yang mempelai wanita sudah berteriak-teriak ke arah Saleh agar mundur saja, karena menurutnya .suaminya tak akan mampu menumbangkan Bolang yang tahan senjata tajam dan peluru itu. Tetapi Saleh tak peduli dengan teriakan bidadari yang baru saja menjadi istrinya. Bahkan ia merasa saat inilah ia memberikan "kado" paling istimewa bagi istrinya di pesta perkawinan mereka.
     Jurus demi jurus telah berlalu tetapi belum ada yang tahu pasti siapa di antara mereka yang akan memenangkan pertarungan itu, sebab tampaknya keduanya sama-sama tegar dan sama-sama memiliki ilmu silat yang tinggi. Bolang pun diam-diam merasa takjub kepada "pemuda ingusan" yang menjadi lawannya ini. Sebab belum pernah ia menemukan lawan yang seimbang dalam setiap pertarungan sejak ia turun gunung berguru kepada seorang dukun yang menganut ilmu hitam.
     Pada suatu saat Saleh berhasil dijatuhkan oleh Bolang, pukulan kirinya telak mengenai dada Saleh. Darah segar mengalir dari mulut Saleh. Ratih yang menyaksikan hal itu langsung pingsan. Bolang yang merasa telah menang di atas angin tertawa membahana.
     "Baru seujung kuku kepandaian silatmu bocah ingusan, sudah berani menantang aku, hah..!" katanya dan kembali suara tawanya yang menggelegar terdengar nyaring.
     Tetapi tanpa diduga, tiba-tiba saja Saleh bangkit secepat kilat dan langsung menghunjamkan "senjata"nya yang berrupa tusukan sate yang telah dipakai. Bolang yang tak menduga hal ini, tak sempat lagi menghindar dan jagoan yang ditakuti oleh penduduk itu ambruk ke bumi dengan darah yang mengalir dari lubang bekas tusukan sate yang dilancarkan Saleh tadi. Sebelum sempat menggeliat untuk membalas kembali tusukan sate di tangan Saleh beraksi dan menancap tepat di pusarnya. Dan kali ini diiringi dengan ucapan yang menye¬but asma Tuhan.
     "Asal dari tanah, kembalilah ke tanah, Allah hu Akbar...! Allah hu Akbar..! Dan kembali tusukan sate terbenam ke pusar Bolang setelah terlebih dahulu ditikamkan ke dalam tanah sebanyak tiga kali. Anak buah Bolang yang tadi tertegun menyaksikan adegan sadis itu tanpa banyak bicara lagi langsung melarikan diri. Tapi Letnan Amran yang telah siuman dari pingsannya dan menyaksikan jalannya pertarungan itu segera mengambil tindakan. Dengan memerintahkan anak buahnya serta dibantu oleh masyarakat yang hadir, mereka ramai-ramai mengepung sisa anak buah Bolang. Hingga mereka tertangkap, dan ada beberapa di antaranya yang babak-belur dihajar massa. Baru setelah itu diserahkan kepada Letnan Amran dan membawa mereka ke kantor polisi terdekat.
     Sementara itu Bolang sang jagoan yang kini tak berkutik lagi, telah membuat pemandangan yang mengerikan bagi mereka yang menyaksikannya. Dari seluruh tubuhnya bermunculan lubang-lubang bekas peluru dan bekas-bekas bacokan senjata tajam. Anehnya tak setetes pun darah yang mengalir dari lubang serta bekas bacokan itu. Yang keluar darah hanya dari luka bekas tusukan sate yang dilancarkan oleh Saleh tadi.
     "Rupanya ia menganut iimu karang dan ilmu tameng waja, " menjelaskan Saleh kepada para hadirin yang ada. Ilmu karang dan ilmu tameng waja adalah suatu ilmu yang anti akan senjata tajam serta kebal terhadap senjata apa saja yang diciptakan oleh manusia. Sedangkan mereka yang memiliki ilmu karang, walau sudah mati jasadnya tak akan hancur selamanya, kecuali ilmu yang dipegangnya itu dicabut terlebih dahulu oleh "guru" yang memberikannya. Tetapi jika ilmunya tak sempat dikeluarkan, maka rambut serta kuku dan giginya akan tetap tumbuh memanjang seperti biasa.
     Kini desa Menara Jati dan desa-desa sekitarnya sudah aman dari teror Bolang. Kewibawaan Pak Somad sebagai lurah di desa yang telah dipimpinnya selama bertahun-tahun kini tampak kembali. Dan karena jasa-jasanya yang secara tak sengaja telah menumpas habis komplotan Bolang atas daulat masyarakat desa Meranti Jajar, serta bantuan suara dari beberapa golongan yang merasa berutang budi atas kematian Bolang, Saleh yang ternyata adalah salah seorang murid dari seorang guru aliran putih di sebuah tempat terpencil, diangkat men¬jadi lurah di desa Meranti Jajar. Lalu un¬tuk mempererat hubungan antara Lurah Somad dengan Carik dari Meranti Jajar, desa itu digabung menjadi satu. Tentu saja atas persetujuan pemerintah.
     Nama kedua desa yang digabung itu lalu diubah menjadi desa Jati Jajar. Dan yang menjadi kepala desanya adalah Saleh, sedangkan Pak Somad diangkat menjadi penasihat. Pak Carik yang mertua Saleh tetap di jabatannya semula sebagai Carik abadi.
diterbitkan dalam bentuk hardcopy 
di majalah SENANG 0530, th 1982.

