Articles by "Jawa Tondano"

Tampilkan postingan dengan label Jawa Tondano. Tampilkan semua postingan

     Terletak di salah satu bagian wilayah Tondano. Tentu saja dihuni oleh orang-orang Minahasa keturunan Jawa, yang merupakan keturunan Kyai Modjo dan pengikut-pengikutnya. Berada di tengah mayoritas suku Minahasa yang mayoritas Kristen, maka kampung Jawa Tondano tampil konsisten dengan warisan nilai-nilai yang telah diletakkan oleh Kyai Modjo dan para pewarisnya.
      Suara adzan terdengar syahdu dari pengeras suara di puncak menara mesjid Al Falah, mesjid terbesar di Tondano. Mesjid yang terletak di jalan poros kampung Jawa Tondano ini menjadi ikon eksistensi 'etnik baru' yang disebut Jaton. Ya, singkatan dari Jawa-Tondano. Ikon sekaligus penanda yang tertinggal tentang bukti sejarah perjuangan  perlawanan penjajahan Belanda di negeri ini.
Tentang Kyai Modjo, bisa dilihat di artikel berikut : Menyapa Kyai Modjo di Tondano
      Keterampilan bertani yang di  menjadi salah satu warisan Kyai Modjo untuk negeri Minahasa, bisa disaksikan dengan begitu bersahaja. Di kampung Jaton sendiri, halaman-halaman yang luas menjadi tempat menjemur padi seperti yang terlihat di gambar berikut ini.
       Satu ikon baru di gerbang kampung Jaton adalah kehadiran Saung Jaton. Bangunan bambu dengan arsitektur tradisional menjadi konsep resto ini. Hanya saja yang menjadi sedikit aneh terasa ketika menikmati sajian di resto ini adalah iringan musik yang mengiringi hampir sepanjang waktu adalah musik daerah Jawa Barat. Sekilas nyaman bersama semilir bayu yang berhembus lembut, namun bila mengingat bahwa ini adalah Jawa Tondano, maka nuansa Sunda sepertinya tidak begitu nyambung. Tetapi bagaimanapun, resto ini menjadi sangat ramai apalagi di saat festival Jaton sedang berlangsung
       Arsitektur rumah Kampung Jawa, tentu saja bersimbiosis dengan arsitektur lokal. Rumah panggung yang terbuat dari kayu lokal pilihan. Namun ada yang membedakan dengan rumah-rumah model Minahasa di tempat lain, karena rumah di Kampung Jawa Tondano diberi tambahan tiang bambu di sisi samping rumah. Tidak ada ketentuan berapa jumlah bambu yang ditambahkan, untuk bambu yang ditegakkan persisi di sisi tiang rumah. Dasar bambu menghunjam ke dalam tanah. ujung atasnya turut menyanggah kuda-kuda atap.
     Meletakkan bambu tersebut rupanya dengan beberapa ritual yang diyakini akan memberi manfaat seperti yang dimaksudkan, yaitu untuk memperkuat rumah, tahan terhadap gempa yang begitu sering mengguncang wilayah Sulawesi Utara, serta membantu rumah tetap tegak menahan hembusan angin yang begitu kencang di waktu-waktu tertentu. Saya sempat merasakan hembusan angin (atau mungkin lebih tepatnya hempasan angin) yang seakan hendak menerbangkan saya yang sedang berjalan. Atap-atap seng yang sudah agak longgar pakunya akan terdengar berderit-derit mempertahankan kedudukannya di atas kuda-kuda.
