Articles by "Pada Suatu Waktu"

Tampilkan postingan dengan label Pada Suatu Waktu. Tampilkan semua postingan

     Menjelang 2016 berakhir, saya tiba-tiba dihubungi oleh Ucup, tentang rencana reuni dengan teman-teman semasa sekolah dasar dulu. Sekolah Dasar Negeri Pembangunan I Bawakaraeng dimana Ucup dan saya bersekolah dulu. Sekolah yang masih berdiri tegak hingga saat ini, terletak di jalan G.Bawakaraeng Makassar tepat di hadapan Jalan Terong.
     Niat untuk ngumpul dengan teman-teman semasa SD itu sebenarnya telah lama disampaikan Ucup. Kira-kira sekitar 2012 lalu. Beberapa nama sering disebut-sebutnya, namun di memori saya yang sudah agak rapuh, tidak banyak nama yang mampu muncul dengan segar. Ucup sendiri tidak terlalu detail mendeskripsikan bila ada satu nama yang disebutkannya. Ditambah lagi, aktifitas Ucup yang berpindah dari satu propinsi ke propinsi lain, membuat frekwensi kami bertemu menjadi tidak intensif.
berdiri: Munandar, Muksin, saya, Ucup, Astuti, Khairil dan Muzakkir
duduk: Rosnawati, Rahmawati, Irma, Nuraeni, Marwani, Salma, Vertrani, Maipa dan Fadliah
 
     Sehingga informasi tentang akan segera ngumpulnya kami, yang saya ketahui seminggu sebelumnya, alumni 1977 dari SD Bawakaraeng, menjadi sesuatu yang begitu menggairahkan. Harap-harap cemas tentu saja, jangan sampai tidak mampu segera mengenali teman yang akan ditemui nanti.
     Syukur sekali, di tengah puncak musim penghujan, 12 Desember 2016 kami 16 orang berkumpul di restoran Pualam Makassar. Seperti yang saya kuatirkan sebelumnya, beberapa nama yang sebeanarnya dulu begitu akrab, ketika kami masih sama-sama bocah, sama sekali hilang tertimbun di kedalaman memori saya. Mau bagaimana lagi, saya tidak seberuntung teman-teman lain, yang masih mampu mengingat hampir setiap teman yang ada.
     Sebagai rasa terimakasih, dan rasa-rasa lain yang saling campur aduk di reuni itu, berikut saya dedikasikan sebuah rangkaian gambar sederhana untuk kalian saudara-saudaraku. Banyak kegiatan, kesibukan dan keterbatasan lain yang mungkin saja menghambat kita untuk sering bertemu dan bertemu lagi di masa-masa akan datang. Dan rangkaian gambar-gambar ini semoga bisa menjembatani rasa rindu diantara kita, yang mungkin saja tiba-tiba menyeruak ketika kita berada jauh di rentang jarak dan waktu..
     Very big thanks to all You Guys and Sista.. untuk semua keramahan, keakraban dan kehangatan silaturahmi di saat itu. Saling sabar dalam membantu merajut keping-keping memori yang berserakan entah kemana, diselingi canda segar sedikit usil dan nakal, sungguh merupakan pengalaman yang sangat luar biasa. Sekali lagi terimakasih untuk semuanya, semoga limpahan kesehatan, berkah dan keselamatan selalu menyertaikan kalian.

Updating Extra Notes, April 2017:
     Setelah pertemuan Desember 2016 tersebut, maka pertemuan-pertemuan berikutnya terjadi lagi, antara lain di bulan Februari 2017 yang lalu di Cafe Gigi Jalan Pengayoman Makassar. Berikut rangkaian gambarnya saya buat menjadi video, bisa dilihat di link berikut.
     Beberapa teman yang tidak hadir di Desember 2016, berjumpa di Cafe Gigi tersebut. Mereka antara lain adalah Martini, Ratna Boti, Erna, Maryam, Rohani, Putra, Abdi Rahmat, Makmur, Halwiyah dan Iswati.
belakang: Astuti, Maipa, Rosnawati, Rahmawati, Iswati, Isma, Vetrani, Maryam.
tengah: Ratna, Salmah, Martini, Erna, Marwani, Rohani, Halwiyah
depan: saya, Makmur, Munandar, Abdi dan Putra