     Cerita ini bukan khayalan belaka, tetapi benar-benar pernah terjadi. Hanya nama-nama mereka yang tersangkut dalam kejadian ini saya ganti dengan nama-nama fiktif sesuai permintaan yang bersangkutan. Peristiwanya terjadi baru kira-kira dua tahun yang lalu, menimpa diri seorang teman akrab saya bernama Kadir.
     Kala itu Kadir masih dalam suasana pengantin baru bersama istrinya, Nurjannah. Masih berbulan madu, begitulah. Meskipun bulan madunya tidak berlanglang-buana ke seantero jagad sebagaimana biasanya dilakukan oleh orang-orang golongan berduit tetapi cuma memanfaatkan masa cuti saja dengan bertandang ke rumah sanak famili. Namun demikian tidak mengurangi kesenangan masa-masa yang paling mengesankan itu.
     Pada suatu malam datang utusan dari ayah Kadir yang disuruh menemui saya, memberi kabar bahwa Kadir sakit.
     "Sakit?" saya bergumam hampir tak percaya. Soalnya baru seminggu yang lalu dia sehat walafiat duduk bersanding di pelaminan. Tetapi sebaliknya saya berpikir cepat pula. Kalau musibah mau datang kapan saja memang bukan mustahil. Kemarin sehat lalu hari ini nyawa dijangkau maut. Mati mendadak, kata orang, dapat saja terjadi.
     "Baiklah. Sebentar aku datang, kau pulang saja duluan", kata saya kepada anak muda yang menjadi utusan itu.
     "Jangan lama-lama, Bang. Soalnya ayah Bang Kadir berpesan betul, agar Abang datang secepatnya," kata anak muda itu.
     "Baik, baik. Aku segera ke sana", saya memutuskan.
     Anak muda itu pergi, saya berpikir keras. Tentu berat penyakitnya. Kalau tidak, takkan saya sampai disusul. Dan saya maklum mengapa saya diminta datang, berarti penyakit Kadir bukan penyakit yang harus diobati secara medis.
     "Kalau tak sanggup jangan dikerjakan, Bang", pesan istri saya waktu saya pamit menyatakan akan menengok Kadir yang dikabarkan sakit itu.
     "Jangan dipaksakan. Ingat, Abang baru mulai belajar. Kalau tak kuat, serahkan saja kepada Tok Guru", pesan istri saya seraya memberikan sepotong kunyit, kemiri, sahang dan sebilah pisau kecil dari baja murni.
     Pesan istri saya itu dapat saya maklumi. Saya memang baru mulai belajar berdukun dari Tok Guru. Jadi saya tak boleh mengada-ada.
     Hari telah menunjukkan hampir pukul dua belas tengah malam. Dingin malam memaksa saya melapisi tubuh dengan jaket tebal. Diawali dengan membaca Bismillahitawakaltu, saya melangkah turun dari rumah.
     Di ujung gang tempat tinggal mertua Kadir, tempat Kadir tinggal setelah menjadi suami Nurjannah, kedatangan saya disambut oleh Pak Iksan, ayah sahabat saya itu. Setelah mematikan kunci kontak motor dan menyandarkannya, Pak Iksan berkata dengan suara yang penuh kecemasan.
     "Cepatlah tengok si Kadir, mengapa dia jadi begitu".
     "Tenanglah, saya akan menengoknya. Kalau saya sanggup tentu akan saya bantu sepanjang kemampuan terbatas yang saya miliki. Di mana dia sekarang?" kataku dengan nada sugesti. Kami memasuki gang kecil sejauh kira-kira 300 meter untuk mendapatkan rumah Pak Hamid, ayah mertua Kadir.
     "Itu dia di sana", Pak Iksan menunjuk ke sebuah pojok di pekarangan rumah.
     Di pojok itu, di bawah sebatang pohon mangga, saya melihat sesosok tubuh yang mulai kehilangan wujud segarnya duduk herpeluk lutut. Dia, Kadir, sahabat karibku. Saya dekati dia, dia diam saja tak bereaksi.
     "Dir, apa kau buat di sini?" tegur saya. Tetapi dia tetap diam.
     "Ayo kita naik ke rumah. Tak baik malam-malam begitu berembun," sambung saya.
     "Takuuuuut . . . ", katanya menyahut.
     "Apa yang kautakutkan?" tanya saya.
     "Takuuut.."  katanya lagi.
     "Sudah berapa lama dia di sini, Pak?" tanya saya beralih kepada Pak Iksan.
     "Tiga hari, jadi mulai lima hari setelah malam resepsi perkawinannya", jawab ayah Kadir.
     "Selama itu apakah dia tidur di sini?"
     "Tampaknya dia antara tidur dan tidak, seperti tidur-tidur ayam. Kalau kami ajak naik ke rumah selalu dijawab dengan perkataan takut. Begitu pula kalau kami suruh makan, nasi yang kami sodorkan selalu dipandangnya dengan perasaan jijik dan dia menolaknya dengan perkataan takut".
     "Jadi selama itu dia tidak tidur dan tidak makan?"
     "Jangankan makan, minum pun dia tak mau", jelas Pak Iksan.
     Kepada Pak Iksan saya minta supaya orang-orang yang tidak berkepentingan yang berkerumun di sekitar pekarangan tempat Kadir berada, diusir saja. Pak Iksan memaklumi permintaan saya dan menyuruh mereka pergi. Hingga tinggallah saya sendiri, Pak Iksan, Pak Hamid mertua Kadir, dan anak muda yang tadi diutus memanggil saya.