     Ujung bambu yang digunakan adalah bambu (di Selatan saya mengenalnya sebagai 'petung'). Ketika bambu hendak ditanam, di bagian bawah bambu dilapisi plastik, kemudian dilapisi kain putih di bagian luar. Turut serta berbagai macam benda, disertai doa-doa mengiringi tegaknya bambu penguat rumah tersebut.
     Warga Kampung Jawa Tondano, praktis seratus persen adalah Muslim.Memasuki bulan Ramadhan, nuansa religius begitu terasa. Hampir sama dengan di beberapa tempat lainnya di Nusantara, ada ritual di setiap rumah tangga, berkumpul bersama dengan warga lainnya, bersama-sama melantunkan doa-doa. Asap kemenyan menyebar dengan aroma yang sangat khas. Setelah doa-doa yang khidmat selesai, dilanjutkan dengan menyantap hidangan yang telah disiapkan untuk itu. Beruntung saya sempat mengikuti acara tersebut di rumah Pak Yadi, salah satu warga Kampung Jawa Tondano.
      Sayang sekali, saya tidak sempat menyelesaikan Ramadhan di sana. Dikelilingi masyarakat non Muslim, Kampung Jawa Tondano tetap memancarkan aura religius yang begitu kental selama Ramadhan. Tiga mesjid yang saling bersahutan, saling menyapa menyambut bedug magrib untuk berbuka puasa. Dan ya, ritual buka puasa yang begitu bersahaja. Hanya saja, sedikit berbeda dengan daerah saya di Selatan, bapak-bapak yang menuju mesjid untuk berbuka bersama, menenteng nampan besar terbungkus kain, menuju Mesjid Al Falah (mesjid terbesar di Tondano).
     Ketika pembungkus nampan dihamparkan di atas lantai mesjid, muncullah aneka panganan yang rupanya telah disiapkan dari rumah untuk keperluan buka puasa. Tentu saja panganan menjadi sangat melimpah, melihat hampir setiap orang membawa nampannya (yang lebar dan sarat panganan) masing-masing. Tidak beberapa lama, mereka saling bertukar panganan dari nampan yang dibawa ke nampan bapak-bapak yang lain. Demikian yang terjadi. Tidak ketinggalan teko yang berisi teh maupun kopi dihamparkan, lengkap dengan beberapa gelas yang menyertai.
     Setelah bedug berbuka terdengar, seperti biasa keriuhan dan kebahagian berbuka segera merebak. Panganan yang tentu saja tidak sanggup untuk dihabiskan, dibungkus kembali bersama nampan yang dibawa tadi, dibawa kembali pulang setelah shalat magrib di tunaikan. Ah iya, itulah Jawa Tondano.
     Untuh Idul Fitri sendiri, saya hanya mendapat ceritanya saja, sambil berdoa suatu saat berkesempatan bisa berlebaran di Tondano, bahwa keramaiannya nanti terjadi di hari ketujuh bulan Syawal. Ini hampir sama dengan sebahagian besar wilayah di Jawa. Jadi lebaran satu syawal tidak meriah seperti di Selatan, biasa saja, menunggu hari ketujuh untuk perayaannya. Kerabat dari mana pun akan tumpah ke Tondano, open house tentu saja, merayakan lebaran semeriah yang sanggup dilakukan.