     Selanjut di akhir Februari di Clarion Makassar, bertemu lagi, dengan dua wajah baru yaitu Juanda dan Baharuddin. Video berupa rangkaian gambar-gambar ketika bertemu tersebut bisa dilihat di link berikut.
berdiri: Marwani, Maipa, Salmah, Vetrani, Rahwa, Fadliah
depan: Munandar, Baharuddin, Mukhsin, Abdi Rahmat, Juanda, Hero Fitrianto
Afif, Ratna, Vetrani, Maipa, Salmah Hasan, Salmah Syamsuddin, Munandar.
Berkunjung ke kediaman Salmah Hasan bersana new comer dr.Afif.

     Ada semacam rasa rindu yang sebentar lagi hendak terbayarkan, ketika merencanakan untuk kembali menyambangi Gunung Lompobattang. Tidak banyak persiapan yang ruwet, dipilih 1 Juni di tahun 1988 itu menjadi kesepakatan untuk berada di puncak yang pertama kali dikunjungi di tahun 1986 dua tahun sebelumnya. Banyak suka cita, tentu saja selalu menggelorakan setiap rencana perjalanan ke puncak gunung.
     Apalagi di pendakian kali ini, beberapa generasi baru titisan darah-K neranaikan keriuhan yang tercipta. Selain beberapa produk dikdas satu, ada juga beberapa orang simpatisan yang turut meramaikan.
 Afras Pattisahusiwa, Dwi 'Ammy' Rahmiaty, Nevy Tonggiroh, saya sendiri Hero Fitrianto, juga ada Long dan beberapa lainnya simpatisan yang ramanya tidak sempat tertinggal lama di ingatan saya.
 sekitar pos-7 sebelum puncak Lompobattang. Pemandangan yang indah dan sesi foto-foto menjadi alasan untuk sekadar satu dua tarikan  napas yang lebih panjang. 
hehehe.. U know lah What I mean.. :)
 sekitar puncak Gunung Lompobattang.
ada juga As'adi Abdullah, Husnia Asaf, Mappalologau Tantu, Nevy, Long, Hero, Welly Turupadang, Agus Cippe'.
     Ada yang tidak terlupakan di perjalanan ini, bagaimana Agus Cippe' yang dengan susah payah di tarik-tarik dan di paksa-paksa untuk bisa sampai ke puncak. Dan begitu sampai di dekat tugu, langsung duduk berselonjor setengah baring dengan wajah sangat pucat. Saat itu tidak ada yang tahu apa yang dialami oleh Agus. Senda gurau berseliweran ke mana-mana tanpa belas kasihan.
     Setelah perjalanan ini tuntas, beberapa hari setelahnya, Agus menjadi bahan diskusi yang hangat, Dokter yang menangai kasus kesehatan Agus menjadi kaget, Hb Agus melonjak menjadi 11 point, dalam rentang waktu seminggu saja. Rupanya sebelum pendakian itu, Hb Agus hanya 6. Keheranan yang dialami oleh dokter itu menjadi senda gurau, yang mengantarkan tawa sesaat namun menyisakan kegetiran karena tidak mengetahui bagaimana keadaan Agus sebenarnya sebelum ikut mendaki. Nasib baik masih berpihak kepada kita semua.
 gambar atas dengan salah satu peserta yang anggota Menwa Unhas.
Really miss that moment.
bawah dengan Yani Abidin dan Bakhtiar Baso
 tim sweeper di kegiatan ini, Asadi Abdullah, Iwan Amran, Wahyuddin dan saya sendiri Hero Fitrianto. Beruntung tikar daun pandan yang menjadi alas semalam, tidak sempat terekam.
 Pos-9 sebelum puncak Lompobattang. Banyak coretan yang menghiasi ceruk batu itu. Namun, menikmati senja di ceruk yang menghadap ke barat itu sungguh luar biasa. Di cuaca yang indah, lukisan alam seperti gambar di bawah ini menjadi salah satu imbalannya.
      Dan perjalanan itu, tentu saja meninggalkan begitu banyak pelajaran berharga di perjalanan perkembangan Korpala selanjutnya.
Seperti tulisan-tulisan sebelumnya, dengan segala kerendahan hati saya menunggu tambahan kenangan di setiap kita yang sempat bersama di kegiatan itu. Memperkaya kenangan, membantu teman-teman yang lain menikmati dan mensyukuri salah satu momen yang terentang indah di perjalanan hidup ini.

