Articles by "Cerpen/Indonesia/Mistik"

Tampilkan postingan dengan label Cerpen/Indonesia/Mistik. Tampilkan semua postingan

     Setiap hari, seorang rakyat Padang Kemulan harus bersedia untuk disantap oleh Dewata Cengkar. Mereka tidak dapat menghindar dari raja mereka yang berwujud raksasa itu. Karena sudah begitu sumpah dewata.
     Setelah tumbal tanah Jawa ditanamkan di lima tempat, yang pusatnya di Gunung Tidar, yang lainnya di barat dan timur, utara dan selatan, maka dedemit dan berekasan lari terbirit-birit ke dalam gua laut dan ke jurang-jurang yang dalam di sekitar segala gunung yang tinggi menjulang. Selama 21 hari, seluruh gunung di Jawa Tengah menggelegar berubah bentuk seperti wujud kepala Wisynu, sebagai tngkai keris Kujang.
     Maka Aji Saka pun menjalani seluruh daerah-daerah yang telah aman. Tetapi rupanya masih ada juga satu daerah yang rajanya adalah keturunan raksasa.
     "Mengapa penduduk berlarian?" tanya Aji Saka kepada Mbok Kasihan.
     "Mereka menghindarkan agar jangan menjadi santapan Dewata Cengkar hari ini," jawab Mbok Kasihan.
     "Kalau tidak setiap hari ada bayi yang lahir, tentu akan habis seluruh rakyat Padang Kemulan ini," tukas Aji Saka. "Kalau begitu biarlah saya yang mendatangi Dewata Cengkar untuk menjadi santapannya."
     "Jangan Raden,.. biarlah orang lain. Karena Raden orang berilmu, tentu banyak orang lain merasa kehilangan," kata Mbok Kasihan. Sementara Dora dan SEmbada merasa bergidik dengan maksud Aji Saka yang merelakan diri untuk dimakan Raja Dewata Cengkar itu. Sedangkan di dalam hati Aji Saka, ingin melihat keampuhan ilmu raksasa Dewata Cengkar.
      Maka berangkatlah mereka diiringi orang banyak menuju pendopo keraton Padang Kemulan. Dewata Cengkar tertarik hatinya melihat seorang gagah datang mengunjunginya, tetapi tiba-tiba Aji Saka berkata. "Akulah yang bersedia hari ini untuk santapan Paduka Raja."
     Dewata Cengkar melirikkan matanya, memperhatikan wajud Aji Saka sebagai orang berilmu tinggi, kemudian ia berkata, "Kau kuangkat menjadi panglimaku yang utama."
     Dijawab oleh Aji Saka, bahwa ia mau menjadi panglima asalkan diberi tanah Jawa selebar sebannya. Sejenak Dewata Cengkar tersentak, kemudian mengerti bahwa Aji Saka sebenarnya ingin menentang kekuasannya.
     Sementara itu, di belakang Aji Saka banyak rakyat sebagai pengikutnya. Maka dengan memendam marah yang menyala-nyala, Dewata Cengkar menaiki kuda pilihannya, sambil diiringkan oleh sebagian hulu balang dan punakawannya.
     Aji Saka membuka serbannya. Dibentangkannya mulai dari halaman keraton. Tetapi luasnya seban Aji Saka bertambah terus, sampai menuju pantai selatan, sementara rakyat yang melihat keajaiban itu, semakin banyak mengiringkan Dora dan Sembada. Mereka mulai mendukung Aji Saka sebagai orang berilmu yang akan mengalahkan raja mereka yang zalim, pemakan manusia.

     Sesampai rombongan di Padang Teritis, Dewata Cengkar berdiri di atas sebuah tebing pantai. Aji Saka memberi aba-aba kepada Dora dan Sembada, punakawannya. Mereka berdua maklum apa yang harus dilakukan. Mereka segera menolakkan Dewata Cengkar ke laut. Sejenak semua rakyat Padang Kemulan bertempik sorak kegirangan.
     Tetapi tempik soran itu segera terhenti, karena melihat bahwa Dewata Cengkar bukannya musnah. Mungkin karena banyak roh-roh orang yang menjadi santapan di dalam dirinya, Dewata Cengkar berubah wujud menjadi buaya yang sangat besar, sehingga dapat menelan kapal-kapal yang berlayar di panntai selatan. Sehingga tak satu pun kapal yang aman berlayar dari Parang Teritis sampai ke Pelabuhan Ratu. Seluruhnya ditelan oleh wujud inkarnasi Dewata Cengkar.
     Nyai Roro Kidul Putri Per Angin-Angin menjadi sangat bersusah hati karena kerajaan Laut Pantai Selatannya diobrak-abrik oleh wujud baru Dewata Cengakar.
     Sampai akhirnya ia bersumpah di tepi Laut Selatan, "Buaya wujud Dewata Cengkar telah merusak ketenteraman Kerajaan Lautku. Siapa yang dapat mengalahkannya, jika ia perempuan akan kuambil menjadi saudaraku, dan jika laki-laki akan kukawinkan dengan anakku Putri Nini Blorong dari Gunung Merapi."
     Sayembara itu tersebar ke seluruh gunung-gunung. Didengar oleh seluruh anak-anak pandita dan resi. Gunung Merapi memuntahkan asapnya ke atas sebagai tanda menjadi saksi apa yang telah diucapkan oleh Toto Kidul. Berbagai anak raja turunan dewa turun ke Laut Selatan, menandingi Dewata Cengkar, tetapi semuanya tidak ada yang berhasil. Bahkan sebagian tidak kembali karena ditelan oleh Dewata Cengkar dengan rahangnya yang mampu menelan bukit.

     Raden Tumenggung, anak Pandita Agung Gunung Galunggung, datang ke hadapan ayahandanya, "Kalau ayahanda mengizinkan, anakanda akan mencoba kesaktian Dewata Cengkar yang telah berubah wujud menjadi buaya raksasa itu."
     Sejenak Pandita Agung Gunung Galunggung berdiam diri. Karena ia memikirkan bahwa semuanya itu terjadi karena telah demikian kehendak Hyang Widi.
     "Ayahanda tidak dapat menolong anakanda dalam sayembara itu. Semoga saja Para Dewata akan merestui anakanda, untuk dapat mengalahkan Dewata Cengkar. Apabila janji Hyang Widi memang telah begitu, anakanda akan menerima pula nasib yang lain. Karena semuanya bergerak bergantian seperti telah ditetapkan oleh para dewa."
     Diiringi oleh anak-anak para hulubalang istana agung Gunung Galunggung, Radeng Tumenggung berangkat menuju pantai Selatan. Para pandita ikut mengantarkannya dengan membaca doa dan permohonan kepada dewa-dewa, agar Raden Tumenggung berhasil memusnahkan buaya raksasa wujud Dewata Cengkar.
     Raden memilih bukit kararang yang tinggi, sebagai tempatnya terjun ke dalam Laut Selatan. Seperti panah yang meluncur ke permukaan air, hanya bekas titik buih yang putih saja yang menandakan bahwa Raden Tumenggung telah hilang ke dalam Laut Selatan mencari Dewata Cengkar.
     Para Dewa telah menakdirkan, bahwa selama di dalam air laut, Raden Tumenggung dapat bernapas bebas, kaena seluruh keliling tubuhnya tidak tersinggung air laut, disebabkan ada ruangan udara yang dapat dipergunakannya untuk bernapas. Bebaslah Radeng Tumenggung mencari buaya raksasa itu. Sampai ke dalam gua-gua besar di bawah laut, diperiksa oleh Raden Tumenggung. Mungkin saja buaya inkarnasi itu sedang bertapa, untuk menambah kekuatannya.
     Tetapi habis minggu berganti minggu, buaya raksasa itu belum juga kelihatan. Sampai suatu ketika tiba-tiba lidah air laut melonjak ke udara, beberapa kali tinggi pohon kelapa. Disusul oleh hidung buaya raksasa yang terjulur dari bawah air laut. Kemudian ia mengangakan mulutnya yang gelap dan berbau busuk menuju Raden Tumenggung.
     "Aku datang kepadamu, hai Dewata Cengkar untuk menghentikan kerusakan yang kau perbuat di sepanjang Pantai Selatan Ini."
     Buaya itu terperanjat sejenak, kemudian tertawa hebat, sehingga gelombang di antara mulutnya yang menganga, semakin besar, tertiup udara dari dalam perutnya, diiringi ocehan tertuju kepada Raden Tumenggung yang melayang-layang sangat kecil di dalam air.
     "Eh.. kau yang tertarik kepada Nini Blorong, anak Roro Kidul di Gunung Merapi itu, ya.." kata Dewata Cengkar. Maka keduanya pun bertarung, dengan bentuk tubuh yang tidak seimbang. Dewta Cengkar mendapat kesulitan untuk menelan tubuh Raden Tumenggung yang kecil seperti teri sehingga selalu dapat menghindar dari rahang buaya raksasa yang terbuka.
     "Tidak akan semudah itu kau dapat menelanku," ejek Raden Tumenggung, "karena aku juga mungkin telah diizinkan dewata untuk mengalahkan kezalimanmu."
     Suatu ketika Raden Tumenggung berhasil singgah di batok kepala buaya raksasa itu. Langsung ditikamnya dengan keris Kujang Sakti berlubang satu. Tetapi tidak mempan. Karena kulit buaya itu sekeras batu karang. Malahan keris Kujang raib menjadi binatang berekor menuju langit. Dan binatang berekor itu mengeringkan Raden Tumenggung yang di bawah laut. Sehingga tampak di seluruh pegunungan bahwa Dewata Cengkar belum terkalahkan.
     Dua puluh satu hari lamanya, pertarungan itu belum ada yang kalah menang. Terkadang Raden Tumenggung terlempar ke darat, ke kaki gunung, oleh sabetan ekor buaya. Tetapi kembali ia terjun ke laut. Semua rakyat kerajaan Pantai Selatan berbaris di sepanjang pantai, ingin melihat siapa yang akhirnya akan menang.
     "Kau tidak akan dapat mengalahkan aku," ujar Dewata Cengkar, 'kekuatan dari seluruh jantung manusia yang kumakan telah memperkuat kedigdayaan wujudku yang baru."
     Tahulah Raden Tumenggung bahwa memakan jantung manusia adalah syarat ilmu kedigdayaan hitam yang dipakai oleh wujud baru Dewata Cengkar. Itulah sebabnya tidak mudah dikalahkan.
     "Tahukah kau sudah berapa anak raja dan pandita yang berada di dalam perutku ini?" oceh si buaya raksasa, "Kau akan menyusul mereka pula dan berjumpa di neraka jahanam sana."
     Raden sangat geram, sehingga gerahamnya bergemeretakan. Untuk kesekian kalinya ia menerpa raksasa buaya itu. Tetapi disambut oleh pukulan moncong yang besar, sehingga Raden Tumenggung terlempar ke angkasa. Melayang-layang tubuh Raden Tumenggung, lama semakin turun. Sementara itu baya raksasa tadi siap mengangakan rahangnya, menanti Raden Tumenggung jatuh ke bawah.
     Di saat yang berbahaya itulah muncul Roro Kidul yang datang bersama lidah ombak yang bersar dan bersorak, "Sambutlah telur ini dan telanlah agar kau tidak dikalahkannya."
     Dalam keadaan melayang turun, Radeng Tumenggung menyambut telur yang dilemparkan Nyai Roro Kidul itu. Memang tidak ada jalan lain, rahang buaya raksasa telah menantikan batang tubuhnya. Hanya selapir awan tipis jarak montong buaya dengan tubuh Raden Tumenggung.
