Articles by "Lingkungan/Fakta"

Tampilkan postingan dengan label Lingkungan/Fakta. Tampilkan semua postingan

     Perdebatan soal perubahan iklim di antara para peneliti masih berlarat-larat. Tapi ribuan meter di atas permukaan laut, bukti mengenai perubahan iklim itu sulit dibantah. Tshering Tenzing, pemandu pendakian ke Gunung Everest, menjadi saksi bagaimana permukaan bumi ini semakin panas.
     "Semua gletser di sini berubah.. celah-celah bebatuan yang semula tertutup es, sekarang bermunculan," kata Tshering dua tahun lalu. Menurut penuturan sejumlan pendaki, di beberapa titik sudah tak perlu lagi memakai krampon (sepatu es) untuk melewatinya. Sebab, tak ada lagi es di tempat itu. Salju abadi itu tak lagi abadi.
     Tshering menunjuk Khumbu Icefall, titik dimulainya pendakian oleh Edmund Hillari dan Tenzing Norgay ke puncak Everest 60 tahun lalu. "Sebelumnya, sejauh mata memandang hanya ada lapisan es kebiru-biruan. Tapi sekarang batu-batuan bertonjolan," katanya. Perubahan itu, menurut Tshering, bukan terjadi selama puluhan tahun, tetapi hanya dalam hitungan bulan.
     Namun tidak sedikit yang sangsi terhadap pengamatan Tsering. "Itu hanya omong kosong. Pendapat itu sangat berlebihan jika kalian mengamati lebih jauh di atas sana. Salju-salju itu sangat solid, pada suhu minus 9,44 derahat Celcius), dan mereka akan tetap seperti itu," kata Alton Byers, Direktur Sains di Mountain Institute.
     Sekarang ada satu lagi bukti yang memperkuat kesimpulan Tshering Tenzing. Sudeep Thakuri, mahasiswa doktoral di Jurusan Lingkungan dan Keanekaragaman Hayati Universitan Milan - Italia, menunjukkan penyusutan gletser Everest mencapai 13 persen sejak 1965. Garis salju atau snowline pun telah bergeser ke atas sejauh 590 kaki atau sekitar 180 meter dari titik semula.
     Tim Thakuri menggunakan citra satelit serta peta topograpi untuk melacak gerakan glasial serta menggunakan data hidro-meteorologi dari Nepal Climate Observatory dan Depertemen Hidrologi Nepal untuk melacak perubahan suhu dan curah hujan di sekitar Everest hingga Taman Nasional Sagarmatha.
     Hasilnya, ada peningkatan suhu 0,6 derajat Celcius serta curah hujan salju menipis 99 milimeter sejak 1992. Akibatnya, sekitar 247 hektar wilayah di Taman Nasional mengering. Takhuri yang mempresentasikan penelitiannya di Cancun, Meksiko, menduga penyebab melelehnya gletser Everest disebabkan efek gas rumah kaca akibat produksi berlebihan karbon dioksida.
     Namun ia belum dapat membuktikan secara komprehensif bukti hubungan sebab akibat penyusutan es dengan pemanasan global tersebut. Peningkatan suhu yang kian panas di Everest itu dapat mengubah tatanan batuan hingga memicu terjadinya banjir dan longsor, yang selanjutnya tentu akan merusak ekosistem. Menurut Takhuri, penyusutan gletser itu dikhawatirkan dapat mengancam kehidupan 1,5 miliar penduduk yang bermukin di sekitar Everest, yang menggantungkan kebutuhan air serta listrik dari gletser Everest.
     "Gletser dan selubung es Himalaya sudah menjadi menara air bagi Asia karena memasokkebutuhan masyarakat untuk pertokoan, pertanian dan kekuatan produksi industri warga terutama di saat musim kemarau," kata Thakuri.
     Sejak 1980-an, gletser Everst menjadi penyedia listrik bagi warga negara India dengan daya 45 juta kilowatt. Gletser itu mengalir ke sungai-sungai Indus, Gangga, Brahmaputra, Narmada, Tapti, Mahanadhi, Godhavari, Krishna dan Kaveri.
pict: National Geographic
reff : National Geographic;
Sains Life Detik epaper