     "Semalam kami kesal juga. Kami paksa beramai-ramai dengan mengangkatnya naik ke rumah, tetapi dia meronta-ronta dan kembali lagi ke tempat ini", jelas Pak Hamid.
     "Jangan dipaksa, tak ada gunanya", saya mengingatkan.
     "Apa yang kau takutkan, Dir?" saya coba memancing. Tetapi Kadir diam saja.
     "Nurjanah di mana?" tanya saya kepada Pak Hamid.
     "Di kamarnya. Tiga hari ini dia pun tak tentu tidur, menangis saja memikirkan suaminya", kata Pak Hamid.
     "Boleh saya menjenguknya sebentar?" saya minta izin.
     Setelah diperbolehkan, saya naik ke rumah bersama Pak Iksan dan Pak Hamid. Sedangkan si anak muda saya suruh menemani Kadir. Tetapi hampir saja anak muda itu saya tampar, karena tak mau menemani si Kadir dengan alasan takut.
     "Kalau kau takut, potong saja ***mu...!  jangan jadi laki-laki", bentak saya  Barulah dia mau menuruti perintah saya.
     Di kamarnya, kamar pengantin, saya mendapati Nurjanah sedang terisak-isak dikelilingi oleh ibunya, ibu Kadir, dan beberapa perempuan separuh baya lainnya. Kamar itu masih semerbak bau bunga rampai pewangi kamar mempelai.
     "Nur, ini Abang datang membawa kabar gembira. Kau jangan bersedih terus, penyakit suamimu tak sulit diobati. Dia segera sembuh", aku menghiburnya. Meskipun saya menyadari saya telah berbohong, sebab saya belum pasti tentang sulit tidaknya mengobati penyakit "takut tidur" dan "takut makan" si Kadir itu. Maklum baru sekali ini saya bertemu penyakit "takut" itu.
     Nurjanah agak tenang setelah saya minumkan air penenang hati, segelas air putih yang telah saya jampi-jampi.
     "Nur, Abang mau tanya. Adakah Nur pernah menjalin cinta dengan pemuda lain sebelum dengan Kadir? Atau apakah untuk mendapat Nur tempo hari, Kadir ada bersaing dengan laki-laki lain?" saya mulai mengorek keterangan untuk keperluan pertolongan terhadap sahabatku itu.
     Di sela-sela sedu sedannya, Nurjannah menggeleng-gelengkan kepala.
     "Kalau begitu apakah Nur pernah menyakiti hati orang lain?" Nurjannah juga cuma menggeleng.
     "Atau Nur tahu, barangkali Kadir pernah menyakiti hati orang lain?"
     "Nur tak tahu, Nur tak tahu...", katanya setengah berteriak. Memang pertanyaan ini seharusnya saya ajukan kepada Kadir tetapi dalam keadaannya yang saya nilai gawat, belum mungkin untuk menanyinya langsung.
     “Sudahlah. Sekarang Nur cabalah usahakan untuk tidur, agar Nur tidak jatuh sakit”, saya menasehatkan. Kemudian  mereka saya tinggalkan.
     Saya duduk di tangga rumah. Dengan pisau baja kecil yang tadi dibekali oleh istri, saya mencincang-cincang kunyit sambil menjampi-jampinya dengan beberapa potong ayat-ayat suci Al Quran. Disertai oleh Pak Iksan dan Pak Hamid, saya kembali menghampiri si Kadir yang masih ditunggui oleh anak muda penakut itu.
     "Dir, lihat ini", saya sodorkan kunyit itu tiba-tiba ke mukanya.
     "Jangan ... takuuuut ...", katanya merinding dengan menciutkan posisi duduknya yang berpeluk lutut.
     "Astagfirullah, positif dia kena guna-guna", ujar saya kepada Pak Iksan dan Pak Hamid.
     "Jadi bagaimana?" tanya Pak Iksan.
     "Cobalah bawa ke sini segelas air putih, beri sedikit garam", pinta saya. Setelah air yang diminta datang dan saya jampi-jampi, saya berikan untuk diminumkan kepada Kadir. Celakanya si Kadir tak mau meminumnya. "Takut", katanya. Tetapi saya kumur-kumur dan saya semburkan ke mukanya.
     "Sakit ...", kata Kadir lirih kena air semburan itu.
     Bingung juga saya. Guna-guna apa pula ini? Kalau kena polong, atau jenis tenung kiriman lain yang membuat korban tak sadar atau kemasukan, dapat dipancing dengan menanyainya dari mana asal usulnya. Tetapi yang seperti diderita Kadir, saya belum pernah menemui. Polong bisu pun bukan. Sebab Kadir masih sadar dan masih dapat bicara, walaupun cuma berkata "takut", "jangan" atau "sakit".
     "Pak Iksan, Pak Hamid. Saya minta waktu kira-kira empat puluh menit untuk menjemput seseorang yang saya rasa layak untuk menyembuhkan si Kadir", ujar saya kemudian.
     "Bapak-bapak tunggu saja di sini. Mudah-mudahan cuaca baik, kalau turun hujan kasihan juga si Kadir", kata saya.