     Semula keberadaan kami berlima di tanah Kajang, hanyalah dalam rangka membantu Wawan untuk merampungkan pengumpulan data lapangan untuk penyelesaian tugas akhirnya. Sebagai mahasiswa geology, maka kewajiban tugas akhir waktu itu adalah melakukan pemetaan di wilayah 81 km persegi. Untuk kepentingan itulah, kami kemudian berkenalan dengan masyarakat Kajang, tempat di mana data-data itu kami kumpulkan. Selama sepuluh hari kami tinggal di rumah Karaeng Liong, salah seorang tokoh Kajang Dalam. Beliau menyandang tugas sebagai Loha Kanang (paha kanan => terjemahan bebas) di dalam struktur kebudayaan masyarakat Kajang Dalam.
     Apa dan bagaimana tugas dan tanggung jawab sebagai Loha Kanang, tidak sempat kami kaji lebih jauh. Tidak banyak informasi yang diceritakan oleh Karaeng Liong pada waktu itu. Satu hal yang kami tau pasti, beliau salah satu orang yang mampu melakukan pengobatan dalam tata cara yang unik namun telah mapan di tengah masyarakat Kajang Dalam. Istilah Kajang Dalam sendiri merujuk ke masyarakat Kajang yang masih terisolasi dari pengaruh luar. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, waktu itu tahun 1985 tanpa penerangan listrik dan tanpa perlengkapan teknologi sama sekali. Bercocok tanam padi dilakukan sekali dalam setahun, mengikuti ritme musim hujan-kemarau.
Amma Toa di Kajang, Puto Cacong, tahun 1985. Beliau adalah Amma terakhir yang terpilih melalui proses seleksi alam yang rumit penuh nuansa sakral dan mistis. Sepeninggal beliau wafat, sempat terjadi kekosongan posisi Amma Toa (pemimpin tertinggi masyarakat adat Kajang) untuk beberapa waktu. Proses alamiah yang ditunggu masyarakat adat tidak kunjung membuahkan hasil, tidak ada penentuan siapa yang mendapatkan petunjuk wahyu dari langit untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan di masyarakat Kajang yang masih original.
 bercengkerama dengan keluarga Karaeng Liong.
     Sementara tempat kami bermalam ini, berada di Kajang Luar. Masyarakat sudah lebih bebas, berpakaian pun sudah tidak terikat harus berwarna hitam. Teknologi dan pendidikan sudah berkembang, terlihat dengan banyaknya anak-anak beraktifikas ke sekolah dan mengerjakan tugar-tugas yang diberikan oleh gurunya. Lalu mengapa Karaeng Liong yang memegang jabatan budaya di Kajang dalam malah tinggal di Kalimporo yang berada di Kajang luar? Menarik fenomena itu, ternyata beliau mau lebih berkembang, bisa menyekolahkan anak-anaknya, yang semuanya itu tidak bisa dilakukan bila tetap tinggal di Kajang dalam.
     Maka di kemudian hari, di saat sekarang ini, anak-anak beliau sudah bisa mengecap buah pendidikan yang mereka semai dahulu. Kualitas kehidupan, pendidikan dan ekonomi yang mapan telah mereka nikmati sekarang ini.
     Untuk menjangkau lokasi Kajang Dalam waktu itu, dari Kalimporo kami biasanya menempuh hutan larangan. Selama satu setengah jamberjalan kaki untuk sampai ke jantung Kajang Dalam. Hutan larangan yang tentu saja menyiratkan aroma mistis, sekaligus mewariskan kearifan yang begitu luhur. Salah satu pesan terpenting ketika hendak melintasi hutan itu adalah, tidak boleh sembarangan memetik atau menebas pepohonan di dalam hutan. Selain itu harus tetap menjaga hati untuk selalu bersahaja, tidak boleh congkak dan angkuh. Suatu perilaku yang dikemudian hari diketahui sebagai kearifan yang luar biasa di dalam melestarikan hutan yang ada di Kajang.
 beliau masih begitu bugar di tahun 1985.
bersama Yustin Kamah, Sulaeman Kamaruddin, Wawan Said dan saya sendiri Hero Fitrianto 
     Kembali ke masalah kemampuan Karaeng Liong dalam ritual penyembuhan yang yang diyakininya, saya sendiri mempunyai kenangan yang tidak terlupakan. Di waktu itu, saya mengalami sedikit gangguan di jantung. Akibat over training sewaktu masih SMA, jantung saya mengalami sedikit ketidak normalan fungsi. Nyeri kadang muncul tiba-tiba tanpa saya ketahui tanda atau penyebabnya. Dan untuk itulah, beliau bermaksud mengobati penyakit saya itu. Saya hanya diminta mempersiapkan mental menjalani prosesnya. Hari itu masih minggu, dan beliau menjanjikan jumat nanti, seperti ritual yang biasa beliau lakukan, akan membakar linggis hingga merah kemudian akan ditempelkan ke dada saya untuk menghilangkan sakit itu.
     Ngeri sekali membayangkannya. Ritual pengobatan itu sendiri sudah sering ditayangkan di berbagai stasiun televisi Indonesia.. sebagai informasi saja bila hendak lebih tahu lebih detailnya. Dan untunglah bagi saya, karena rombongan kami jadwalnya hanya sampai hari Rabu, sehingga saya tidak sempat untuk menjalani ritual itu. Suatu keberuntungan menurut saya, karena sampai hari ini, saya belum pernah untuk cukup kuat mental menjalani proses itu.
 Agustus 2013, saya dan Wawan berkesempatan bertemu beliau di Kassi - Kajang. 
Dalam usia yang sudah begitu sepuh (lahir 1922), fisik beliau masih nampak begitu bugar. Tentu saja dengan beberapa pengecualian, misalnya kemampuan pendengaran beliau yang sudah begitu buruk. Kehadiran kami ternyata tidak sanggup mengusik kemampuan menggali rekaman memori beliau pada 28 tahun yang lalu. Namun bagaimanapun, suatu kesyukuran masih bisa bertemu muka.
     Masih begitu banyak hal yang tetap menjadi mesteri untuk saya, mengenai tanah Kajang itu. Suatu harapan, bisa berkesempatan lagi menelisik lebih detail fenomena kekinian masyarakat Kajang itu.