     Ketika itulah kesempatannya menelan telur yang dilemparkan Nyai Roro Kidul. Tiba-tiba tubuh Raden Tumenggung meledak hebat, berganti wujud menjadi seekor ular naga dengan ekor seperti ikan mas. Ia terjun ke mulut buaya raksasa. Dari lidah naga wujud Raden Tumenggung, meluncur petir dengan tujuh cabang api yang berbeda warnanya.
     Api petir itu langsung memecahkan rahang buaya raksasa, sedang beberapa cabangnya menuju mata dan otaknya. Sehingga buaya wujud Dewata Cengkar itu meraung hebat ke angkasa. Kemudian menggelepar-gelepar. Menimbulkan ombak bergulung-gulung menuju pantai, merusakkan gubuk yang berada di tepinya.
     Hiruk pikuk penduduk di tepi pantai, menghindarkan diri dari ombak guncangan tubuh Dewata Cengkar. Sehari semalam buaya raksasa itu meregang nyawa di dalam Laut Selatan. Selama itu ia berenang dari arah barat ke timur, merusak apa yang dapat disambarnya, sungguhpun kedua matanya telah buta.
     Hari ketujuh, ombak pun reda. Bangkai buaya raksasa telah tenggelam ke dasar laut. Tinggal Raden Tumenggung yang heran melihat dirinya berubah menjadi seekor naga berekor ikan mas. Tidak jauh dari sana Nyai Roro Kidul yang berdiri di atas ombat, tersenyum dan berkata kepadanya, "Kau telah lulus dari sayembara besar ini dan aku rela anakku Putri Nini Blorong menjadi istrimu."
     Raden Tumenggung menjadi gundah. Karena ia berubah wujud. Ia teringat kepada wasiat ayahnya, Raja Agung Gunung Galunggung, bahwa sumpah dewata bila dihalangi akan berakibat buruk bagi makhluk.
     Apa daya Raden Tumenggung yang telah menjadi naga? Ia tak bisa kembali menjadi makhluk biasa karena telur tumbal janji telah ditelannya. Bagaimana lagi akan mengeluarkannya? Dengan perasaan sedih Raden Tumenggung menuju ke pantai. Dari laut kelihatan olehnya ayahnya berdiri menunggunya di lereng Gunung Galunggung. Raden Tumenggung tidak dapat lagi menahan air mata, untuk mengadukan nasibnya.
     "Kau telah berubah wujud, anakku," ujar Raja Agung Galunggung, "oleh karena itu, kau harus bertapa 1000 tahun lamanya, agar kau kembali seperti biasa. Masuklah ke salah satu gua di kaki Gunung Galunggung. Bagaimanapun, sumpah itu tidak dapat kutolak. Kau telah menjadi suami dari Putri Gunung Merapi, anak Nyai Roro Kidul yang cerdik itu."
     Mendengar ucapan ayahnya, Raden Tumenggung merangkak ke lereng Gunung Galunggung. Dicarinya salah satu gua yang menghadap arah ke baratdaya, lalu menghilang di sana.
     Sementara itu sang Nyai Roro Kidul menyiapkan pesta perkawinan putrinya. Tetapi ketika itu Raja Agung berkata, "Biarlah anakku bertapa selama seribu tahun sampai dia kembali berubah wujud. Setelah itu baru dia kita nikahkan dengan anakmu Putri Nini Blorong." Sementara itu Gunung Merapi menyentak-nyentak mengeluarkan abu, pertanda telah bersedia untuk menjadi pengantin Raden Tumenggung yang dapat mengalahkan buaya raksasa Dewata Cengkar.
     Alangkah sedihnya Nini Blorong mendengar pesta perkawinan itu diundurkan sampai seribu tahun, menantikan Raden Tumenggung selesai bertapa brata. Kerinduannya yang tertahan-tahan menyebabkan Gunung Merapai selalu mengeluarkan abu dan meletus.
     Sedangkan Raden Tumenggung tidak bergerak seperti batu menghadapkan dirinya ke arah baratdaya. Setiap seratus tahun diberinya pertanda bahwa setingkat tapanya telah bertambah dan akan terjadi perubahan pada dirinya.
     Bila mereka menikah kelak akan terjadi perubahan besar di tanah Jawa ini. Sesudah Gunung Galunggung meletus pada tahun 1882, disusul pada tahun 1982 ini genaplah seribu tahun Raden Tumenggung melaksanakan tapanya. Maka wujud naga batang tubuh Raden Tumenggung tampak oleh penduduk di sekitar Gunung Galunggung, turun ke bawah. Anak Galunggung ikut meletus, memberitahukan hal ini kepada Sang Hardi Hyang, yang disampaikannya dengan abu yang tersebar sampai ke Gunung Sanggabuana Bandung dan sekitarnya.
     Setelah beritu itu disampaikan, barulah diteruskan ke seluruh gunung yang berada di sekitar Gunung Merapi Jawa Tengah, Gunung Wilis, Gunung Sepuh, Gunung Merbabu, Gunung Pangrango, Gunung Muria dan Gunung Selamat. Yang terakhir ini sebagai batas hulu dengan mata keris Kujang.
     Karena Gunung Selamat dianggap sebagai pandita yang sanggup memberikan wejangan waskita tentang perjodohan yang telah disumpahkan Nyai Roro Kidul, abu yang menyelimuti Gunung Selamat, disambut gunung itu dengan kepulan asap kepundannya, pertanda bahwa wejangan itu deberikan tidak berapa lama lagi.
     Sementara itu wujud Raden Tumenggung telah berubah dari naga dengan ekor seperti ekor ikan mas, menjadi dewa yang beristrikan Nini Blorong. Sebagai pertanda bagi manusia yang akan datang, bahwa tugas Gunung Merapi Jawa Tengah beralih kepada Gunung Galunggung di Jawa Barat.
     Kata orang waskita: Jika perkawinan gaib Gunung Merapi dengan Gunung Galunggung telah terjadi, akan ada pesta gaib di seluruh tanah Jawa.
     Dilengkapi dengan pertanda terjadinya gerhana matahari pada bulan Juni 1983 yang akan datang. Nyai Roro Kidul akan naik ke daratan untuk menikahkan anaknya dengan Raden Tumenggung. Ia akan muncul dari arah Parang Teritis, bila Gunung Merapi meletus dan mengeluarkan laharnya ke arah baratdaya. Dan lahar itu akan membelah Kali Progo dan Kali Opak sehingga air laut masuk ke tengah pulau, sebagai pertanda Nyai Roro Kidul telah datang bersama seluruh punakawan dan dayang-dayangnya. Tentu saja daratan yang dilaluinya akan berubah, seperti  ucapan Jayabaya, "Pulau Jawa ini pada suata masa akan menjadi seperti kapal tua, bocon di tengahnya dan masuk air."
     Semua makhluk gaib berunding, membicarakan kedatangan Nyai Roro Kidul ke pedalaman daratan, dari kerajaannya di Pantai Selatan.
     "Apakah ia akan masuk terus menembus pedalaman Jawa Barat sampai mencapai Gunung Gslunggung?" Sebagian orang merasakan  perubahan bentuk Pulau Jawa yang mengakibatkan terdesaknya manusia oleh air laut, menggantungkan harapan kepada Pangeran Akidah Gaib yang bertapai di Gunung Selamat. Dialah yang dapat membatasi perjalanan air laut itu sampai ke pintu masuk sebelah timur.
     Teteapi Nyai Roro Kidul bersumpah, bahwa ia harus sampai ke Gunung Galunggung, untuk memperjabatkan tangan anak dan menantunya. Sumpah itulah yang sedang dipikirkan oleh Pangeran Akidah Gaib yang masih menadahkan kedua tangannya kepada Penguasa Tunggal, menanyakan apa sesungguhnya kesalahan manusia sampai harus tersingkir oleh air laut.
     Mohon petunjuk apa kebijaksanaan yang harus dilakukan, pengganti sumpah Roro Kidul memeriahkan perkawinan anaknya.
     Orang-orang waskita seperti memakan buah simalakama, menghadapi perkawinan Gunung Merapi dengan Gunung GAlunggung. Jika kedatangn Roro Kidul bersama meluasnyakerajaan lautnya diterima, Gunung Merapi akan meletus terus.
     Demikian juga Gunung Galunggung akan mengancam keselamatan manusia di sekelilingnya. Tetapi bila perkawinan mereka dilangsungkan, Nyai Roro Kidul dengan seluruh abdi kerajaannya akan melalui tengah-tengah Pulau Jawa, bersama air laut sebagai pengantar perjalanan mereka.
     Bila Pangeran Gunung Selamat menghalangi perjalanan Nyai Roro Kidul hanya sampai di lereng bagian timurnya, berarti perta pernikahan itu belum sah, karena Nyai Roro Kidul belum sampai di lereng Gunung Galunggung. Tetapi akan diam sajakah Nyai Roro Kidul diperlakukan seperti itu?
Majalah Senang  0534 thn 1982

     Kesal sungguh hati Utoh Berahim. Kehilangan alat-alat pertukangan yang selama ini selalu menemaninya dalam mencari nafkah hidupnya sehari-hari, membuat ia merasa seperti orang yang kehilangan sepasang tangan saja. Alat-alat itu begitu dibutuhkannya, karena tanpa benda-benda itu dia tak dapat bekerja dan tak bisa menerima upahan dari orang-orang yang membutuhkan keahliannya dalam membuat rumah.
     Telah tiga hari lebih ia mencari alat-alat pertukangannya itu di mana-mana, sampai-sampai seluruh isi rumahnya terobrak-abrik. Tetapi sampai letih ia mencari, alat-alat itu tidak juga berhasil ditemukannya. Bagaikan telah raib saja dari rumahnya.
     Sebagai seorang 'utoh', panggilan untuk seseorang yang mahir dan ahli dalam soal membuat rumah di daerah Aceh, Utoh Berahim benar-benar merasa kesal dengan kehilangan benda-benda itu. Sudah dapat dipastikan, selama ia tak memiliki alat-alat pertukangannya itu, dia tak akan mampu dan tak dapat bekerja. Hal inilah yang membuatnya menjadi kesal setengah mati. Mau rasanya ia marah, tetapi kepada siapa? Karena yang menimpan peti alat-alat pertukangannya itu adalah istrinya Halimah, yang baru sebulan meninggalkannya dan dua anak mereka yang masih kecil, bernama Usman dan Latif.
     Dan kematian Halimah selalu membuat Utoh Berahim menggeram ketika setiap kali ia mengingatnya.
     Halimah mati secara tidak wajar. Mati karena kena tenung. Ditenung oleh orang-orang yang tak diketahui entah siapa. Tetapi Utoh Berahim yakin, bahwa istrinya ditenung oleh utoh-utoh lain yang merasa tersaingi olehnya dalam hal membuat rumah. Karena dia sangat laris dan selalu mau menerima ongkos yang lebih murah sedikit dan rumah-rumah buatannya pun agak lebih baik dan bagus bila dibandingkan dengan hasil karya utoh-utoh lain.
     Maka mereka melakukan hal itu terhadap keluarganya. Sebenarnya yang menjadi sasaran usaha mereka itu adalah dirinya. Tetapi, entah bagaimana, ternyata yang kena Halimah, istrinya.