     Saya harus memberi tahu Tok Guru, bahwa seorang sahabat karib saya telah menjadi korban guna-guna aneh. Ada pun yang saya maksud dengan Tok Guru, adalah seorang laki-laki berusia 80 tahun, saudara sepupu datuk (kakek) saya sendiri. Beliau seorang dukun yang disegani, dukun dalam pengertian kebajikan, bukan dari kalangan dukun black magic. Nama beliau sendiri Syarif Abdurrakhman Alaydrus, tetapi oleh murid-muridnya biasa dipanggil Tok Guru, karena beliau juga guru mengaji. Sehingga kekallah khalayak yang mengenal beliau memanggilnya dengan sebutan Tok Guru. Meskipun usia beliau sudah mendekati 80 tahun, tetapi langkahnya masih tegap. Matanya belum rabun, telinganya masih terang mendengar, hanya mata sudah cekung dan kulit keriput oleh tua usia. Sedikit-sedikit beliau ada menurunkan ilmu kebajikan untuk saya. Tidak kepada sembarang orang Tok Guru mau mengajarkan ilmu kebajikan itu. Maksudku kepandaian untuk mengobati orang yang terkena guna-guna atau memberi pekasih kepada orang yang biasanya selalu kurang bernasib mujur.
     Dengan mengebut motorku, dalam tempo seperempat jam kemudian saya telah sampai di rumah Tok Guru. Mudah-mudahan Tok Guru tak ada halangan, sehingga dapat saya bawa melihat keadaan si Kadir.
     Tak payah saya menggedor pintu rumah Tok Guru. Begitu kaki menginjak anak tangga rumahnya, Tok Guru muncul menguakkan daun pintu.
     "Maaf, Tok. Ulun mengganggu," ujar saya masih di tangga rumah. (ulun= saya).
     "Naiklah sebentar, aku sudah tahu maksud kedatanganmu. Kawan kau itu memang perlu bantuanku," kata Tok Guru.
     "Bagaimana Tok Guru tahu?" tanya saya heran. Sebab saya belum bercerita tentang maksud kedatangan saya, tetapi Tok Guru telah tahu lebih dahulu.
     "Itulah yang dinamakan kontak batin. Beberapa saat tadi, kau sebagai muridku mempunyai niat akan datang menemuiku untuk minta dukungan, karena kau belum sanggup mengatasi persoalan ini. Hatimu mengatakan, hanya Tok Guru yang sanggup mengatasi persoalan sahabatmu itu. Nah, secara tak langsung kau telah berbicara kepadaku untuk meminta bantuan. Begitulah. Tunggu sebentar", Tok Guru melangkah masuk. Tinggal saya terbingung-bingung duduk di tangga rumah.
     Saya, kagum kepada Tok Guru. Sayang beliau hanya mau menurunkan kepandaiannya sangat minim kepadaku, alasan beliau karena saya masih terlalu muda, baru berumur 33 tahun.
     "Kalau sudah berumur empat puluh tahun ke atas, bolehlah kutambah-tambah sedikit lagi", kata Tok Guru begitu muncul di ambang pintu. Agaknya beliau mengetahui kerisauan hati saya tentang ketidakpuasan saya akan kepandaian yang minim yang beliau turunkan. Tetapi Tok Guru sendiri menurut cerita, sejak berumur 20 tahun sudah mewarisi kepandaian ilmu Kebajikan dari almarhum abah (ayah)nya. Mengapa Tok Guru ragu-ragu menurunkan ilmunya kepada para anak cucunya? Beliau pernah bercerita kepada saya, bahwa beliau khawatir akan disalahgunakan.
     Tak sampai empat puluh menit yang saya janjikan, kami telah berada kembali di pekarangan rumah ayah Nurjannah. Sepanjang jalan tadi telah saya ceritakan keanehan-keanehan yang menimpa diri Kadir kepada Tok Guru yang duduk tenang-tenang dibocengan motorku.
     Setelah berkenalan dan berbasa-basi sekedarnya dengan Pak Iksan dan Pak Hamid, kami langsung mendekati Kadir yang masih meringkuk di bawah pohon mangga. Tampak ia semakin kedinginan, waktu telah menunjukkan pukul 01.00 dinihari.
     Tok Guru jongkok di hadapan Kadir. Lalu secara tiba-tiba saja Tok Guru menampar pipi Kadir kiri dan kanan. Mengaduh tidak, merintih pun tidak ia oleh tamparan itu. Kadir cuma semakin menciutkan diri saja.
     "Jadi dia takut naik ke rumah? tanya Tok Guru kepada ayah Kadir.
     "Ya, selain itu dia juga takut melihat nasi dan bantal", kata Pak Iksan.
     "Coba minta sebuah bantal", perintah Tok Guru.
     Perintah itu saya teruskan kepada si anak muda tadi yang rupanya saudara sepupu Kadir. Dia berlari naik ke rumah dan tak lama turun lagi membawa sebuah bantal yang diterima oleh Tok Guru.
     "Dir, tidurlah", kata Tok Guru sambil menyodorkan bantal itu kepada Kadir.
     "Takut ....takut ...", Kadir menutup mata dengan lengannya.
     "Ada nasi yang masih tersisa di subuh begini?" tanya Tak Guru pula. Setelah ditanyakan ke rumah, untunglah masih ada tersedia nasi dan sisa lauk pauknya. Satu piring nasi yang lengkap dengan lauknya disediakan dan diserahkan kepada Tok Guru. Tok Guru memberikan nasi itu kepada Kadir.
     "Makanlah, Dir. Tiga hari, sudah kau tidak makan dan tidak tidur, bisa mati kelaparan kau", kata Tok Guru mencoba berkomunikasi dengan Kadir.