     Ikan teri memang berukuran kecil. Namun, studi membuktikan bahwa ikan ini turut berperan melawan perubahan iklim. Feses ikan teri membantu menyimpan karbon.
     Grace Saba dari Rutgers University di New Jersey dan Deborah Steinberg dari Virginia Institute of Marine Science, berdasarkan studinya menuturkan, teri memakan ganggang. Feses sisa pencernaan mendendap dengan cepat di lautan dan membawa karbon.
     "Pelet feses dari permukaan bisa bergerak mengendap ke bawah dengan kecepatan hingga 1600 kaki (487 meter) dalam waktu kurang dari sehari selama studi," kata Saba.
     Berdasarkan studi, seperti diberitakan Discovery, Jumat (12/10/2012), setiap feses menyimpan karbon hingga 22 mikrogram.
     "Dua puluh mikrogram mungkin tak terlihat banyak. Tapi jika Anda mengalikannya dengan jumlah ikan dan feses yang mungkin ada di wilayah kaya nutrisi, jumlahnya akan cukup besar," papar Steinberg.
     Dan memang, sebanyak 251 miligram feses per meter persegi mengendap setiap harinya.
     "Penemuan kami menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu,feses ikan dapat mengirim material dari permukaan ke kedalaman, dan melakukannya dengan cepat," ungkap Saba.
     Ikan teri bukan satu-satunya jenis ikan yang membantu melawan perubahan iklim. Dalam spektrum ukuran yang berbeda, paus sperma juga melakukannya.
     Kotoran paus memberi makan flora mikro di permukaan, fitoplankton. Fitoplankton yang mati akan mengendap ke dasar lautan membawa serta karbon dioksida yang diserapnya. Jumlah karbon diokdida yang diserap lewat proses ini bisa mencapai 2 juta ton per tahun.
     Diketahui, konsentrasi karbon dioksida yang meningkat di atmosfer berpengaruh pada perubahan iklim. Dengan banyaknya karbon dioksida yang diserap, perubahan iklim bisa dilawan.
sumber : discovery channel

     Planet bumi kita sedang menghangat, mulai dari kutub Utara hingga di kutub Selatan. Secara global, suhu meningkat rata-rata 0,8 derajat Celcius, bahkan peningkatan yang lebih besar justru terjadi di daerah kutub.
     Dampak dari meningkatnya suhu tersebut juga sementara berlangsung, bukan menunggu beberapa tahun atau puluh tahun ke depan. Benar-benar sedang terjadi saat ini. Tanda-tanda sebagai indikasinya terjadi di seluruh wilayah bumi, bahkan beberapa diantaranya memperlihatkan fenomena yang begitu mengejutkan.
     Panas tidak hanya mencairkan gletser dan es laut, tetapi juga telah menimbulkan pergeseran pola hujan dan juga pola migrasi dan pergerakan hewan.
    
Beberapa dampak peningkatan suhu yang sementara berlangsung :
  1. Mencairnya es di seluruh bagian dunia, terutama di daerah kutub. Gletser di gunung mencair, lapisan es yang menutupi Antartika Barat hingga ke Greenland, termasuk es di laut Arktik.
  2. Peneliti - Bill Fraser sudah menjejak penyusutan populasi Penguin Adelide di Antartika, yang mana jumlah mereka telah berkurang dari 30.000 menjadi 11.000 saja selama kurun waktu 30 tahun terakhir.
  3. Kenaikan permukaan laut menjadi sangat cepat di abad terakhir ini.
  4. Beberapa spesies kupu-kupu, juga rubah telah bergerak lebih jauh ke Utara atau ke tempat yang lebih tinggi untuk mendapatkan suhu yang lebih sejuk.
  5. Curah hujan rata-rata (baik hujan air maupun salju) telah meningkat di seluruh wilayah bumi.
  6. Satu spesies kumbang kulit kayu di Alaska telah berkembang begitu pesat selama musim panas 20 tahun terakhir ini. Serangga tersebut telah menghabiskan hingga 4 juta hektar pohon cemara.