     Namun beitu ia tak tahu dengan pasti, siapa orangnya yang telah melakukan perbuatan terkutuk itu terhadap istrinya yang begitu dicintainya. Kalau saja ia tahu, mau rasanya ia membunuh orang keparat itu dengan rencongnya.
     Utoh Berahim menghela napasnya panjang-panjang. Rasa marah dan kesal mengitari dirinya kala ia mengingat semua itu. Dan yang membuat ia betul-betul kesal adalah alat-alat pertukangannya yang telah hilang entah ke mana, yang hingga kini belum juga berhasil ditemuinya.
     Kemudian Utoh Berahim mengambil sebatang rokok dan segera menyulutnya dengan korek api. Asap rokok yang segera memnuhi seluruh rongga dadanya, membuat rasa kesal di dalam dirinya hilang dengan perlahan-lahan, dan kemudian membuat ia menjadi tenang kembali.
     Akhirnya Utoh Berahim memutuskan untuk melupakan saja alat-alat pertukangan yang telah hilang itu, dengan harapan akan ada orang yang berbaik hati kepadanya dengan meminjaminya sejumlah uang, agar ia dapat membeli seperangkat alat-alat beru untuk keperluan utohnya.
     Magri baru saja berlalu. Kelamnya malam karena bulan masih sekecil sabit, membuat suasana di sekitar Utoh Berahim menjadi gelap gulita. Angin yang berhembus kencang menimbulkan suara yang gemuruh, karena sang bayu bergalau dengan ayunan dahan-dahan kayu yang berdaun rindang yang tumbuh dengan liarnya di kampung itu.
     Usman dan Latif telah berangkat tidur ke kamar mereka dengan ditemani oleh ibu Utoh Berahim. Maka tinggallah Utoh berahim sendiri dalam kesunyian yang terasa merambat hatinya di balai-balai rumah.
     Karena malam belum larut, Utoh Berahim memutuskan untuk pergi ke Meunasah (suatu bangunan ruah yang bertiang tinggi tempat orang-orang kampung berkumpul untuk mengadakan rapat, musyawarah, dan bermacam-macam lagi keperluan sosial masyarakat kampung), untuk sekedar menghibur dirinya dengan mengobrol bersama orang-orang sekampungnya.
     Tak banyak orang yang ditemuinya di sana. Suar beberapa orang anak-anak yang sedang mengaji di atas meunasah, membuat keheningan malam terasa pecah. Hanya beberapa orang saja laki-laki dewasa duduk di pojok meunasah yang dilihat Utoh Berahim.
     Di balai-balai meunasah, Utoh Berahim melihat Toke Suman, seorang laki-laki berumur limapuluhan bekas pedagang keliling di kampung itu, duduk sendiri dalam keremangan cahaya lampu teplok yang dipergunakan untuk menerangi anak-anak mengaji di atas meunasah. Laki-laki itu sedang melenting sebatang rokok daun nipah ketika Utoh Berahim berjalan ke tempat duduk orang itu.
     Setelah memberi salam, ia segera duduk di sampingnya. Kemudian kedua orang sekampung itu pun tenggelam dalam percakapan yang cukup mengasyikkan. Percakapan itu kadang-kadang mereka selingi dengan tawa terbahak yang tertahan, karena takut akan mengganggu anak-anak yang sedang mengaji di atas sana.
      "Ah, kebetulan sekali Utoh Berahim," kata Toke Suman tiba-tiba mengalihkan percakapan mereka yang tak tentu arah tujuannya itu.
     "Aku ada rencana untuk memperbaiki dinding rumahku yang sebelah barat. Dinding itu ingin kuganti dengan papan baru, karena papan yang lama telah sangat lapuk. Kapan kira-kira kamu punya waktu untuk menggantinya?"
     Utoh Berahim menariknapas panjang ketika mendengar tawaran Toke Suman itu. "Aku tak dapat bekerja lagi, Toke Suman," katanya kemudian. "Alat-alat pertukanganku hilang dari rumahku. Tak tahu aku entah di mana alat-alat itu disimpan oleh istriku."
     "Kasihan sekali kamu, Utoh Berahim," kata Toke Suman mendengar jawaban dari Utoh Berahim, "Tetapi, masakan bisa hilang begitu saja dari rumahmu. Berdusta kamu barangkali ya? Mungkin kamu lagi malas bekerja, ya Utoh?"
     "Aku tidak berbohong, Toke Suman. Lagi pula apa gunanya aku membohongimu. Bukankah kamu akan membayarku?" kata Utoh Berahim, membantah tuduhan Toke Suman.
     Toke Suman terdiam sejenak mendengar kata-kata Utoh Berahim. Dahinya berkerut, seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Setelah agak lama merenung, kemudian Toke Suman menatap wajah Utoh Berahim dengan tatapan yang serius. Lalu ia berkata, "Mengapa tak kau tanyakan saja kepada istrimu di mana ia menyimpan alat-alat keperluanmu itu?"
     "Apa? Bertanya pada istriku yang telah mati itu?" tanya Utoh Berahim, sambil tertawa terbahak-bahak, sehingga beberapa orang laki-laki yang duduk di pojok meunasah, serta beberapa orang anak-anak yang sedang asyik mengaji, menoleh ke arah mereka duduk.
     "Sudah gila agaknya kamu, Toke Suman. Masak aku kau suruh bertanya kepada orang yang telah lama meninggal. Ada-ada saja humormu ini. Sungguh menggelikan."
     "Jangan tertawa dulu, Utoh," kata Toke Suman semakin serius.
     "Kalau kamu mau dan berani melakukan apa yang kuajarkan kepadamu, kamu akan dapat berbicara langsung dengan mendiang istrimu yang telah mati itu."
     "Apa katamu? Kau punya cara supaya aku bisa bertemu dengan roh istriku?" tanya Utoh Berahim lagi, sambil masih tertawa karena tak percaya kepada kata-kata Toke Suman itu.
     Toke Suman menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Syarat yang pertama, kamu harus berani. Sedangkan syarat-syarat lain sangat gampang dan mudah. Bagaimana, Utoh? Ada minat untuk mencobanya?"
     Utoh Berahim menjadi terpaku mendengar pertanyaan Toke Suman. Ia menjadi ragu-ragu kini. Benarkah ada cara untuk melakukan hal-hal yang sedemikian itu? Timbul pertanyaan dalam hatinya. Lalu ia mencoba memikirkan tentang persoalan itu, tentang tawran Toke Suman tadi. Kemudian, setelah berpikir masak-masak, akhirnya Utoh Berahim memutuskan untuk menerima tawaran Toke Suman. Siapa tahu, mungkin dengan cara yang akan dikatakan oleh Toke Suman kepadanya, ia bisa mendapatkankembali alat-alat yang sangat dibutuhkannya itu.
     "Baiklah," kata Utoh Berahim kemudian.
     "Coba katakan, apa yang harus kulakukan supaya aku bisa bertanya kepada istriku, agar alat-alat itu dapat kutemukan kembali."
     Toke Suman kemudian menuturkan suatu cara kepada Utoh Berahim, agar laki-laki itu dapat langsung bertemu dengan roh istrinya. Tak lupa pula ia mengajar Utoh Berahim dengan beberapa doa dan mantera yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan itu. Dengan penuh perhatian Utoh Berahim mendengarkan semua penjelasan Toke Suman.
     "Nah, Utoh, itulah cara-cara yang harus kau lakukan," kata Toke Suman, setelah ia menjelaskna semuanya.
     "Jika semua syarat-syarat itu kau lakukan, kujamin kamu akan berhasil menjumpai istrimu."
     "Jadi aku harus melakukannya dengan telanjang bulat?" tanya Utoh Berahim, yang kini telah tertarik dengan penuturan Toke Suman.
     "Ya! Tetapi ingat, Utoh Berahim. Jangan ada sehelai benangpun yang tetinggal di tubuhmu. Atau, akan sia-sia saja usahamu itu!" kakta Toke Suman, memperingatkan.
     "Tidak. Aku akan mengingat semua petunjukmu itu baik-baik."  sahut Utoh Berahim penuh semangat.
     "Malam besok aku akan melakukan pekerjaan itu."
     "Semoga kau berhasil, Utoh Berahim," kata Toke Suman sambil tersenyum, karena Utoh Berahim telah mempercayai kata-katanya.
     "Moga-moga begitulah hendaknya," balas Utoh Berahim.
     Setelah tak ada lagi ang mereka bicarakan, kedua laki-laki itu kemudian meninggalkan meunasah, untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.
     Sesampainya di rumahnya, Utoh Berahim tak langsung pergi tidur. Ia masih ingin duduk di balai-balai rumahnya, sambil kepalanya megingat-ingat, agar semua yang dikatakan Toke Suman di meunasah tadi jangan sampai terlupakan. Dan semuanya terhapal sudah di kapalanya. Tak satu pun yang tertinggal di ingatannya.
     Ketika malam telah larut benar, Utoh Berahim masuk ke kamarnya untuk tidur. Dan, dalam tidurnya itu, Utoh Berahim bermimpi. Mimpi didatangi oleh roh istrinya..

     Bulan sabit telah sejak tadi menghilang di balik gunung kembar, Seulawah Agam dan Seulawah Dara. Suasana malam tadinya agak terang dengan adanya cahaya dari bulan sabit, serta dibantu oleh kelap-kelipnya bintang yang jauh di cakrewala sana, kini telah menggelap dan jadi mengerikan.
     Suara binatang malam yang terdengar sahut menyahut, dan raungan anjing yang melolong panjang yang terdengar sayup-sayup dari kampung di kaki bukit sana, membuat malam itu bagaikan malam iblis-iblis dan setan sedang bergembira ria dalam pesta pranya. Benar-benar malam yang mengerikan.
     Tetapi, Utoh Berahim yang ketika itu sedang berjalan di udara terbuka dengan sebuah tekad di dadanya, tidak takut dengan suasana yang demikian itu. Dengan pasti ia mengayunkan langkahnyaa, mengarungi sawah-sawah yang baru saja ditanami dengan bibit-bibit padi baru. Dengan hati-hati dan tanpa bersuara ia berjalan di atas pematang sawah yang becek dan licin. Telah beberapa kali kakinya terpeleset dan membuat ia jatuh bangun. Namun begitu ia tetap tak peduli. Dia terus berjalan di dalam kegelapan malam menuju ke suatu tempat, ke kompleks pekuburan orang-orang kampungnya, termasuk istrinya Halimah.
     Tak lama kemudian Utoh Berahim telah berada di sepetak sawah yang tak dapat lagi ditanami denagn padi, karena sudah sejak lama air tak dapat mencapai permukaan sawah itu, sebab letaknya gak tinggi dari sawah-sawah yang lain. Hanya rerumputan tebal saja yang memenuhi sawah yang bertanah keras dan liat itu. Ia menghentikan langkahnya di tanah yang jarang ditumbuhi oleh rumput.
     Matanya yang tajam dan masih berfungsi dengan baik, menatap ke depan, ke sebuah kebun luas yang ditumbuhi oleh pohon-pohon raksasa, yang terletak tak jauh di hadapannya. Begitu matanya secara samar-samar dapat melihat pekuburan itu, Utoh Berahim meresa bulu kuduknya berdiri tiba-tiba. Bermacam-macam perasaan menggelutinya. Rasa takut kini menggodanya.
     Benar-benar angker tempat itu dalam kegelapan yang merata, sehingga membuat Utoh Berahim hampir saja mengurungkan niatnya. Tetapi, tekadnya untuk dapat memiliki alat-alat pertukangannya kembali, membuat ia sanggup bertahan dan berhasil mengusir kengeriannya.