     "Takut . . . Kadir lagi-lagi menyatakan takut setelah melihat nasi yang disodorkan Tok Guru.
     "Astagfirullah al adzim.." gumam Tok Guru.
     "Mengapa, Tok?" bisik saya di telinga Tok Guru.
     "Dia ditenung orang, timang ayun-ayun", bisik Tok Guru.
     "Timang ayun-ayun itu apa?" saya ingin lekas tahu.
     "Nanti kalian juga akan tahu", jawab Tok Guru singkat.
     Setelah itu Tok Guru mengajak kami semua naik ke rumah dan membiarkan Kadir sendirian di bawah pohon mangga itu.
     "Untung belum terlambat benar saya diberi tahu. Insya Allah dalam empat atau lima hari ini jika anak itu kuat tak makan dan tak tidur, tak akan membawanya sampai ke jurang maut", ujar Tok Guru setelah minum beberapa teguk kopi dan menikmati pisang goreng yang disuguhkan.
     "Tetapi malam ini saya belum bisa mengobatinya. Saya harus mempersiapkan sesuatu dulu di rumah. Insya Allah penyakitnya gampang disembuhkan dengan perkenan Allah,    lanjut Tok Guru tanpa menjelaskan "sesuatu" apa yang akan dipersiapkannya.
     "Kita tunggulah besok malam", ujar Tok Guru pula.
     Besok malamnya kami telah berada kembali di rumah Pak Hamid. Satu masalah lain yang harus kami hadapi ialah menghindarkan pengobatan yang akan dilakukan oleh Tok Guru dari tontonan orang ramai. Tetapi dengan suatu kekuatan batin dan sorot mata yang tajam, Tok Guru berhasil memerintah pasiennya untuk pindah ke tempat yang dikehendaki oleh Tok Guru. Kadir lari ke sebuah sudut di pekarangan belakang, di dekat sebuah perigi (sumur).
     "Tok, kalau dapat dipindahkan ke tempat lain begini, mengapa Tok Guru tidak dapat memerintahkannya supaya mau naik ke rumah dan tidur atau makan?" tanya saya penasaran.
     "Itu lain persoalan, tak segampang yang kaukira", jawab Tok Guru acuh tak acuh.
     Hanya saya yang diperkenankan hadir oleh Tok Guru untuk menemaninya dalam upacara pengobatannya. Pak lksan walaupun ayah kandung Kadir sendiri, tak diperkenankan ikut serta. Tok Guru khawatir terjadi hal-hal yang tak diingini bila keluarga korban mengetahui siapa orang jahil yang telah menyakiti korban.
     Setelah mencelupkan sebilah pisau baja kecil ke dalam semangkuk air putih yang telah dijampi-jampi, Tok Guru memberi isyarat yang saya mengerti. Lalu saya jongkok di belakang Kadir yang duduk bertekuk lutut dengan muka pucat dan tubuh yang cepat sekali telah menjadi kurus. Kemudian Tok Guru menyemburkan air itu ke ubun-ubun Kadir, membuat dia lunglai dan jatuh terguling ke dalam pelukan saya yang telah berjaga-jaga di belakangnya. Lalu saya lepaskan dia tergeletak di sisi perigi.
     "Bismillahirahmanirakhim...” desis Tok Guru.
     Tok Guru lalu membakar kemenyan putih di tempat bara yang sebelumnya telah kami persiapkan. Reaksi pertama, Kadir bangkit duduk bersila. Kedua belah tangannya bertelekan pada kedua ujung lututnya.. Matanya liar menyala-nyala, lalu tak beralih menentang pandangan mata Tok Guru. Tetapi kemudian mata itu menjadi layu bagaikan terkantuk-kantuk oleh tentangan mata Tok Guru.
     "Timang-timang ... ayun-ayun ... temiang bulun berayun-ayun. Buang buang ... kekasih buang ... buang sayang jauh-jauh ... ", Kadir menyanyi terangguk-angguk. Tetapi yang terdengar bukan suaranya sendiri, melainkan suara seorang perempuan tua. Berdiri segenap bulu di tubuhku bila mengingat kejadian malam itu.      "Heh! Kau perempuan tua, berhentilah menyanyi. Siapa kau ini sesungguhnya? Siapa yang sedang kautimang?" tanya Tok Guru kepada perempuan tua yang menyusup di tubuh Kadir. Sesungguhnya, jasad Kadir yang sedang sakit itu berkat ketangguhan Tok Guru, berhasil dikosongkan dari rohnya sendiri dan digantikan oleh setan yang menyaru sebagai roh perempuan tua yang berhasil diundang oleh Tok Guru. Perempuan tua itu adalah dukun jahat yang sedang menganiaya Kadir. Apa-apa yang dikatakan oleh Kadir pada saat-saat itu begitu pula yang diucapkan oleh perempuan tua yang entah di mana itu membuat Tok Guru segera menggunakan "ilmu kundang"nya.
     "Heh ... heh ...", Kadir tertawa dengan suara perempuan tua yang amat menyeramkan. "Aku sedang menimang Kadir, cucuku".
     "Untuk apa kautimang-timang?" tanya Tok Guru, sementara mataku tak lepas-lepasnya memperhatikan Kadir yang berubah mirip perempuan tua baik suara maupun gerak-geriknya.

     "Supaya cucuku tak dapat tidur", jawab Kadir.