     Tersebutlah seorang putri raja Mongol, bernama Lumimu'ut terdampar di bumi Minahasa. Dia diasingkan dari tanah asal kelahirannya Mongol, karena satu kekhilafan. Ayah Lumimu'ut yang adalah raja Mongol tidak bisa menerima kenyataan bahwa putri yang sangat disayanginya itu ternyata telah hamil sementara Lumimu'ut belum pernah menikah.
     Karena rasa malu yang begitu besar, maka raja Mongol memutuskan untuk mengasingkan Lumimu'ut. Disiapkanlah perahu yang menjadi tumpangan Lumimu'ut mengarungi kehidupannya selanjutnya. Dan tanah Minahasa menjadi tempat berlabuhnya perahu itu, bersama Lumimu'ut yang sedang hamil.
     Seorang diri, Lumimu'ut mempertahankan hidupnya di tanah asing itu. Hingga suatu hari, bertemulah ia dengan Karema, seorang perempuan tua yang iba melihat Lumimu'ut yang sedang hamil tua. Mereka kemudian tinggal bersama, saling membantu hingga Lumimu'ut melahirkan seorang bayi laki-laki.
Toal Lumimuut.  Seorang diri, Lumimu'ut mempertahankan hidupnya di tanah asing itu. Hingga suatu hari, bertemulah ia dengan Karema, seorang perempuan tua yang iba melihat Lumimu'ut yang sedang hamil tua.
 patung Toar - Lumimu'ut di bukit Kasih desa Kanonang Tomohon
Sulawesi Utara
     Anak laki-laki itu diberi nama Toar.
     Beberapa minggu setelah melahirkan Toar, kondisi kesehatan Lumimu'ut sudah pulih. Ia memutuskan kembali ke pantai, berharap bisa kembali ke tanah leluhurnya di Mongol. Toar ditinggalkan di dalam pengasuhan Karema.
     Karema yang arif kemudian membuat dua buah tongkat dari tanaman Tu'us. Tongkat yang sama panjangnya, satu diberikan kepada Lumimu'ut, dan satu lagi disiapkan untuk Toar bila sudah dewasa kelak. Tongkat yang akan menjadi penanda hubungan antara Lumimu'ut dan Toar adalah ibu dan anak. 
     Ketika Lumimu'ut sampai di pantai, perahunya sudah tidak ada. Ia pun menjelajah, mengikuti arah kata hatinya. Langkah kakinya membawanya mengembara menelusuri bumi Minahasa yang permai.
 patung Karema, Toar dan Lumimu'ut
di Bukit Kasih
     Ketika Toar sudah dewasa dan hendak mengembara menjelajah bumi Minahasa, Karema memberikan tongkat untuk Toar dengan satu amanah. Bila bertemu dengan wanita yang membawa tongkat yang sama panjangnya dengan yang ada di tangan Toar, maka dia adalah ibu dari Toar. Toar harus menjaga dan merawatnya karena dialah yang telah melahirkan Toar. 
     Singkat cerita, di dalam pengembaraan, Toar kemudian berjumpa dengan Lumimu'ut. Tongkat di genggaman disamakan panjangnya. Namun mungkin karena tongkat masing-masing telah digunakan di dalam pengembaraan selama ini, maka tongkat itu tidak sama panjang. Toar kemudian menjadikan Lumimu'ut sebagai istrinya yang melahirkan sembilan anak.
     Kesembilan anak tersebut yang kemudian membentuk sembilan sub-etnis Minahasa yaitu:
          1. Babontehu > mendiami pulau Manado Tua.
          2. Bantik > tersebar di Malalayang, Kalasei, Talawaan Bantik, Ratahan dan Mangondow.
          3. Pasan Ratahan (Tounpakewa) > tersebar di kecamatan Pasan, Towuntu, Liwutung, Tolambukan dan Watulinei.
          4. Ponosakan > tesebar di kecamatan Belang dan Ratatotok, mendiami kampung Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian di kampung Watulinei.
          5. Tonsea > mendiami semenanjung Sulawesi Utara mulai dari Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur.
          6. Tontemboan > mendiami daerah Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang, sepanjang kuala (sungai) Ranoyapo yaitu Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo, Tompaso Baru, Madoinding, Tenga dan Sinonsayang.
          7. Toulour > mendiami sekeliling danau Tondano hingga ke pantai timur Minahasa (Tondano Pante) meliputi Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken.
          8. Tonsawang > berdiam di wilayah kecamatan Tombatu dan Touluaan.
          9. Tombulu > tersebar di kota Tomohon, Pineleng, Wori, Likupang Barat dan Manado.
     Mitos ini menjelaskan mengapa suku Minahasa mempunyai rupa yang mirip dengan bangsa Mongolia. Berkulit putih dan bermata sipit. Namun mitos ini tentu saja berbeda dengan dengan temuan ilmiah yang dijabarkan oleh para sejarawan yang telah meneliti secara mendalam tentang Minahasa dan sub etnis yang ada. Bahkan masing-masing sub etnis mempunyai mitos sendiri-sendiri tentang asal usunya.
     Kesembilan sub etnis Minahasa itu membaiat kesatuan mereka di sebuah batu yang disebut Watu Pinabetengan. Tentang Watu Pinabetengan sendiri  akan saya paparkan di artikel yang lain.