     Ia memejamkan matanya sejenak disertai dengan komat-kamit mulutnya membaca beberapa mantera. Setelah itu tak aa lagi perasaan takut dalam dirinya. Lalu tanpa menghiraukan apa-apa lagi, Utoh Berahim segera membuka semua pakaiannya, hingga tak satu pun benda yang tertinggal di tubuhnya. Ia menumpuk pakaiannya di atas rumput tak jauh dari tempatnya berada.
     Kini Utoh Berahim telah telanjang bulat di udara terbuka. Tubhnya terasa menggigil ketika ia mulai bersila di tanah sawah yang jarang ditumbuhi rerumputan, untk bersemadi. Ia menghadap ke arah timur, ke arah kompleks kuburan itu.
     Utoh Berahim kemudian memejamkan matanya dan mulutnya mulai komat-kamit membaca mantera yang akan membuatnya dapat melihat roh-roh orang mati yang akan keluar dari kuburannya di waktu malam.
     Denagn khusyuk dan tak peduli pada dinginnya angin malam yang terasa menusuk tulang belulangnya, Utoh Berahim terus membaca mantera-mantera yang diajarkan Toke Suman kepadanya. Kira-kira lima belas menit lamanya ia bersemadi, dan mengulangi membaca mantera-mantera itu sebanyak tiga kali, selesailah sudah semuanya.
     Ia membuka matanya dan langsung memandang dengan tajam ke kompleks kuburan di hadapannya.
     Berkat mantera yang dibacanya tadi, kini penglihatan Utoh Berahim menjadi terang. Ia telah mampu melihat ke dalam gelap, bagaikan ia melihat dengan mempergunakan senter saja. Ternyata apa yang dikatakan oleh Toke Suman telah terbukti. Hanya saja ia harus menanti perkembangan selanjutnya dengan hati yang berdebar-debar. Matanya tiba-tiba melihat bayangan yang bergerak berasal dari pekuburan itu.
     Ketika diperhatikan dengan cermat, ternyata bayangan tadi berasal dari tubuh dua orang wanita yang baru saja keluar dari tempat itu. Kedua wanita itu dilihatnya bergerak tanpa berkata-kata, dan tak peduli sama sekali kepadanya yang melongo dan terkejut atas kemunculan mereka.
     Utoh Berahim tahu dan yakin benar, bahwa kedua wanita itu adalah burong-burong yang selalu keluar malam dan sering mengganggu wargakampungnya selama ini. Tetapi anehnya, Utoh Berahim yang terkenal penakut selama ini, ketika melihat kedua burong itu, tidak merasa takut lagi. BAhkan dengan berani ia menegur kedua burong yang memang mirip dan menyerupai manusia biasa itu.
     "Hai, adakah istriku Halimah di antara kalian?" tanyanya dengan suara lantang dan keras.
     Kedua burong itu berhenti berjalan, dan menatap Utoh Berahim yang duduk bersila tak jauh di depan mereka.
     "Dia masih di belakang," jawab salah seorng di antara burong itu.
     "Mari ikut kami ke kampung itu."
     "Pergilah kalian duluan," kata Utoh Berahim menolak ajakan mereka.
     "Aku harus menunggu istriku di sini." Kedua burong itu kemudian berlalu dan menghilang dari pandangan Utoh Berahim.
     Tak lama kemudian dari kompleks kuburan itu muncul lagi tiga orang perempuan. Bentuk dan keadaan mereka sama juga dengan kedua burong yang telah pergi tadi.
     Kembali Utoh Berahim bertanya tentang Halimah kepada ketiga burong yang baru keluar itu. Mereka juga menjawab, bahwa istrinya masih berada di belakang. Dan mereka juga mengajak untuk mengikuti mereka menuju ke kampung sana. Utoh Berahim kembali menolak ajakan itu, karena ia harus menunggu istrinya.
     Setelah tiga burong itu menghilang dari hadapannya, muncul lagi dua orang perempuan dari kompleks kuburan itu.
     "Hai! Adkah Halimah di situ?" tanya Utoh Berahim, begitu ia melihat kemunculan kedua makhluk itu.
     "Ya. Aku ada di sini," terdengar sahutan dari salah seorang burong itu. Berdebar seketika hati Utoh Berahim kala ia mendengar jawaban itu. Benar! Itu adalah suara mendiang istrinya Halimah. Ia ingat benar suara itu. Suara yang takkan pernah dilupakannya.
     Tanpa rasa takut sedikit pun, Utoh Berahim segera berdiri dari duduknya. Kedua burong itu telah berada di hadapannya, sambil menatapnya dengan pandangan mata yang kosong.
     Utoh Berahim memperhatikan Halimah dengan teliti. Halimah memakai pakaian seperti pakaian yang pernah dipakainya ketika ia masih hidup dulu. Tak berbeda sedikit pun. Seperti orang biasa saja layaknya. Hanya pandangan matanya saja yang terasa menakutkan bila dilihat lama-lama. Mata itu tampak kosong tak bergairah, walaupun ada cahaya yang berbinar-binar di dalamnya. Demikian juga dengan keadaan burong yang seorang lagi. Tak banyak berbeda dengan Halimah. Ketika ia menatapnya, mata itu juga kosong tak bergairah. Mata orang mati.
     "Ada keperlua apa kamu menungguku di sini?" tanya Halimah tiba-tiba. Suara itu terdengar mendesis di telinga Utoh Berahim.
     "Anu, aku ingin bertanya di mana kamu menyimpan alat-alat pertukanganku," jawab Utoh Berahim penuh harap.
     "Aku menyimpannya di kandang ayam tua, yang terletak di belakang rumah kita," sahut Halimah menerangkan.
     Kandang ayam tua!
     Terbuka pikiran Utoh Berahim kala ia mendengar jawaban dari roh Halimah. Sungguh, tempat itulah yang tak pernah diperiksanya selama ia mencari alat-alatnya itu. Hati Utoh Berahim menjadi senang sekali, karena ia telah mengetahui di mana tempat penyimpanan alat-alat pertukangan yang sangat dibutuhkannya itu.
     "Mari ikut aku ke kampung itu," ajak Halimah kemudian.
     "Ada apa di sana?" tanya Utoh Berahim ingin tahu dan merasa tertarik dengan ajakan itu.
     "Ikut saja kami. Kamu akan tahu sendiri nanti. Tetapi ingat, jangan sekali-kali kau berkata-kata atau bertanya-tanya, jika kau melihat apa yang akan kami lakukan di sana nanti!" sahut Halimah memperingatkan Utoh Berahim.
     Karena rasa ingin tahu yang memuncak, Utoh Berahim memutuskan untuk mengikuti burong-burong itu. Lalu ia berjalan tanpa berkata-kata di belakang kedua burong itu.
     Tak lama berjalan, mereka telah berada di sebuah kampung yang bernama Alue. Alue adalah kampung tetangga dari kampung Utoh Berahim. Lolongan anjing yang menyambut kedatangan burong-burong itu semakin nyata terdengar. Merintih mengerikan.
     Di depan sebuah rumah yang gelap karena terlindung oleh dahan-dahan kayu yang berdaun lebat, burong-burong itu menghentikan langkah mereka. Halimah lalu menoleh kepada Utoh Berahim.
     "Mari kita naik ke atas," ajaknya.
     "Teteapi ingat, jangan bersuara sedikitpun!"
     Dengan rasa heran dan patuh, Utoh Berahim mengangguk. Halimah memegang tangannya. Tangan itu terasa dingin.
     Dan entah bagaimana, Utoh Berahim tiba-tiba telah berada di dalam rumah itu, di sebuah kamar yang hanya diterangioleh sebuah lampu duduk yang redup cahayanya.
     Di sana ia melihat seorang wanita yang sedang hamil tua, terbaring tak berdaya di atas sebuah tilam yang lusuh dan kotor. Wanita itu sedang sakit. Wajahnya yang pucat pasi, serta matanya yang cekung terpejam rapat, membuat Utoh Berahim merasa iba.
     Karena menyadari dirinya masih berada dalam keadaan telanjang tanpa sehelai kanpun, Utoh Berahim segera bersembunyi di balik sebuah lemari tua, yang terletak di sudut kamar dan agak terlindung dari cahaya lampu, untuk menyaksikan apa yang akan diperbuat oleh Halimah dan burong temannya. Ternyata di kamar itu telah hadir juga kelima burong yang dijumpai Utoh Berahim di pekuburan tadi.
     Ketujuh burong itu, termasuk Halimah, segera mengelilingi perempuan hamil yang sedang sakit itu. Mereka mulai menyiksa perempuan itu. Burong-burong itu menarik rambut perempuan itu kuat-kuat, mencakar seluruh tubuh yang tak berdaya itu, dan ada juga yang menggigit perutnya dengan gigi-gigi mereka yang runcing dan tajam-tajam, sehingga membuat perempuan sakit itu menjerit-jerit dan menggeliat kesakitan. Suara jeritan itu terdengar sayup-sayup, karena perempuan itu telah sangat lemah. Ketujuh burong itu tertawa terkikik melihat penderitaan perempuan yang sakit itu.
     Suara tawa itu hanya dapat terdengar di telinga Utoh Berahim. Sedangkan perempuan itu tak dapat mendengarkannya, apalagi untuk melihat para penyiksanya. Hanya jeritan tertahan serta rintihan kesakitan yang mempu dilakukannya. Bahkan ia tak tahu sama sekali, bahwa burong tujohlah yang sedang menyiksanya.
     Seorang perempuan tua muncul di kamar itu. Dengan wajah letih dan tergopoh-gopoh, ia segera mendekati perempuan sakit yang ternyata adalah anaknya sendiri itu. Lalu dengan penuh kasih sayang, ia memijit-mijit sekujur tubuh anaknya yang sedang merintih kesakitan itu. Dari mata perempuan itu, menitik air bening yang segera membasahi pipinya yang telah banyak keriputnya. Tak tahan ia menyaksikan penderitaan yang dialami oleh anaknya itu.
     Utoh Berahim yang sedang menyaksikan semua perbuatan burong-burong itu, menjadi takut bukan kepalang. Sekujur tubuhnya gemetar, dan keringat dingin terasa membasahi tubuhnya.
     Ketujuh burong itu semakin mengganas. Mereka berpesta pora menyiksa korbannya. Berebutan mereka menarik-narik seluruh tubuh wanita yang telah keletihan itu. Napas perempuan sakit itu tinggal satu-satu, dan harapan untukhidup bagi wanitanya hanya tinggal sedikit saja. Itu terbukti dari matanya yang sedang membelalak tanpa cahaya.
     Utoh Berahim menjadi tak sanggup dan tak tahan melihat perlakuan vurong-vurong itu. Rasa iba, maran dan ketakutan berbaur di dalam dirinya. Ia segera mengambil keputusan.
     "Hentikan!" teriaknya. "Hentikan perbuatan terkutuk itu! Aku tak tahan melihatnya!"
     Aneh sungguh.
     Begitu kata-kata itu keluar dari mulut Utoh Berahim yang sedang bersembunyi di balik lemari tua, keadaan yang sedang berlangsung di kamar itu segera berubah dengan cepat.
     Ketujuh burong itu seperti kena cambuk. Tubuh mereka segera terpental ke belakang, bagaikan ada sesuatu kekuatan yang sangat kuat yang menerpa mereka. Mereka menjerit kesakitan. Dan denga wajah yang semakin mengerikan serta ketakutan, ketujuh burong itu segera berlalu dari kamar itu. Mereka raib di sana. HIlang tak berbekas.