Dampak yang mungkin akan terjadi di waktu mendatang, bila pemanasan global terus berlanjut adalah:
  1. Permukaan laut diperkirakan akan meningkat antara 19 hingga 59 cm di akhir abad ini. Pencairan es di daerah kutub yang terus berlanjut akan menambah kenaikan muka laut sekitar 1 - 20 cm.
  2. Angin topan dan badai lainnya cenderung menjadi lebih kuat.
  3. Terjadi disharmonisasi antara spesies yang saling tergantung satu dengan lainnya. Sebagai contoh, tanaman bisa mekar lebih cepat, sementara serangga yang yang berfungsi untuk melakukan penyerbukan belum aktif.
  4. BAnjir dan kekeringan akan menjadi semakin lumrah. Curah hujan di Ethiopia yang terkenal terbiasa dengan kekeringan, akan turun 10 persen dalam 50 tahun ke depan.
  5. Berkurangnya air segar yang layak untuk digunakan. Jika 'topi es' Quelccaya di Peru terus mencair seperti sekarang ini, di tahun 2100 nanti, akan menyengsarakan puluhan ribu orang yang kesulitan mendapatkan air bersih dan listrik.
  6. Beberapa penyakit menular akan menyebar lebih luas, seperti malaria.
  7. Ekosistim akan berubah, beberapa spesies akan bergerak lebih jauh ke Utara. Beberapa diantaranya akan berhasil sementara lainnya kemungkinan akan punah. Martyn Obbart ilmuwan yang meneliti margasatwa telah menemukan bahwa sejak pertengahan tahun 1980-an, dengan sedikitnya area es dan ikan untuk makanan, beruang kutub ternyata menjadi semakin kurus. Biolog beruang kutub lainnya, Ian Stirling, menemukan pola yang sama di Teluk Hudson. Ia kuatir, jika es laut nantinya menghilang maka beruang kutub turut serta menghilang juga.
Photograph by Ilya Naymushin/Reuters/Corbis
Lihat link berikut untuk mengetahui
Apa Penyebab Global Warming.
Sumber untuk informasi iklim, IPPC 2007
National Geographic.


      Status hubungan dan siklus menstruasi ternyata berhubungan dengan sifat monogami pada (kebanyakan) manusia.
      Menurut penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan di Florida State University, pria lajang menganggap wanita paling menarik di masa puncak kesuburan dalam siklus menstruasi. Sementara itu, pria yang tengah terlibat dalam hubungan justru menganggap wanita kurang menarik pada saat masa puncak kesuburan.
      Ilmuwan di Florida State University meneliti 38 pria usia kuliah selama 3 bulan. Di antara 38 pria tersebut, 12 mengaku tengah menjalin hubungan. Seluruh pria berinteraksi dengan seorang wanita berumur 21 tahun yang tidak mengetahui pria-pria mana yang sudah memiliki hubungan asmara. Para pria diminta menilai "kemolekan" beberapa kali pada beberapa tahap siklus menstruasi.
      Untuk memastikan tidak ada faktor eksternal, ilmuwan meminta si wanita untuk mengenakan pakaian yang sama serta memberitahu cara berinteraksi yang netral dengan semua pria. Si wanita juga diminta untuk menggunakan produk tanpa wewangian dan dilarang menggunakan parfum dan deodoran selama eksperimen.
      Hasilnya, peneliti menemukan kalau pria yang sudah memiliki hubungan asmara menganggap si wanita kurang menarik pada masa subur.
      Para peneliti memperkirakan hal itu terjadi karena orang yang sudah memiliki hubungan secara tak sadar menghindari godaan. Para ilmuwan menyebut hal ini dengan "strategi pemeliharaan hubungan". Strategi ini membantu monogami pada pria dan wanita.