     "Lalu yang akan kaubuang jauh-jauh?" tanya Tok Guru pula.
     "Hatinya...".
     "Mengapa mesti begitu?"
     "Entahlah".
     "Mengapa kau tak tahu?"
     "Aku cuma disuruh".
     "Disuruh siapa?" kejar Tok Guru.
     "Rahasia ... heh ... heh ... ".
     "Kalau kau merahasiakannya, berarti kau tidak bersedia bekerja sama dengan Tok Guru. Mau kau jadi musuh Tok Guru?" ancam Tok Guru.
     "Jangan .. Tok Guru kuat ... ", jawab nenek tua yang tak lain setan gambaran roh nenek tua yang menyaru ke dalam tubuh Kadir.
     "Kalau begitu sebutkan, siapa yang menyuruhmu!"
     Nenek tua itu menyebutkan nama seorang laki-laki.
     "Kau sendiri siapa?" tanya Tok Guru.
     "Aku Mariam", jawabnya.
     "Di mana kau tinggal?"
     "Timang-timang... ayun-ayun ... temiang buluh berayun-ayun. Buang-buang ... kekasih buang ... buang sayang jauh-jauh ..", Kadir menyanyi lagi dengan suaranya yang khas tak menghiraukan pertanyaan Tok Guru yang terakhir.
     "Kalau kau mau selamat, sebaiknya kita bekerja sama. Sebuatkan di mana kau tinggal. Atau kubunuh kau!" ancam Tok Guru dengan gerakan seolah-olah akan menghunjamkan ujung pisaunya ke dalam air putih di dalam mangkuk.
     "Ampun..! Jangan bunuh aku. Aku tahu kau lebih kuat dari aku ...", jerit perempuan tua di tubuh si Kadir.
     "Baiklah! Sekali ini kau kuberi ampun, cepat tunjukkan di mana kau tinggal", perintah Tok Guru masih dalam sikap mengancam.
     "Baiklah. Tetapi janji, Tok Guru tak akan membunuh Mariam. Mariam cuma mengambil upah untuk beli sirih", ujar Kadir yang kerusupan dengan suara lirih minta-minta ampun.
     "Tok Guru bukan pembunuh, setan! Tok Guru bukan sebangsa kalian!" bentak Tok Guru marah.
     "Rumahku di..di balik pohon buluh... di...", dengan jelas perempuan itu menyebutkan alamat rumahnya.
     "Baiklah. Aku telah berjanji tidak akan membunuhmu tetapi kau akan berhadapan dengan Tok Guru ..!”, ujar Tok Guru seraya menghela napas dalam-dalam. Lalu Tok Guru memberi suatu isyarat lagi kepadaku. Kembali aku berjaga-jaga di belakang Kadir yang lagi-lagi berdendang "Timang ayun-ayun". Tok Guru komat kamit, entah ayat apa pula yang diserapahkannya. Lalu tiba-tiba "gedebab", Kadir tergolek di pangkuan saya. Dengan tubuh bersimbah peluh, Kadir sadar kermbali dan duduk seperti semula berpeluk lutut sambil meracau terus, "Takut..." katanya.
     "Sudahlah. Sebentar lagi kau tidak akan takut lagi", ujar Tok Guru sambil mengusap-usap kepala sahabat karibku itu.
     "Kita undang jahanam itu", ujar Tok Guru kepada saya dengan suara geram. Sementara itu waktu telah menunjukkan pukul dua belas tengah malam.
     "Apa pun yang nanti kaulihat jangan ditegur", pesan Tok Guru sambil mengambil ancang-ancang duduk di sisi Kadir yang meringkuk bersandar di dinding perigi. Beliau menyuruh saya duduk rapat¬rapat di sisinya.
     Entah ayat-ayat apa yang dibaca Tok Guru dari kitab suci Al Quran, tak jelas terdengar. Hanya setelah itu Tok Guru berpesan mengingatkan sekali lagi agar saya tidak menegur apa pun yang nanti terjadi.
     "Datanglah ... datanglah ...", dengus Tok Guru kemudian terus-menerus dan sambil terus pula membakar kemenyan putihnya. Ada kira-kira hampir satu jam Tok Guru mendengus begitu tanpa letih-letihnya. Keringat bercucuran membasahi dahi dan sekujur wajah Tok Guru.
     "Ngeong ...", tiba-tiba saja seekor kucing hitam melesat di hadapan kami, entah dari mana datangnya. Hampir hilang semangat saya karena terkejutnya, syukur saya teringat pesan Tok Guru untuk tidak membuat reaksi apa pun terhadap apa yang terjadi. Tok Guru sendiri tak menghiraukannya, beliau terus saja memanggil-manggil, "Datanglah...datanglah...”
     Sesaat kemudian kucing hitam yang menyeringai garang di hadapan kami itu lari menghilang ke balik semak-semak di belakang rumah Pak Hamid. Lalu sayup-sayup terdengar suara nyanyi perempuan tua persis seperti yang tadi keluar dari mulut Kadir.
     ”Timang-timang, ayun-ayun...temiang buluh berayun-ayun.. Buang buang kekasih buang.., buang sayang jauh-jauh...". Dan suara perempuan tua yang menyanyi itu semakin mendekat sementara Tok Guru masih terus dengan "kundang"nya (mengundang), "datanglah... datanglah .. ". Kemudian di suatu tempat di semak-semak belakang rumah, saya lihat bergerak-gerak dan seperti dikuakkan orang. Seorang perempuan tua tampak terseok-seok datang sambil menyanyi "Timang ayun-ayun.. ". Tangan perempuan itu memeluk sesuatu seperti sedang menimang bayi. Tok Guru menghela napas dalam-dalam dan tak lagi memanggil-manggil dengan "kundang" nya.