     Perempuan itu terkejut bukan main ketika mendengar suara laki-laki asing yang berasal dari balik lemari tua milik anaknya yang sakit itu.
     "Siapa di situ?" tanyanya dengan suara yang parau dan ketakutan. Perempuan tua itu kemudian membuka mulutnya lebar-lebar, untuk berteriak minta tolong. Ia menyangka ada maling yang bersembunyi di situ. Tetapi Utoh Berahim segera mencegahnya.
     "Jangan teriak, Bu," katanya epat.
     "Aku Utoh Berahim dari Kampung Langien. Aku baru saja menyelamatkan anakmu dari kematiannya. Lemparkan selembar kain ke padaku, nanti akan kuceritakan apa yang telah terjadi terhadap diriku, sehingga kau bisa berada di sini."
     Mendengar kata-kata dari balik lemari itu, perempuan tua itu merasa ragu-ragu. Setelah berhasil melawan keraguan di dalam hatinya barulah ia mengambil selembar kain sarung tua, dan segera melemparkan kain itu ke dekat lemari.
     Utoh Berahim segera mengambil kain itu. Setelah memakainya ia segera keluar dari tempat persembunyiannya. Perempuan tua itu mengawasinya dengan seksama. Dan hatinya menjadi lega ketika melihat laki-laki yang keluar dari balik lemari benar-benar Utoh Berahim yang dikenalnya.
     Utoh Berahim segera mendekati perempuan sakit itu. Ia tidak mengerang lagi, karena tak ada lagi yang menyiksanya. Hanya saja, rasa letih sangat jelas terpancar dari wajahnya yang memucat kekurang darah.
     Ia menyuruh perempuan tua itu untuk mengambil segelas air dan langsung memberikannya kepada perempuan sakit itu. Walaupan agak lama, si sakit berhasil menghabiskan semuanya. SEtlah itu, ia lalu tertidur dengan nyenyaknya.
     Utoh Berahim kemudian menuturkan pengalamannya kepada perempuan tua itu. Ia mendengar pengalaman Utoh Berahim itu dengan penuh perhatian. Dan ia pun tidak membantah cerita laki-laki itu karena memang ia percaya, bahwa selama ini anaknya selalu mendapat gangguan dari burong tujoh yang menakutkan.
     Setelah selesai menuturkan pengalamannya, Utoh Berahim kemudian minta diri kepada wanita tua itu. Dengan meminjam kain sarung yang dipakainya, karena tak mungkin ia pulang ke rumahnya dengan bertelanjang bulat.
     Ketika Utoh Berahim meninggalkan rumah itu, kokok ayam yang bersahut-sahutan telah terdengar, menandakan tak lama lagi malam akan digantikan oleh siang. Bergegas ia berjalan di keremangan malam menuju ke kampungnya yang tak jauh.
     Dan benar saja. Besok harinya Utoh Berahim berhasil mendapatkan kembali alat-alat pertukangannya di kandang ayam tua yang terletak  di belakang rumahnya. Tak satu pun alat-alat keperluannya itu yang hilang. SEmuanya utuh seperti semula.
     Tetapi pengalamannya yang cukup menyeramkan itu, tak pernah hilang dari ingatannya sampai kapan pun. cerita : T.Van Mook
Senang edisi 0533 thn 1982

     Ketika Tuhan menciptakan langit dan gunung, kepadanya ditanya, sanggupkah menyampaikan amanat..? Langit dan gunung tidak menjawab, tetapi ketika ditanyakan kepada manusia, maka manusia menyatakan sanggup.
     Dengan demikian jelaslah manusia mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menyampaikan amanat Tuhan di dunia ini. Sedang amanat sesama manusia pun bila tidak disampaikan adalah suatu dosa besar.
     Suatu ketika aku menerima suatu amanat dari salah seorang sahabatku, amanat yang sungguh sangat menekan perasaanku. Aku mempunyai seorang sahabat, sahabat yang paling akrab dan terbaik dari sahabat-sahabatku lainnya. Kami pernah tidur sebantal dan makan sepiring selama bergaul. Baginya apa yang menjadi miliknya adalah juga milikku, begitu pula sebaliknya.
     Ke mana bepergian kami jarang berpisah, kendati sahabatku, Darwin itu sudah mempunyai seorang anak dan seorang istri yang cantik. Aku yang masih hidup membujang sering tidur di rumah sahabatku itu dan makan di rumahnya. Sehingga aku sama sekali tidak mengira persahabatanku dengan Darwin yang begitu intim itu, pada suatu ketika terenggut dengan tiba-tiba.
     Peristiwa yang tidak diduga-duga telah merenggutkan nyawa Darwin. Ia mati dengan berlumuran darah. Pada suatu malam Darwin mengajakku menonton bioskop. Kami antre berjejal-jejal di muka loket membeli karcis. Kebetulan film yang diputar film Italia yang top. Sedang aku menyeruak di tengah-tengah manusia yang berjubel di depan loket, tiba-tiba dompet di kantung belakangku dirogoh pencopet. Aku yang merasakan rogohan itu cepat menangkap tangan si pencopet. Namun si pencopet tidak mau menyerah begitu saja. Ia cepat mencabut pisau belatinya dan mengayunkannya ke arah dadaku. Untung Darwin cepat menendang kaki si pencopet, sehingga terguling. Begitu terguling ia cepat bangkit menyerang Darwin. Dan aku tak sanggup melihat apa yang terjadi. Ketika aku membuka mataku kembali, sahabatku Darwin tergeletak berlumuran darah. Dadanya tembus kena tusukan pisau si pencopet, yang denan cepat lalu lari menghilang. Orang banyak yang melihat tak berdaya menolong Darwin, mereka hanya berlarian dan berteriak-teriak.
     Aku cepat menubruk Darwin yang berlumuran darah dan memapahnya. Polisi cepat datang dan menelepon Puskesmas terdekat minta pertolongan.
     Tak lama kemudian ambulans datang. Tubuh Darwin yang lemah berlumuran darah kupapah ke dalam mobil itu. Sampai di puskesmas keadaan Darwin sudah sekarat sekali. Darah terlalu banyakmenyembur ke luar. Wajah Darwin pucat pasi. Ketika luka-lukanya selesai dibalut, aku cepat menemui dokter menawarkan diri kalau-kalau Darwin memerlukan bantuan darahku. Namun dokter cuma menggelengkan kepala.
     Tak lama kemudian istri Darwin datang. Tuty datang dengan menggendong anaknya yang masih kecil. Kami berada di dalam ruangan tempat Darwin terbaring, memandanginya yang semakin lemah dan letih.
     Darwin memberi isyarat supaya aku dan Tuty mendekat. Ketika kami sudah mendekat di samping pembaringannya, sambil menatap kami berdua bergantian denan pandangan yang layu serta denagn suara serak terputus-putus ia berkata, "Sahabatku..aku merasa nyawaku.." Sampai di situ wajah Darwin tambah pucat, napasnya tambah sesak. Kemudian ia menarik tanganku dan tangan istrinya Tuty, lalu kedua tangan kami dipertemukannya dan dipegangnya erat-erat sambil meneruskan perkataannya.
     "Aku rela meninggalkan dunia yang fana ini, dengan satu amanah kepada kau dan Tuty. Seterusnya peliharalah Tuty dan anakku Yuyun sebagaimana aku memelihara mereka. Hanya kau yang kupercayakan untuk menjadi teman hidup Tuty selanjutnya.." Ia lalu mengguncang-guncangkan tangan kami. Kemudian dengan suara tambah lemah ia meneruskan, "Bagaimana Rudy.. maukah kau menerima amanahku..?"
     Tanpa pikir panjang lagi, melihat keadaan temanku yang sudah sekarat itu, aku mengangguk. Darwin tersenyum melihat anggukanku lalu ia menutup mata untuk selama-lamanya. Aku sampai tak sadarkan diri melihat kepergian sahabatku yang tercinta itu untuk selama-lamanya.
     Tiga hari setelah mayat Darwin dikuburkan, baru aku sadar bahwa aku telah memikul satu beban yang berat, yaitu amanah dari sahabatku untuk mengambil Tuty sebagai teman hidupku.
     Baru aku sadar, aku menyanggupi permintaan sabatku, tanpa pikir panjang. Bukankah aku sendiri sudah mempunyai seorang kekasih, seorang pujaan yang akan menjadi teman hidupku yaitu Susy? Kalau dulu aku menyanggupi permintaan sahabatku adalah karena kasihanmelihat keadaannya yang sudah sekarat, dan ingat karena inginmenyelamatkanjiwaku, ia sampai mengorbankan jiwanya. Sekarang aku dihadapkan pada satu problem yang berat, betapa besar dosaku bila aku memungkiri atau tidak menyampaikan amanah sabatkuitu.
     Wajah kekasihku Susy selalu membayangiku, selalu seolah-olah menyesaliku. Dan yang lebih berat lagi kurasakan, bila aku mengunjungi rumah istri sahabatku itu, sinar matanya seperti menagih amanah suaminya. Aku selalu menunjukkan sikap baik dan hati-hati terhadap Tuty, aku memandang Tuty seperti ia tak pernah kehilangan suaminya. Tetapi apakah hal ini dapat bertahan terus..?
     Aku sering mengunjungi kuburan Darwin. Kubersihkan kuburannya dan kuhadiahkan ayat-ayat suci dengan memanjatkan doa supaya ia diterima sebagai orang yang mati syahid dan dilapangkan arwahnya di alam kubur, dengan mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan. Ketika kutatap pusaranya yang masih memerah itu, kulihat pohon kamboja seperti bergoyang-goyang, seperti anggukan kepala Darwin memperingatkan amanahnya.
     Aku benar-benar merasa terpukur. Dan waktu tak terasa berjalan dengan cepat, hingga sampai kematian Darwin sudah berlalu seratus hari lebih. Tuty sudah semakin lain pandangannya terhadap diriku, sinar matanya seperti lebih menagih supaya aku cepat mengawininya.
     Aku menjadi terpojok. Susy kekasihkudi satu pihak sudah mendesak juga agar aku segera mengawininya. Akhirnya aku mengambil satu keputusan yang membuat kejuatan pada Tuty.
     Suatu malam aku pergi ke rumah Tuty. Ia sedang menggendong anaknya. Kepada Tuty aku lalu bercerita terus terang. Kukatakan aku terpaksa mengingkari amanah Darwin karena sebelumnya aku sudah mempunyai seorang kekasih. Dan perkawinanku dengan Susy akan berlangsung dalam waktuyang dekat.
     Tuty tidak menjawab perkataanku. Hanya air matanya jatuh bercucuran. Aku terharu memandang Tuty. Terbayang di mataku pohon kamboja di kuburan Darwin seperti bergoyang mengutukku. Akhirnya diiringi suara tangis tersengal-sengal dan dengan suara terputus-putus Tuty berkata, "Kak Rudy..sudah kuduga akan terjadi yang seperti itu. Aku sadar bahwa aku seorang janda, sedang kekasihmu masih gadis. Tak mungkin kau akan dapat melaksanakan amanah suamiku. Tetapi aku  yakin pada satu ketika kau akan menyesal karena memungkiri amanah arwah Kak Darwin yang telah kau sanggupi."