      Para ilmuwan telah menghabiskan waktu selama puluhan tahun untuk mencari tahu apa yang menyebabkan terjadinya pemanasan global (global warming). Mereka telah mengamati siklus alam beserta kejadian-kejadian lain yang diketahui bisa mempengaruhi iklim. Akan tetapi jumlah dan pola pemanasan yang terjadi dan telah diukur dengan cermat, tidak mampu dijelaskan oleh hanya faktor-faktor tadi. Satu-satunya parameter untuk menjelaskan pola pemanasan yang terjadi adalah 'efek rumah kaca' yang timbul oleh aktifitas manusia sendiri.
      Perserikatan Bangsa Bangsa telah membentuk sebuah kelompok ilmuwan yang disebut IPCC (International Panel on Climate Change) sebagai wadah untuk membawa dan mengelola semua informasi mengenai perubahan iklim. IPCC melakukan pertemuan setiap beberapa tahun untuk meninjau dan membahas temuan ilmiah terbaru, membuat laporan berupa ringkasan semua temuan yang diketahui tentang pemanasan global tersebut. Setiap laporan merupakan konsensus (kesepakatan) antara ratusan ilmuwan terkemuka.
      Salah satu hal yang pertama kali di bahas oleh IPCC adalah keberadaan beberapa jenis gas rumah kaca yang dipancarkan oleh manusia dalam berbagai cara dan aktifitas. Sebahagian terbesar berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor (mobil), pabrik-pabrik dan pembangkit listrik. Mereka umumnya membentuk gas Karbon dioksida (CO2). Penghasil gas lainnya adalah gas metana yang dihasilkan dari tempat pembuangan sampah juga dari proses pertanian dan peternakan (terutama oleh proses pencernaan hewan pemakan rumput). Selanjutnya ada gas Nitrogen Oksida yang dihasilkan dari pupuk, gas-gas yang digunakan untuk proses pendinginan dalam industri dan rumah tangga (kulkas - air conditioner), serta rusak dan hilangnya hutan yang merupakan media penyimpan terbaik untuk gas CO2.
      Gas rumah kaca yang berbeda-beda tersebut juga mempunyai karekteristik yang berbeda satu sama lain. Masing-masing mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memerangkap panas, yang bahkan jauh lebih besar dibandingkan gas CO2 sendiri. Misalnya satu molekul metan menghasilkan lebih dari 20 kali pemanasan yang dihasilkan oleh gas CO2. Nitrogen Oksida 300 kali lebih kuat dari CO2. Gas lain seperti CFC (Chlorofluorocarbon) yang telah dilarang penggunaannya di hampir seluruh dunia karena diketahui menurunkan kadar lapisan ozon, mampu menjebak panas ribuan kali lebih besar daripada CO2. Namun karena konsentrasi gas-gas tersebut bisa dikatakan jauh lebih rendah dibanding CO2, sehingga penambahan panas oleh gas-gas tersebut tidak sebesar pemanasan yang diakibatkan oleh gas CO2 sendiri.
      Untuk penyederhanaan istilah satuan efek semua gas tersebut secara bersama-sama, para ilmuwan cenderung menggunakan istilah parameter jumlah keseluruhan gas dalam kesetaraan dengan jumlah CO2. Sejak tahun 1990, emisi tahunan telah meningkat sekitar 6 miliar metrik ton 'setara karbon dioksida' di seluruh dunia, atau telah naik lebih dari 20 persen.
foto : National Geographic
Lihat link berikut untuk mengetahui
Rujukan : National Geographic

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.