     Menjadi inspirasi Muhammadin, suami ibu yang bernama Kartini itu mendirikan sekolah yang kemudian dinamainya dengan nama Kartini. Sekolah itu seakan menjadi sebuah prasasti yang menuliskan kisah perjuangan pasangan ini melayarkan cinta bahtera rumah tangganya yang mengobarkan cita-cita mulia akan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat sekitarnya.
     Dan nama Kartini itu yang melekat kuat diingatan saya, ketika pertama kali berkenalan dengan keluarga ini 28 tahun yang lalu. Bagaimana bapak Muhammadin yang bertutur dengan lembut, namun menyiratkan kobaran semangat yang begitu berapi-api, tentang cita-cita sekolah yang didirikannya. Lalu di pertengahan Agustus 2013 ini, suatu anugrah bisa bertemu kembali dengan keluarga beliau yang bersahaja di dusun Kalimporo, yang terletak dalam wilayah administratif desa Tambangan kecamatan Kajang Bulukumba.
 baju biru di gambar bawah adalah bapak Muhammadin dulu, dengan ibu Kartini memakai baju merah maron, bersama anak perempuannya yang bergelayut manja. di gambar atas adalah gambar mereka bertiga ketika saya mampir di kediaman mereka agustus 2013.
ada Yustin Kamah, Sulaeman Kamarudin dan saya sendiri.
      Sayang sekali, pertemuan kali ini berlangsung terlalu singkat. Tidak banyak hal yang sempat kami perbincangkan seperti dulu, ketika rombongan saya menginap sepuluh hari di dusun Kalimporo itu. Di dalam hati, saya berdoa semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama, kesempatan yang lebih longgar bisa mempertemukan kami kembali, lalu bisa bertukar wawasan kearifan masyarakat kajang ke dalam ruang-ruang memori di kepala saya. Suatu harap yang tentu saja tidak muluk-muluk.
 bercengkerama dengan keluarga ini, ibarat menyelam di dalam kesederhanaan yang begitu bersahaja. Ada rindu yang selalu mengusik, untuk kembali dan kembali, mereguk suasana asri dan damai itu.
di sini ada Ahmad Negarawan
      Teriring salam dan doa, semoga bapak Muhammadin, ibu Kartini dan keluarga selalu diberi kesehatan dan umur panjang sehingga kita bisa bertemu lagi dan lagi, di masa yang akan datang.