     Sampai di situ Tuty tak dapat meneruskan kata-katanya lagi lalu pergi meninggalkanku duduk termangu-mangu. Seperti layang-layang putus talinya aku pergi meninggalkan rumah Tuty, dengan pikiran yang membuncah.
     Tak lama kemudian perkawinanku dengan Susy berlangsung. Aku sudah jadi lupa diri, lupa dengan sahabatku yang berada di liang lahat. Ke rumah Tuty pun aku sudah tak pernah lagi.
     Tetapi beberapa minggu setelah perkawinanku, tiap malam aku selalu bermimpi didatangi arwah Darwin. Tampak ia berpakaian serba putih, seperti menudingku, seperti menyumpah-nyumpah diriku. Mimpi yang menakutkan itu selalu datang membayangiku. Aku jadi tak bisa tenang. Barulah terasa betapa beratnya beban orang yang tidak menyampaikan amanah.
     Kucoba berziarah ke kuburan Darwin dan hatiku tambah tergugah. Pusara Darwin tampak olehku seprti merekah. Batu-batu nisannya seperti bergoyang-goyang menudingku. Akhirnya aku jatuh sakit demam panas. Aku jadi seprti orang linglung.
     Susy berkali-kali menyindirku, mengatakan bahwa sakitku adalah karena ingat istri sahabatku itu. Hatiku tambah pedih. Aku seperti diimpit oleh dosa yang tak tersandang lagi.
     Pada suatu malam Susy mengajakku pergi ke rumah temannya yang akan berulang tahun. Tadinya aku ingin menolak karena merasa kesehatanku kurang baik, tetapi mengingat bahwa Susy mempunya tafsiran lain terhadap diriku, permintaan itu terpaksa kuikuti. Malam itu meskipun dengan hati mendongkol aku terpaksa berganti pakaian dan mengantarkan Susy dengan Yamahaku.
     Badanku sungguh-sungguh tak enak. Panas dingin dan kepalaku pusing. Aku mencoba mengebut Yamahaku agar lekas sampai di tempat tujuan. Agar dapat segera duduk beristirahat.
     Untuk mencapai rumah kawan Susy, aku harus melewati jalan tikungan yang menuju ke  daerah pekuburan. Mendekati daerah tikungan itu, tiba-tiba bulu romaku berdiri. Timbul perasaan ngeri dan takut. Seolah-olah tampak olehku sahabatku Darwin berdiri terhuyung-huyung berlumuran darah menghalangi perjalananku. Penglihatanku berkunang-kunang.
     Arwah Darwin seperti menagih janji, menuntut amanahnya. Aku tak bisa menguasai keseimbangan lagi, ketika dari arah belakang datang sorotan lampu oplet yang menyilaukan, lalu mendahului kami. Aku terus melarikan Yamahaku denagn kemudi yang tak tenang dan tiba-tiba ketika sampai di tikungan, aku mencoba mendahului oplet itu namun kemudian, aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
     Aku baru sadar setelah tubuhku tergenang air parit dan taxi yang rupanya datang dari belakang melihat kejadian itu segera memberikan pertolongan mengangkat tubuhku.
     Ketika tubuhku terangkat, yang kulihat Yamahaku sudah berantakan dan tubuh Susy terbantai berlumuran darah.
     Sampai di puskesmas, Susy sudah tidak bernyawa lagi. Ia telah pergi untuk selama-lamanya tanpa sempat meninggalkan pesan terhadap diriku. Aku jadi sadar, ini adalah akibat dari kesalahanku yang tidak menyampaikan amanah sahabatku sehingga Susy yang tidak berdosapun kemudian menjadi korban.
     Tiga bulan kemudian, dalam penderitaanku kehilangan Susy, arwah Darwin dalam mimpi datang lagi menemuiku. Ia selalu tampak denan mata yang cekung menudingku. Akhirnya aku tak tahan lagi digoda mimpi-mimpi yang mengerikan.
     Akhirnya aku mengunjungi rumah Tuty. Ia menyambuk kedatanganku dengan mata yang bercahaya setelah mengetahui isi dadaku. Anaknya Yuyun yang mungil sudah bisa berdiri.
     Kepada Tuty aku lalu berterus terang tentang penderitaanku, tentang godaan bayangan arwah Darwin dan kuterangkan kedatanganku untuk mengjak Tuty bersama melaksanakan amanah arwah Darwin. Tuty tak menjawab. Ia hanya merebahkan kepalanya di pangkuanku dengan menangis terisak-isak, tangis kebahagiaan.
     Seminggu kemudian kami mengunjungi kuburan Darwin sebagai suami istri. Di kuburan itu kami merasa penuh kedamaian dan ketenangan membacakan ayat-ayat suci. Sejak itu aku tak pernah mendapat godaan lagi dari bayangan arwah Darwin.
cerita : Masran H.A.
majalah Senang 0533 thn 1982

     Desa Ciguriang setengah abad yang lalu merupakan desa yang subur dan makmur, terletak di kaki Gunung Salak yang berhutan perawan. Margasatwa masih hidup dengan aman dan bebas sehingga tidak ada satu pun penduduk yang berani naik gunung masuk hutan sendirian dan tanpa senjata, apalagi karena mereka beranggapan bahwa Gunung Salak ini dihuni oleh segerombolan penyamun yang secara berkala turun ke desa-desa di kaki gunung untuk memungut 'upeti' yang harus sudah disediakan oleh kepala desa setiap dua atau tiga bulan sekali.
     Pada umumnya penduduk desa tidak ada yang berani melawan gerombolan penyamun itu, karena melawan berarti mati. Para penyamun itupun jarang sekali bertindak keterlaluan jika upeti berupa hasil bumi, ternak dan barang-barang berharga telah disediakan seperti biasanya. Yang membuat cemas, takut dan was-was para orang tua di desa-desa di kaki Gunung Salak itu adalah mengenai anak-anak gadis. Masih untuk kalau hanya diganggu saja, tetapi kalau sampai dibawa tak berketentuan nasibnya, itulah yang menjadi kecemasan utama para orang tua di desa-desa.
     Itu pulalah yang dikhawatirkan oleh Mak Resmi mengenai putrinya Rasmini. Mak Resmi hanya beranak dua orang, Rasmini yang sudah remaja dan adiknya Rasmana berumur kira-kira 15 tahun. Pak Resmi sudah meninggal setahun yang lalu, meninggalkan anak istrinya tercinta. Mak Resmi seringkali melarang Rasmini berkebun, mencui pakaian ke sungai, menjual hasil bumi ke pekan, atau berjalan-jalan ke tempat yang jauh-jauh karena dikhawatirkan kecantikannya terlihat oleh penyamun yang menyamar atau mata-mata mereka. Tetapi Rasmini yang menginjak masa remaja tentu saja tidak tahan tinggal di rumah terus.
     "Mengapa melamun, Mak?" tanya Rasmana kepada ibunya. Mak Resmi tertegun dan menoleh kepada putranya.
     "Kau belum tidur Man?" ibunya balik bertanya.
     "Mana Rasmini?"
     "Biasana sedang bersoke tentunya", jawab Rasmana.
     "Siapa yang bersolek, huh.. sok tahu", Rasmini menimpali dari balik pintu kamarnya.
     "Ya, sudah, tidak usah bertengkar", kata Mak Resmi sambil menghela napas.
     "Aku hanya teringat kepada ayahmu", ibunya baru menjawab pertanyaan Rasmana yang mula-mula. Rasmana tergugah kenangannya kepada ayahnya yang kuat dan tegap tetapi penuh kasih sayang terhadap dirinya dan Rasmini. Ayahnya walaupun bekerja sehari suntuk di ladang, tiap malam tidak pernah lupa mengajar membaca, mengaji atau melatihnya bersilat. Bersilat adalah yang paling disukai oleh Rasmana sephingga badannya pun menjadi tegap dan gesit seperti ayahnya.
     Namun ayahnya selalu berpesan bahwa silat yang dipelajarinya bukanlah untuk berkelahi apalagi untuk melawan para penyamun yang julahnya banyak dan lebih berpengalaman dalam berkelahi. Rasmana sering bertanya dalam hati mengapa pemuda desa tidak bangkit membangun kekuatan untuk menumpas para penyamun itu. Setiap kali hal ini ditanyakan kepada ayahnya, Pak Resmi biasa menjawab, "Untuk membangun kekuatan memang mungkin, tetapi hal ini memerlukan kesatuan tekad, adanya peminpin yang tangguh dan pembinaan secara diam-diam agar tidak diketahui oleh para penyamun. Kalau sampai segera diketahui, mereka akan mengambil tindakan yang kejam dan upeti akan makin ditingkatkan lagi. Para pemuda desa juga mungkin tidak semuanya bertekad seperti engkau karena mereka terlalu sibuk dengan  pekerjaannya dan tak mau mengambil risiko yang berat."
     Rasmana terdiam walau dalam hatinya ada rasa penasaran.
     "Suatu waktu aku harus berguru lagi sampai aku cukup kuat untuk menumpas kejahatan", demikian tekad dalam hatinya. Sedang melamun demikian tiba-tiba seisi rumah dikejutkan oleh suara langkah-langkah kaki menginjak bebatuan di halaman. Kemudian terdengar pintu digedor dengan keras.
     "Ayo cepat buka kalau masih sayang jiwamu!" terdengar bentakan dari luar. Mak Resmi gemetar dan wajahnya menjadi pucat. Rasmana ganti-berganti melihat ke pintu dan kepada ibunya seolah-olah minta saran apa yang harus dilakukan. Rasmini keluar dari kamar, cepat menghampiri ibunya.
     "Rampok datang!" kata Rasmana.
     "Ayo cepat buka, kalau tidak kubakar rumah ini", terdengar suara dari luar pula. Rasmana terpaksa berjalan membukakan pintu. Setelah pintu dibuka terlihat beberapa orang kawanan perampok yang biasa memeras rakyat desa. Pemimpinkawanan perampok yang berkumis dan berjenggot memakai ikat kepala warna merah darah sangat marah karena pintu tidak segera dibuka. Ia mendorong Rasmana sekuat tenaga, tetapi secara refleks Rasmana berkelit sehingga si kepala rampok tersungkur menabrak meja-kursi. Kepala rampok makin geram, mukanya menjadi merah dan cepat mengeluarkan goloknya.
     "Jangan, jangan!" Mak Resmi menjerit. Kepala rampok menoleh kepada Mak Resmi dan terlihat olehnya Rasmini yang cantik jelita. Kemarahan kepala rampok berkurang demi melihat Rasmini yang cantik itu.
     "Ringkus pemuda itu cepat, jangan melongo saja!" perintah kepala rampok kepada anak buahnya sambil menunjuk Rasmana. Rasmana tidak melawan karena ia sadar tak mungkin menang melawan banyakrang yang bersenjata golok, pisau dan senjata tajam lainnya.
     Kepala rampok tertawa-tawa sambil matanya tidak lepas-lepas melihat tubuh dan wajah Rasmini.
     "Dengar, aku Durga, pemimpin kawan-kawanku ini. Aku tidak akan mengganggu harta benda kalian. Hanya aku kebetulan belum punya istri dan gadis itu akan kubawa untuk kuperistri," kata Durga, pemimpin kawanan perampok sambil menunjuk Rasmini dan menghampirinya.
     "Tidak, tidak!" kata Mak Resmi dan Rasmini serempak. Tetapi Durga tidak menghiraukan dan ditariknya Rasmini dengan paksa dari dekapan ibunya. Demi melihat Mak Resmi tetap memeluk Rasmini, meluaplah kemarahan Durga. Dipisahkannya mereka berdua dengan kekerasan dan didorongnya tubuh Mak resmi yang sudah tua itu.