 if You think this article is utilitarian
You may donate little cents for next more exploration

     Tersebutlah seorang gadis Minahasa yang cantik jelita yang sangat gemar pada berbagai macam kesenian. Di wilayah Tonsea, dia dikenal bernama Lintang, bunga diantara bunga yang ada di sana. Setiap hari ia bersenandung sambil mamainkan alat musik yang ada di masanya.
     Kecantikan Lintang yang begitu luar biasa, tentu saja menarik minat pemuda-pemuda Minahasa untuk mempersuntingnya menjadi istri. Sayembara pun digelar. Barang siapa yang bisa menghibur hati Lintang dengan memainkan alat musik yang indah, apalagi yang belum pernah terlihat oleh Lintang, maka dialah yang akan mendapatkan Lintang untuk dijadikan istri.
Alat musik tradisional

melody kolintang ~ pic: kolintang[dot]co[dot]id
     Maka berbondong-bondonglah pemuda-pemuda yang ada di Minahasa, pamer kemampuan di hadapan Lintang. Namun tidak satupun yang berhasil memikat hatinya. Keriuhan berakhir, semuanya kembali dengan kecewa karena tidak satupun yang berhasil mendapatkan hati Lintang.
     Salah satu dari antaranya, karena begitu kecewa, melampiaskan kekecewaannya ke gunung Klabat. Ia mendaki menembus lebatnya belantara Klabat. Ko, begitu pemuda itu disapa. Sesampai di puncak, ia merenung, bagaimana caranya bisa mendapatkan hati Lintang. Namun semakin lama berpikir, otaknya terasa semakin mampet saja.
     Karena kesal tidak menemukan ide, Ko membanting tongkatnya yang terbuat dari kayu Wenang. Tongkat Ko membentur batu, terpental ke sana sini dengan suara nyaring. Sesaat Ko tertegun. Suara yang timbul dari tongkatnya terdengar indah berirama. 
     Ko bergegas pulang, sambil membawa beberapa potongan kayu Wenang yang lain. Ia kemudian menyusun beberapa potong kayu Wenang, lalu diketuk-ketuknya dengan batu. Suara denting yang indah terdengar oleh ketukan-ketukannya. Setelah melalui beberapa purnama, Ko sudah mahir memainkan melodi ciptaannya dari susunan kayu Wenang tersebut.
     Ia kemudian menemui Lintang di Tonsea. Ko memperdengarkan irama ciptaannya sambil mengetuk potongan-potongan kayunya. Seketika itu juga Lintang jatuh hati dan kemudian dipersunting menjadi istri Ko. Beberapa waktu kemudian, mereka menjadi terkenal karena alat musik ciptaan Ko yang mereka mainkan berdua. Orang-orang mengenal dan menyebut pasangan suami istri itu dengan menyatukan mana mereka, Ko Lintang.
kolintang raksasa, tercatat di guinness book of record. Kolintang ini terdapat di desa Pinabetengan Tomohon.
     Alat musik kolintang kemudian berkembang menjadi seperti yang kita kenal selama ini.
~terimakasih yang khusus untuk bapak Venty yang telah menuturkan folklore tentang Kolintang tersebut.

     Pertama menjejak bumi Tondano, tidak terlintas sama sekali untuk melakukan penghitungan apalagi pendataan tentang mesjid yang ada di Tondano. Namun setelah beberapa waktu, saya menyadari bahwa pengunjung mesjid untuk beribadah adalah minoritas di tengah masyarakat Minahasa. Lalu tergelitiklah inisiatif reportase tentang keberadaan mesjid-mesjid tersebut, yang setidaknya bisa menjadi panduan untuk yang bermaksud mengunjungi Tondano agar mudah mengakses tempat ibadah tersebut.
     Total ada lima mesjid di kawasan Tondano. Tiga diantaranya saling berdekatan, dua buah di Kampung Jawa dan satu lagi di Tonsea Lama. Ketiganya hanya terpisah jarak beberapa ratus meter. Satu mesjid lagi berada di Kampung Gorontalo yang berlokasi di samping pasar Tondano. Lalu satu mesjid lainnya berada di daerah Sumalangka, kawasan pengembangan masa depan Tondano.
     Untuk wisata religi dengan mengunjungi semua mesjid tersebut, tidak sulit sama sekali. Kota Tondano yang tidak terlalu besar kalau tidak mau dikatakan kecil, dapat dikelilingi bahkan dengan berjalan kaki. Dengan menggenggam google map, maka semua mesjid yang saya maksudkan itu bisa dicapai dengan sangat mudah.

     Berikut, deskripsi masing-masing mesjid yang terletak di wilayah Tondano.
1. Mesjid Nurul Falah Kyai Modjo
     Inilah mesjid kedua yang hadir di Tondano, dibangun oleh Kyai Modjo dan pengikutnya. Mesjid termegah yang ada di Tondano itu terletak di Jalan Kampung Jawa, jalan yang sekaligus menjadi akses bila hendak berziarah ke makam Kyai Modjo.

2. Mesjid Nurul Yaqin Kampung Gorontalo
     Mesjid termegah kedua setelah mesjid Kyai Modjo adalah mesjid di Kampung Gorontalo ini. Letak yang strategis tentu saja, karena terletak persis di tepi pasar induk Tondano. Meskipun jalan depan mesjid tidak luas, namun menara yang tinggi memudahkan untuk menemukan mesjid ini meski dari jarak yang jauh.
     Mesjid ini lahir oleh banyaknya pedagang yang berasal dari Gorontalo yang beraktifitas di pasar Tondano.