     Penghujung kemarau tahun 1982, acara penyambutan mahasiswa geology Unhas itu dilakukan. Belum ada format baku tentang apa saja yang akan dilakukan oleh para senior kepada wajah-wajah culun itu. Semua berlangsung spontan, sederhana dengan semangat yang begitu murni, untuk memberi pengenalan lapangan dan gambaran umum mengenai dunia geolgy nantinya.
     Karenanya, tidak ada wajah-wajah tegang. Sama sekali tidak ada kekuatiran anarkisme dalam bayang-bayang kegiatan perpeloncoan. Di beberapa tenda sederhana, senior dan junior berbaur tanpa batasan. Nyanyi bareng, masak-masak bareng dan tentu saja makan bareng dalam tradisi geology. Sungguh, lebih terasa sebagai kegiatan piknik.
Pak Budi menjelaskan panjang lebar segala sesuatu gambaran umum geology, sambil duduk santai di bendung Pa'bunoang juku' yang kering.
     Karenanya, keberadaan dosen di dalam rombongan, bukan menjadi sesuatu yang menimbulkan gatal-gatal alergi di dalam aktifitas kepanitiaan. Justru, kehadiran dosen dimanfaatkan untuk memberi penjelasan sepanjang perjalanan tentang geology secara umum.
     berdiri dari kiri: Amri, Kadoarjuna, Sulaeman, Nurman, Yustin, Amir Jaya dan Samsul Bahri.
duduk dari kiri: lupa, Nunuk, Hero, Muniati, Imran Umar, Selle, Pak Budi, Jalaluddin, Hance, Rafiudin, Stepanus dan Abd. Muis.
 di atas ada Hero, Muniati dan Junahan Satria.
bawah ada Ramlan Nawawi, Muniati, Nunuk dan yang kacamata tanpa topi itu, lupa namanya.
 sekitar puncak Bulu' Paria. Sama sekali tidak ada wajah tegang di dalam acara kemahasiswaan ini.
 setelah bagi-bagi syal geology, santai sambil foto-foto
     Tentu banyak cerita, banyak kenangan yang menyertai langkah para calon geologist itu. Karenanya, dengan segala kerendahan hati, saya menunggu tambahan komentar di bagian bawah, melengkapi serpihan memori yang melekat di kenangan kita masing-masing. Getar rasa kita di kebersamaan waktu itu, dengan mozaik joke-joke konyol sepanjang jalan pasti akan semakin menyegarkan indahnya kenangan yang telah kita ukir bersama.
Jadi jangan ki' ragu-ragu atau keberatan memanjang lebarkan rangkaian mozaik itu. Komentar ta' sangat di tunggu.