     "Mak, mak!" Rasmini menjerit hendak menghampiri, tapi dipegang denan kuat oleh Durga. Rasmini meronta-ronta dari ringkusan kawanan perampok. Dia ingin menghajar Durga, tetapi dipegang dengan kuat oleh dua orang perampok sehingga tidak dapat berkutik. Durga tertawa terbahak-bahak sambil berusaha hendak mencium Rasmini, tetapi Rasmini meronta-ronta dan menundukkan kepalanya sambil menjerit-jerit.
     "Diam kau!" bentak Durga dan tangannya melayang ke pipi Rasmini. Rasmini menangis terisak-isak sementara Mak Resmi sudah tak sadarkan diri. Rasmana menggigit bibirnya, hatinya sakit dan getir. Rasmana dibaringkan dan kawanan perampok bersiap-siap pergi membawa Rasmini.
     Tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin yang menusuk, menggetarkan hati kawanan perampok itu. Mereka melihat ke luar, ke kiri dan ke kanan, tetapi tidak terlihat siapa pun.
     "Bangsat atau setan di sana?" Durga berteriak tetapi tak urung bulu romanya berdiri ketika mengucapka kata setan itu. Tawa itu terdengar lagi lebih menusuk pada malam yang sudah sepi itu. Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara jengkerik dan burung-burung malam. Wajah para perampok berubah ketakutan.
     "Sudah, ayo berangkat!" aba-aba Durga kepada anak buahnya yang empat orang. Mereka sebetulnya datang bersepuluh. Yang lima orang sudah berangkat pulang dan yang lima orang singgah dulu ke rumah Mak Resmi karena tahu bahwa anak Mak Resmi cantik dan sudah remaja. Jika Rasmini sudah dapat dibawa, istri tua akan disingkirkan, tidak mustahil dengan cara membunuhnya di hutan. Kawanan perampok mulai bergerak akan meninggalkan rumah Mak Resmi ketika tiba-tiba di halaman terlihat bayangan dan terdengar suara.
     "Tinggalkan gadis itu, kalau tidak.. hmm.. kalian akan tahu siapa aku." Kawanan perampok mengawasi sosok tubuh yang berjalan lambat-lambat.
     "Setang!?" anak buah Durga berteriak karena meihat wajah sosok tubuh yang buruk seperti setan dengan rambut panjang.
     "Minggir!" bentak Durga sambil mencabut dan mengayunkan goloknya hendak menebas tubuh "setan" itu. Tetapi tiba-tiba Durga berteriak dan meringis kesakitan sambil memegang tangannya.
     "Ayo keroyok!" perintahnya. Anak buah Durga maju semua dengan golok, pisau dan tombak. Tetapi berturut-turut terdengar erangan kesakitan dan semua roboh dengan memegang bagian tubuh yang sakit. Durga melihat bahwa tangannya menjadi bengkak biru dan merasa tidak berani lagi melawan 'setan' itu. Tanpa berkata apa-apa ia segera kabur diikuti oleh empat anak buahnya.
     Rasmini melihat semua kejadian dan ia segera memburu ibunya yang tak sadarkan diri. Dengan tangan terikat ia hanya bisa menangis mencemaskan keadaan ibunya sambil melihat ke arah pintu, karena ia ngeri juga melihat 'setan' yangmenolongnya itu. Tiba-tiba di ambang pintu sudah berdiri seroang pemuda yang cukup tampan melihat ke arah Rasmini sambil tersenyum. Ia menghampiri Rasmini dan membuka ikatannya, kemudian membopong Mak Resmi ke tempat tidur dan memeriksanya.
     "Ambillah air dan kain. Tidak apa-apa, sebentar lagi bisa siuman," kata pemuda itu sambil meniup-niup dahi Mak Resmi dan memijit-mijit ulu hatinya. Setelah Mak Resmi siuman, Rasmini memeluknya dan mereka bertangis-tangisan. Pemuda itu kemudian menolong Rasmana sambil menghibur. Rasmana segera mengetahui bahwa kawanan perampok telah kabur karena ada seseorang yang melabrak mereka. Pemuda inikah orang sakti yang mempu mengusir kawanan perampot itu? Tanyanya dalam hati. Ketika hal itu dikemukakan, pemuda itu hanya tertawa.
     Esok harinya berita bahwa kawanan perampok telah dilabrak orang segera tersiar di seluruh penjuru kampung dan hal ini menimbulkan kekhawatiran penduduk yang segera berkumpul di rumah kepala desa. Dari sana mereka berduyun-duyun mendatangi rumah Mak Resmi, tempat menginap orang yang melabrak kawanan perampok itu. Kepala desa dengan beberapa orang segera masuk, sementara penduduk menunggu di luar dan di halaman dengan suara ribut saling membicarakan akibat-akibat yang mungkin timbul. Si pemuda segera memberi jaminan kepada kepala desa, bahwa kawanan perampok tidak akan berani datang lagi kalau mengetahui bahwa dia masih tinggal di sini.

     "Namaku Barda, aku menjamin bahwa mereka tidak akan menyerang kampung ini. Aku sudah memberikan tanda mata kepada mereka. Kukira si Durga bukanlah pemimpin yang tertinggi dari perampok-perampok itu. Kalau pemimpin mereka melihat tanda mata itu, tentu tidak akan gusar bahkan akan berterima kasih karena anak buahnya tidak kuhabisi," demikian kata Barda dengan nada yang amat meyakinkan. Kepala desa dan orang-orang yang masuk saling pandang seolah-olah tidak percaya kepada apa yang dikatakan Barda.
     "Percayalah kepadaku, aku akan tinggal di sini beberapa lama. Kalau perlu aku akan melatih pemuda-pemuda agar bisa menghadapi segala kemungkinan," lanjut Barda.
     "Setuju sekali!" Rasmana menyela.
     "Kita pemuda-pemuda kampung ini harus sanggupmempertahankan keamanan kampung sendiri dan untuk itu kita harus berlatih keprajuritan kepada Kak Barda ini." Kepala desa tidak tahu harus bersikap bagaimana, demikian pula kawan-kawannya. Akhirnya kepala desa berkata.
     "Yah, harus bagaimana lagi, nasi sudah jadi bubur, tetapi aku meminta jaminan Nak Barda untuk tinggal di sini dan melatih pemuda-pemuda supaya dapat melawan perampok.
     "Nah, itu baru sikap ksatria, aku menjamin!" jawab Barda.
     Mulai hari itu Barda segera melaksanakan janjinya dengan melatih pemuda-pemuda desa tentang berbagai ilmu kewiraan. Rasmana memperoleh kemajuan paling pesat sehingga diangkat sebagai wakil Barda dan ditugaskan memimpin pemuda-pemuda itu kalau tiba saat bertindak. Barda mulai berasa betah tinggal di desa Diguriang, apalagi ada gadis cantik bernama Rasmini. Hidupnya sehari-hari dijamin oleh kepala desa dan penduduk desa itu.
     Hubungan Barda dengan Rasmini mejadi makin intim. Mak Resmi yang sangat berterima kasih kepada Barda membiarkan saja pergaulan mereka, karena beranggapan bahwa Rasmini sudah masanya mempunyai sudami. Demikian juga dengan Rasmana yang menganggap Barda sebagai penolong berbudi yang akan melepaskan desanya dari gangguan perampok. Tanpa terasa cinta Rasmini dan Barda makin hari makin berkobar, sehingga keduanya tidak dapat menguasai diri lagi dan melakukan perbuatan seperti suami-istri. Mak Resmi dan Rasmana tidak mengetahui bahwa hubungan keduanya sudah terlalu jauh.
     Tiga bulan kemudian, tersiar kabar bahwa Barda akan mengawini anak Pak Sonjaya, kepala desa, yang bernama Amini. Ketika terdengar berita ini Rasmini hampir-hampir tidak mempercayainya. Tubuhnya menggigil, lalu ia jatuh pingsan. Mak Resmi dan Rasmana sibuk menyadarkan Rasmini tetapi tidak berhasil. Baru sesudah memanggil dukun kampung, Rasmini siuman lagi dan tak henti-hentinya menyebut nama Barda sambil menatap jauh dan kosong. Mak Resmi dan Rasmana dapat memahami betapai perasaan Rasmini pada waktu itu, tetapi mereka tidak menyangka bahwa Rasmini sudah bukan gadis lagi!
     Barda akhirnya kawin dengan Amini, karena dalam pandangan Barda, lebih baikmengawini anak Pak Sonjaya yang kaya dan berpengaruh daripada Rasmini anak seorang miskin. Barda ternyata bukanlah manusia yang benar-benar baik. Ia adalah anak murid dari perguruan 'Racun Biru' yang ditakuti di dunia hitam.
     Tidak ada pihak yang mau berurusan dengan perguruan itu, kerena mereka terkenal kejam dan ilmu pukulan Racun Biru sulit untuk ditandingi. Walaupun perguruan RAcum Biru terkenal di dunia htiam, tidak ada orang yang mengetahui tempat perguruan itu.
     Sementara itu Rasmini tidak juga sembuh dari pukulan batin yang dideritanya, malahan makin memburuk dan terlihat gejala-gejala terganggunya pikiran. Mak Resmi yang menderita pukulan batin sejak didatangi kawanan perampok, kemudian melihat Rasmini yang sudah setengah gila, mulai sakit-sakitan. Akhirnya mujur tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, Mak Resmi meniggal dalam penderitaan.
     Tinggallah Rasmana dan Rasmini hidup berdua menyongsong masa depan yang suram. Sudah tentu Rasmana tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin para pemuda.
     Rasmana kini harus mengurus kakaknya, Rasmini, yang sering duduk termangu dan mengoceh sendirian, kadang-kadang tertawa, kadang-kadang menangis. Pada suatu malam Rasmana berkata kepada Rasmini.
     "Kak, Kak Rasmini, aku Rasmana. Kak bagaimana kalau kita meniggalkan kampung ini? Kurasa kampung ini sudah tidak aman lagi. Kang Barda sekarang sudah berubah." Mendengar kata 'Barda', Rasmini melihat kepada adiknya seakan-akan minta keterangan lebih jauh.
     "Kang Barda sudah berubah jauh sekali, Kak! Dia sekarang menjadi kepala kampung tapi perbuatannya justru merugikan penduduk kampung. Dia menarik pajak yang lebih besar daripada upeti yang biasa kita berikan kepada gerombolan perampok dulu. Dia juga sering mengganggu gadis-gadis kampung. Para pemuda yang dilatihnya kini digunakan untuk tujuan memeras penduduk. Aku khawatir mereka pada akhirnya akan mengganggu kita juga. Bagaimana pendapatmu, Kak?" Tanpa disangka, Rasmini justru manggut-manggut.
     "Engkau setuju Kak? Kita pergi saja ke rumah paman di desa Cimanggu sana. Kita berangkat lusa, ya Kak?"
     Demikian, lusanya pagi-pagi benar mereka berdua sudah berangkat menuju desa Cimanggu dengan hanya membawa pakaian dan makanan sekedarnya. Mereka berjalan lambat karena Rasmini sering minta berhenti di jalan. Rasmana merasa sedih harus meninggalkan kampung halamannya yang sekarang menjadi kampung dengan suasana hidup yang muram. Tidak ada seorang pun yang dapat menahan sifat angkara murka si Barda.