3. Mesjid Al-Hikmah Sumalangka
     Sepertinya mesjid ini adalah mesjid yang termuda dari lima mesjid yang ada. Sengaja dibangun di area masa depan kota Tondano, sementara menjadi akses ibadah untuk karyawan dan pns yang berkantor di sepanjang jalan utama Sumalangka.

4. Mesjid Diponegoro Tonsea Lama
      Mesjid pertama di Minahasa? Yang pasti, inilah tempat ibadah pertama yang dibangun oleh Kyai Modjo dan pengikutnya bersama Pangeran Diponegoro. Kawasan Tonsea Lama yang oleh Kyai Modjo dan kawan-kawan diberi nama Tegajredjo, menjadi tempat berdirinya mesjid ini.
     Jejak Diponegoro yang adalah sepupu dari Kyai Modjo diabadikan dengan keberadaan mesjid ini. Diponegoro menyusul sebagai orang yang diasingkan oleh Belanda, setahun kemudian setelah Kyai Modjo mendahului di Minahasa tahun 1829. Saat ini mesjid Diponegoro sedang menggeliat untuk merenovasi bangunannya yang sudah tua.

5. Mesjid Jami Kampung Jawa
     Kampung Jawa yang seluruh penghuninya adalah Muslim, memiliki satu mesjid lagi yang kecil, di tepi perkampungan mereka. Mesjid yang diperuntukkan bagi pekerja di sawah dan kebun untuk bisa segera menunaikan ibadah, karena letaknya dekat dengan persawahan.

if You think this article is utilitarian
You may donate little cents for next more exploration

     Waktu dhuhur telah berlalu, ketika rombongan kami menapaki gerbang menuju makam salah seorang Kyai besar yang pernah dimiliki pertiwi ini. Kyai Modjo yang lahir di tahun 1764 sebagai kerabat kesultanan Jogja, menghabiskan 20 tahun sisa usianya di bumi Tondano. Beliau menjadi salah satu korban 'pembuangan' oleh kompeni yang menjajah nusantara.
     Siang menjelang sore itu, adalah untuk kedua kalinya saya menjejakkan kaki di kawasan makam Kyai Modjo yang juga merupakan cagar budaya. Beda dengan waktu pertama kali mengunjungi makam ini empat bulan lalu, maka kali ini saya sudah menggenggam canon d30 sebagai bekal untuk jepret-jepret situasi sekitar.
 makam Kyai Modjo yang berwarna coklat keemasan dengan kain putih membebat nisan
      Menyempatkan beberapa saat, duduk menikmati teduhnya suasana sekitar makam sambil menerawang bagaimana sang Kyai bersama 62 orang pengikutnya sebagai orang buangan, bertahan hidup yang kemudian melahirkan generasi baru yang hingga hari ini dikenal sebagai suku Jawa Tondano. Berbaur dengan masyarakat sekitar dan mempertahankan budaya serta keyakinan sebagai muslin di tengah masyarakat non-muslim (ada yang mengatakan masyarakat sekitar beliau masih penganut animisme, ada juga yang mengatakan sudah menjadi penganut Kristen), bukanlah hal yang mudah. Apalagi hingga beranak pinak dengan identitas yang tetap terjaga oleh keturunannya hingga saat ini.
     Maka hari ini di tengah masyarakat Minahasa (Tondano sebagai ibukotanya) yang lebih 90 persen adalah non muslim, ada satu wilayah yang disebut sebagai Kampung Jawa. Wilayah yang didiami oleh orang Jawa Tondano (Jaton) yang merupakan keturunan Kyai Modjo dan para pengikutnya. Mereka teguh dengan identitas sendiri, menjaga tradisi dari tanah leluhur di Jawa dan tetap istiqamah dalam kepercayaan sebagai muslim.
      rombongan kecil peziarah di siang hari jelang sore 1 maret 2015
      Duduk di kerindangan sekitar makam sore itu, sambil menatap Tondano di kejauhan bawah sana, saya mencoba menyelami pilu hati seorang kyai yang jauh dari tanah kelahirannya. Beliau dengan tegar mengarungi sisa hidupnya menyebarkan ajaran dan keyakinan yang dianutnya hingga akhir hayat.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.