     Waktu itu belum ada kampus lapangan yang permanen seperti sekarang ini. Lokasi base camp kulap masih ditentukan sesuai selera kordinator kulap yang bersangkutan. Maka, kulap-dua ku yang berlangsung juli-agustus 1987 itu memilih lokasi base camp di Ralla, Barru. Dan seperti biasa, rumah kepala desa menjadi sasaran untuk itu, ditambah beberapa rumah tetangga, sebagai tempat kost sementara kuliah lapangan berlangsung. Tidak ketinggalan pastinya gedung sekolah dasar yang ada, dimanfaatkan untuk perkuliahan dalam kelas, sekaligus sebagai tempat menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan laporan dan gambar-gambar peta.
      Dokumentasi foto-foto kegiatan kulap-2 ini tidak terlalu lengkap, beberapa arsip yang saya miliki sudah rusak bersama negatifnya. Jadilah, sisa-sisa gambar yang masih selamat saja yang sebisa mungkin saya repro kembali sehingga bisa tampil seperti sekarang ini.
     Hari pertama pastinya dimulai dengan orientasi medan. Semua komponen yang terlibat, beramai-ramai keliling area kulap. Langkah kaki di hari pertama itu terasa masih begitu jauh, untuk membayangkan langkah terakhir di kegiatan ini, 32 hari kemudian. Berangkat dengan prasangka baik untuk setiap langkah yang terayun, hari demi hari dilalui dengan suka cita, tentu saja dengan segala jurus kalasi yang berhasil dan mampu diterapkan. Pokoknya, dibawa happy saja.
     Mengambil pengalaman dari hasil nilai kulap satuku yang jebok, satu strip lagi tidak lulus, maka untuk kulap dua ini saya lebih fokus. Pasang kaca mata kuda, jangan tengok kiri kanan, apalagi sampai odo'-odo' tetangga ataupun kerabat pak desa atau ibu kost. Bukan apa-apa, sebagai praktikan pastinya kita tidak akan sanggup untuk bersaing dengan para asisten dosen ataupun denagn dosennya seklian, dalam urusan odo'-odo' itu. Pengalaman dari kulap satu telah mengajarkan hal itu. hehehe...
     Pak Budi Rohmanto, Ibu. alm Bunga, Pak Kaharuddin MS, mengantar peserta kulap untuk oritntasi medan. Setelah di padang lampe' kita sempatkan untuk foto-foto sambil baku calla-calla karena banyak sudah ketularan penyakit 'okkotz' selama di lapangan.
Persiapan memulai kulap, baris-baris sambil dengar petuah-petuah, lalu berdoa sebelum meninggalkan kampus menuju Barru.
Ada Hermiati Eppang, Selle Hafid, Wawan Purnawarman, Clara Cussoy, Khaerul, Aspa, Idris dan lain-lain..
pasir kuarsa dan batu bara. Selalu ada keriangan di setiap stasiun yang disinggahi. Bukan karena singkapan yang ditemukan, tetapi kesempatan untuk melepas lelah, meneguk air dari botol bekal sambil mencari kesempatan untuk sekadar meluruskan punggung di keteduhan yang tidak termonitor oleh asisten.
     Kebetulan, pelaksanaan kulap dua waktu itu, mengambil jadwal yang juga perayaan Idul Adha. Luar biasa, karena kulap baru selesai seminggu setelah hari raya itu. Saya ingat sekali. Laode Ilva Ania sempat meneteskan air mata, ketika sore menjelang sebaran keesokan harinya, kami jalan pulang menuju base camp, sepanjang jalan tercium bau aroma ketupat yang sementara direbus. Saat-saat berkumpul dengan keluarga di hari raya itu, harus dilewatkan ditempat kulap sambil digoda oleh suasana dan aroma yang membuat kerinduan itu semakin memeras keharuan.
malam terakhir di lokasi, ada panggung nyanyi-nyanyi, juga acara penyerahan hasil kulap ke setiap peserta. Beruntung sempat diabadikan, waktu Ibu Ratna menyerahkan dokumen jatah saya.
     Setelah pelaksanaan kulap, ternyata panitia masih menyimpan banyak sisa anggaran yang berhasil dihemat selama pelaksanaan kemarin. Karenanya, kemudian disepakati diadakan pembubaran panitia di Pulau Samalona. Luar biasa rasanya, kesempatan berkumpul lagi dalam suasana lebih santai, bukan dalam kondisi 'under pressure' seperti waktu masih kulap.
     Tentu saja, makan-makannya juga penting. Menu yang ada lumayan bagus, bahkan sangat layak untuk konsumsi yang menopang peradaban manusia. Hehehe..sudah tidak ada menu paku jembatan, ayam turki ataupun telur dadar setipis kertas dengan campuran tepung (lebih terasa sebagai tepung goreng dibanding telur dadar).
hampir semua hadir, termasuk para dosen dan karyawan jurusan geology.
Ada Nandang, Sulaeman, Nasrullah, Hendro, Alam, dan lain-lain.
terus lagi, ada pak Inji, pak Agustinus ET, pak Bustan, pak Jamal dan ibu.
Selle in action ditimpali oleh Stepanus dengan gitarnya yang tidak jelas menyanyikan lagu apa, Ada Andi Temmu, Hermiati, Pak Inji, Jalaluddin, Asri, Idris dll.
kemesraan ini janganlah cepat berlalu.. syair lagu Iwan Fals yang selalu menemani setiap acara lapangan.. kenangan yang selalu hangat...

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.