     Perempuan tua yang lewat perantaraan Kadir yang kesurupan tadi mengaku bernama Mariam itu berhenti menyanyi. Sejenak ia memandang kepada Tok Guru, lalu menatap wajah saya. Saya tak mau kalah, saya balik menantang matanya yang tajam kemerah-merahan.
     "Ampunkan saya Tok Guru", kata perempuan tua itu dengan suara yang gemetar lalu memberikan benda yang ditimang-timangnya.
     "Sekali ini saja kau kuampunkan. Sekali lagi kau mengerjakan perbuatan terkutuk seperti ini, awas!" hardik Tok Guru. Mariam bersimpuh, berlutut di hadapan Tok Guru.
     Saya tak sempat melihat dengan jelas benda apa yang diberikan perempuan tua kira-kira berumur 60 tahun itu kepada Tok Guru. Karena begitu benda itu sampai ke tangan Tok Guru, langsung disembunyikan ke balik kain sarung yang diselendangkannya di bahunya. Tetapi benda yang semacam lagi dibiarkan oleh Tok Guru tergeletak di pangkuannya, benda itu ialah mayang pinang.
     "Apa lagi yang akan kau perbuat setelah ini Mariam?" tanya Tok Guru kepada Nek Mariam.
     "Izinkan aku pulang, Tok. Bukan pulang ke rumah", jawabnya.
     "Lalu pulang ke mana?"
     "Ke kampung kelahiranku".
     "Di mana itu?"
     Mariam menyebutkan kampung halaman tempat dia dilahirkan, sebuah kota kecil kecamatan di sebuah kabupaten sebelah tenggara Kalimantan Barat.
     "Baiklah, kau boleh pulang. Tetapi hentikan perbuatan-perbuatan begini, jangan lagi kau ulangi. Pada usiamu yang setua ini, yang terbaik kau lakukan ialah mendekatkan diri kepada Allah. Bangunlah..", nasihat Tok Guru.
     Nek Mariam bangun dari sujudnya. Saya lihat air matanya menitik.
     "Nah, pergilah...", perintah Tok Guru sambil mengibaskan mayang dari Nek Mariam tadi ke kepala Nek Mariam. Seperti tersentak dari tidur yang lelap, Nek Mariam melihat ke kiri dan kanan, melihat Tok Guru dan saya, lalu menunduk kemalu-maluan. Kalau yang tersipu-sipu itu seorang gadis remaja tentu akan membuat kita menjadi gemas, tetapi karena yang melakukannya seorang nenek tua yang keriput, bukan main mengerikannya. Ditambah pula angin malam mengembus dingin.
     Nek Mariam berdiri lantas pergi dengan langkah terseok-seok dan menghilang di balik semak-semak.
     “Kau lihat langkah perempuan tua itu?” tanya Tok Guru.
     “Ya, langkahnya tak lurus, tetapi bersilang-seling”, jawab saya.
     “Perempuan tua itu akan mati bangkit kalau sampai ajalnya nanti”, kata Tok Guru.
     Tok Guru mengajak saya  naik ke rumah. Sebelumnya beliau berpesan. “Ingat, kalau ada yang ingin tahu, jangan sekali-kali kau buka rahasia siapa orang yang hendak mencelakakan si Kadir. Apakah itu nenek tua tadi atau pemuda yang menyuruhnya, jangan kau katakan. Bilang saja tak mengerti atau suruh dia menanyakan langsung kepada Tok Guru”, begitu pesan Tok Guru dengan tandas.
     “Tetapi bagaimana dengan pemuda yang menyuruh nenek tua itu, kita apakan dia?” tanya saya sekadar ingin tahu.
     “Biarkan saja, dia kelak akan menjadi urusan nenek tua itu sendiri. Jangan kita mengadakan pembalasan terhadap orang yang mengguna-gunai orang yang kita tolong. Sekarang yang penting tugas kita sudah hampir selesai, menyelamatkan nyawa sahabat karibmu dari kematian dengan cara yang dikehendaki musuhnya”, kata Tok Guru.
     Sebenarnya masih ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan, tetapi Tok Guru sudah memutuskan demikian, apa boleh buat. “Biarkan saja pemuda itu seterusnya menjadi urusan nenek tua itu.. “ Senjata makan tuan? Wallahu a’lam bissawab.
     Di rumah ayah mertua Kadir, kami berkumpul di sebuah ruangan. Tok Guru, saya sendiri, Pak Hamid, Pak Iksan, beberapa orang lain, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah diizinkan oleh Tok Guru berkumpul bersama-sama untuk melihat sesuatu. Dari balik selendang kainnya, Tok Guru mengeluarkan sesuatu yang tadi beliau terima dari nenek dukun jahat itu. Sesuatu itu adalah semacam boneka yang terbuat dari tanah liat dan dibungkus kain putih mirip kain kafan pembungkus jenazah. Sedangkan pada wajah boneka tanah liat sebesar lengan itu, setelah kain kafannya dibuka, tampak melekat sehelai foto si Kadir. Sedangkan di perut boneka tertulis nama Abdul Kadir bin Muhammad Iksan dengan huruf Arab.
     “Astagfirullah...”, desis Pak Iksan dan Pak Hamid hampir bersamaan. Foto si Kadir oleh Tok Guru dikembalikan kepada ayahnya dan disuruh simpan baik-baik jangan sampai jatuh lagi ke tangan orang jahat.
     “Makanya jangan sembarangan memberikan foto kepada orang. Jangan sembarangan membuang kuku atau rambut. Foto, kuku, rambut, adalah benda-benda sensitif yang mudah dijadikan bahan untuk tenung”, pesan Tok Guru mengingatkan.
     “Perbuatan siapa semua ini, Tok?” tanya Pak Iksan dengan nada tinggi pertanda emosi.
     “Sudahlah. Hal itu kalian tak perlu tahu. Kalau kalian ingin memperpanjang juga, maka persoalannya tak akan ada habis-habisnya. Pertumpahan darah bukan mustahil dapat terjadi. Sebaiknya kita lupakan saja peristiwa itu, yang penting si Kadir selamat. Serahkan saja selanjutnya kepada perlindungan Allah. Nah, sekarang kalian sudah boleh menjemput si Kadir di dekat perigi itu dan bawa dia ke hadapanku”, perintah Tok Guru kepada Pak Iksan dan Pak Hamid. Tak lama kemudian Pak Iksan dan Pak Hamid muncul sambil memapah si Kadir dalam keadaan lemah dan baru saja hilang dari pengaruh jahat Nenek Mariam. Tak sepatah pun kalimat yang keluar dari mulut Kadir, hanya matanya saja yang berbicara melihat kami satu per satu seolah-olah bertanya, apa yang telah terjadi?
     Tok Guru memberinya segelas air putih yang sudah dijampi-jampi. Kadir meminumnya sampai habis. Bukan main hausnya dia. Lalu Tok Guru menyuruh panggilkan Nurjannah.
     “Bawalah suamimu ini, dia sudah sembuh”, ujar Tok Guru kepada Nurjannah kemudian.
     Dengan berderai air mata Nurjannah memeluk suaminya. Begitu pula Kadir, dengan lesu balas merangkul istrinya.
     “Cukup..cukup... Antar si Kadir ke dalam kamar, biar dia beristirahat dulu”, kata Tok Guru kemudian.
     Kadir ditemani istrinya diantarkan orang ke dalam kamarnya yang masih berbau kamar pengantin. Ada yang akan memberi si Kadir makan, tetapi dicegah oleh Tok Guru.
     “Besok saja kalau mau diberi makan, boleh sekenyang-kenyangnya”, kata Tok Guru. Selanjutnya Tok Guru memerintahkan untuk membuang boneka tanah liat dan mayang tadi ke tengah laut.
     “Kalau boleh kami bertanya”, tiba-tiba ujar Pak Hamid, “apa sebenarnya yang menjadi tujuan orang berbuat jahat terhadap menantu saya?”
     “Kalau itu yang menjadi pertanyaan, bolehlah saya jawab”, kata Tok Guru. “Tenung atau guna-guna ini namanya timang ayun-ayun. Sebab boneka yang dilambangkan sebagai tubuh orang yang dikehendaki menjadi korban, ditimang dan diayun-ayun bersama sekeping mayang pinang sambil dinyanyikan oleh dukun jahat suruhan musuh si korban. Guna-guna timang ayun-ayun ini sudah langka sekali, hanya orang-orang tua saja yang pernah bertemu dengan tenung itu”, jelas Tok Guru.
     “Tetapi sepanjang tahu kami, anak saya tak pernah mempunyai musuh”, potong ayah si Kadir.
     “Tentang punya atau tidak punya musuh entahlah.. wallahu a’lam..”, sela Tok Guru.
     “Apa akibat dari tenung timang ayun-ayun itu, Tok Guru?” tanya saya.
     “Yang jelas korban akan takut naik ke rumah, takut bantal dan takut nasi”, lanjut Tok Guru.
     “Coba kalian bayangkan, apa jadinya bila seseorang takut bantal dan tak bisa tidur berhari-hari, takut nasi sehingga tak mau makan sampai berhari-hari. Suatu siksaan perlahan-lahan yang akan membuat orang itu mati kelaparan, mati karena tidak makan dan tidak tidur..”, jelas Tok Guru.
     Ayam jantan terdengar berkokok bersahut-sahutan pertanda fajar sebentar lagi menyingsing. Tanpa kami sadari rupanya cukup lama kami berhal-ikhwal dengan yang hadir mengelilingi Tok Guru. Menjelang salat subuh ketika Tok Guru pamitan akan pulang, Pak Iksan menyelipkan amplop berisi uang ke dalam saku baju Tok Guru. Tetapi cepat dikembalikan lagi oleh Tok Guru.
     “Saya cuma menolong karena lillahi ta’ala..”, ujar Tok Guru.
     “Kalau saya tolak uang ini berarti saya takabur. Makanya sekarang saya berikan lagi dengan harapan untuk disedekahkan saja kepada yang lebih memerlukan..”, lanjut Tok Guru.
     Tok Guru hanya minta sebatang jarum dan sedepa kain kuning sebagai ‘pengeras’ dari orang yang telah beliau sembuhkan.
     Bagaimana pula nasib nenek dukun dan anak muda yang diam-diam telah menjadi musuh si Kadir? Wallahu a’lam.
cerita disampaikan oleh
Effendy Asmara Zola.
diterbitkan dalam bentuk hardcopy
di majalah SENANG 0530, th 1982. 

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.