     Tak terasa hari menjelang sore, padahal mereka masih berada dekat hutan yang angker dan lebat. Rasmana kebingungan mencari tempat bermalam. Rasmana melihat kepada kakaknya seakan-akan menyalahkan kakaknya yang tidak bisa berjalan cepat. Rasmini rupanya mengerti dan kelihatan seperti berpikir, melihat ke kiri, ke kanan, ke atas. Lalu ia menekurkankepala dan memejamkan matanya. Tak lama kemudian ia tersenyum sendiri. Rasmana menjadi jengkel melihat kelakuan kakaknya. Belum sempat ia berkata apa-apa Rasmini sudah berjalan mendahuluinya. Ia cepat-cepat mengikuti Rasmini. Rasmini tampak membelok ke arah hutan!
     "Kak, Kak, jangan ke sana, kita bisa tersesat!" Rasmana memanggil, tapi Rasmini berjalan makin cepat. Rasmana mengejarnya dan memegang tangun Rasmini untuk menahan masuk hutan. Rasmini meonta dan kemudian berlari-lari memasuki hutan lebih dalam Rasmana mengejar terus sambil berteriak-teriak agar Rasmini berhenti, tapi Rasmini menoleh pun tidak.
     Rasmini malahan berlari makin cepat seolah-olah kesetanan. Rasmana membuang segala beban dan bekal dan dengan sekuat tenaga mengejar Rasmini walaupun keadaan dalam hutan suram karena lebatnya daun-daunan, apalagi hari pun menjelang magrib. Rasmana tidak merasakan kakinya terantuk-antuk dan badannya tergores ranting-ranting tajam sehingga bajunya koyak-koyak.
     Bermaca-macam perasaan tergores di hatinya, namun semuanya tidak diperhatikannya karena yang penting adalah mengejar Rasmini. Napasnya sudah memburu, badan dan kakinya terasa letih dan pedih, untunglah Rasmini kelihatan mulai lelah sampai akhirnya berhenti. Rasmana menyusulnya dan berkata terbata-bata.
     "Kak, ayo kita kembali ke jalan setapak tadi." Tapi Rasmini diam saja sambil melihat ke suatu arah. Rasmana melihat ke arah pandangan mata Rasmini dan melihat sebuah rumah kecil dengan nyala pelita di dalamnya yang menerobos melalui celah-celah pintu. Rasmana merasa heran mengapa di dalam hutan ada rumah yang tampaknya dihuni orang.
     Rasmini berjalan ke rumah itu. Rasmana hendak mencegah tapi urung, karena ia sadar bahwa ia memerlukan tempat untuk bermalam bersama Rasmini. Belum sampai ke sana, pintu sudah terbuka dan terlihat seorang tua tersenyum ke arah mereka. Rasmini menghampiri orang tua yang kumis, jenggot dan rambutnya sudah mulai memutih. Sambil menghormat, Rasmini berkata.
     "Sudilah Kakek dan Nenek menerima kami berdua yang sedang menderita ini." Kakek itu menjawab, "Jangan khawatir cucu-cucuku, kalian kuterima di sini dengan senang hati. Bersabarlah atas apa yang kalian alami."
     Rasmana merasa heran karena seolah-olah kakek itu sudah mengethui apa yang dialaminya. Mereka masuk dan tampak seorang nenek yang juga tersenyum ke arah mereka. Hei, mengapa kakakku sudah tahu bahwa ada seorang nenek di sini? Demikian suara hati Rasmana.
     Nenek itu berkata, "RAsmini, engkau harus menyucikan dirimu dulu. Dan Rasmana tinggallah di sini untuk menerima gemblengan dari Kakek Soma suamiku."
     "Baa..ba..baik, Ne..nek," kata Rasmana terbata-bata. Anehnya begitu masuk rasa letih dan pedih hilang begitu saja dan Rasmini tampaknya juga sudah berubah wajahnya, tidak lagi kosong, melainkan tampak sehat dan segar seperti biasa. Dan yang lebih aneh ia melihat di atas meja tergeletak pakaian dan bekalnya yang dilepaskannya pada waktu mengejar Rasmini tadi.
     "Nah, makan dan beristirahatlah dulu, besok kita mulai," kata Kakek Soma.
     Esok harinya Rasmana tidak melihat si nenek dan Rasmini. Ia tidak menanyakannya karena ia percaya bahwa Rasmini berada dalam perlindungan yang baik dari Nenek Soma. Pada hari itu Rasmana disuruh mengulang jurus-jurus silat yang sudah diketahuinya, baik yang didapat dari ayahnya maupun dari Barda si manusia sesat. Kakek Soma berkata bahwa segala ilmu itu baik, asal orang menggunakannya secara benar dan terpuji.
     Walaupun sudah tua Kakek Soma dapat bergerak cukup lincah. Kakek Soma mengatakan bahwa badan adalah alat jiwa yang dengan pikiran dan tekad yang bulat dapat digunakan menurut tujuan dan maksud manusia. Gerakan raga bisa membangunkan kekuatan jiwa, namun gerakan yang lepas dari kesadaran dan digunakan untuk tujuan nafsu pada akhirnya akan merugikan diri sendiri dan bertentangan dengan tujuan semula.
     Hari demi hari Kakek Soma menggembleng Rasmana dan memperhalus gerakan jurus-jurus silat Rasmana. Sedikit demi sedikit Rasmana mulai mengerti tujuan ilmu gerak, walaupun ia harus kenyang menerima pukulan-pukulang tongkat Kakek Soma.
     Pada hakikatnya, begitu kata Kakek Soma, silat atau ilmu gerak bukanlah untuk menyakiti lawan. Kita harus membuat lawan mengerti bahwa gerakannya untuk menyakiti diri kita akibatnya hanya akan berbalik terhadap dirinya.
     Setelah Rasmana dapat menguasai jurus-jurus yang sudah dipelajarinya, maka mulailah Kakek Soma menurunkan ilmunya, 27 jurus silat 'Tarian Malaikat' yang katanya dapat mengatasi segala ilmu hitam.
     Selang beberapa waktu karena Rasmana betul-betul berlatih tanpa kenal lelah, ia sudah bisa menguasai 27 jurus 'Tarian Malaikat' dan cara-cara penggunaannya.
     Sesudah Rasmana dianggap mahir, mulailah tingkat yang lebih berat lagi y aitu memeras yang 26 jurus menjadi 18 jurus. Di sinilah Rasmana mulai tersendat-sendat. Kakek Soma hanya tersenyum.
     "Baiklah cucuku, pelajaran meningkat menjadi lebih sulit. Engkau harus memusatkan perhatianmu. Berdoalah kepada yang Mahakuasa, ingatlah kedua orang tuamu dan ingatlah nasib orang-orang sekampungmu. Engkau mempunyai tugas yang berat kelak," kata Kakek Soma membakar semangat Rasmana. Rasmana tergugah dan dengan tekun ia mengikuti petunjuk-petunjuk Kakek Soma. Walau begitu tak urung kepalanya terasa berputar-putar, matanya berkunang-kunang, darahnya serasa mendidih, isi perutnya terasa sakit dan sering muntah-muntah dari atas dan dari bawah.

     Hari-hari berlalu tak terasa, Rasmana sudah sanggup memeras 'Tarian Malaikat' menjadi 18 jurus saja. Badannya kini lebih kuat dan ringan. Suatu malam Kakek Soma berkata, "Cucuku Rasmana, sudah empat bulan kau tinggal di sini kukira itu sudah cukup bagimu. Engkau harus menghukum Barda, karena Barda adalah utusan dari dunia hitam yang harus diakhiri tugasnya. Pulanglah besok hari dan engkau akan menemui Rasmini di sana."
     Besoknya pagi hari terasa matahari membakar kulit Rasmana yang masih tertidur. Rasmana bangun tetapi ia mendapati dirinya terbaring di atas rumput di pinggir jalan setapak. Rasmana merasa seperti mimpi dan ia bertanya dalam hati, masih hidupkah aku?
     Namun matahari yang bersinar terang menjadi jaminan bahwa ia masih h idup di dunia fana ini. Ia segera berjalan ke arah kampungnya, desa Ciguriang dan anehnya ia merasa lebih cepat dan ringan sehingga dalam waktu 2 jam saja kampung halamannya sudah terlihat kembali.
     Tiba di pemakaman orang tuanya ia menangis sepuasnya. Setelah itu ia teringat kepada Rasmini. Di manakah Rasmini? Kemudian ia bangkit dan berjalan ke rumahnya. Ternyata anak buah Barda sudah menguasai rumahnya, menjadikannya tempat menyabung ayam, minum tuak, menghibur diri dengan wanita-wanita yang diambil secara paksa dari orang-orang tuanya.
     Ketika Rasmana membuka pintu terlihat anak-anak buah Barda yang dulu menjadi teman-temannya sudah menjadi orang-orang yang rusak pekertinya, ada yang sedang bermain kartu, ada yang sedang memeluk wanita, suasananya sungguh memuakkan hati Rasmana.
     "He.he.. engkau Rasmana, dari mana saja kau? Mana RAsmini yang sudah gila karena tidak mendapat cinta junjungan kita, hahaha.." kata Darya temannya dulu yang bisa mengenali Rasmana.
     "Diam kau Darya dan keluarlah dari rumahku ini!" Rasmana membentak karena amarahnya meluap melihat rumahnya berantakan.
     "Uah.ha.hahahaha.. rumahmu? Rumah ini sudah menjadi milik kami. Semua rumah di kampung ini adalah milik Den Barda. Bukan saja rumah, semua jiwa di kampung ini adalah miliknya. Hahaha.. "
     Semua anak buah Barda tertawa terbahak-bahak. Kelihatan juga oleh Rasmana ada orang-orang yang tidak dikenalnya. Hmm, mungkin mereka anak perguruan Racun Biru, pikir Rasmana. Kemarahan Rasmana meluap, diangkatnya kursi dan dilemparkannya ke arah Darya.
     "Aduh, kurang ajau kau Rasmana! Kuhantam kau!" Darya mengaduh terkena lemparan kursi. Ia ingin membalas, tetapi akibat lemparan tadi terasa sakit sekali dan mendadak seluruh badannya terasa lemah. Yang lain segera bangkin dan menyerang Rasmana, tapi dengan sedikit tangkisan satu sentuhan tiga orang segera roboh tidak bangun lagi.
     Tiga orang yang tidak dikenalnya datang menyerang. Pukulannya lebih mantap dan berhawa dingin sekali. Rasmana menggigil namun hanya sebentar dan segera ia mundur ke halaman agar lebih leluasa. Dikeroyok tiga orang Rasmana baru bisa membuktikan bahwa latihan selama ini memang telah berbuah, tapi siapakah Kakek Soma?
     Pertanyaan ini mulai menggoda hatinya. Karena agak lengah sebuah pukulan masuk mengenai dadanya, tapi secara refleks badannya mendoyong ke belakang dan sebelum si penyerang menyadari, kaki Rasmana sudah terangkat menendang pinggang. Si penyerang itu mengaduh lalu roboh. Tiga gerakan berturut-turut yang dilancarkan Rasmana membuat tiga anak buah Barda terbaring kesakitan. Bereslah sudah. Wanita-wanita dalam rumah Rasmana sama-sama ketakutan ketika melihat Rasmana masuk.
     "Pulanglah kalian semua, tinggalkan rumahku ini. Dan kau Darya bersama yang lain beritahukanlah kepada Barda untuk mengakhiri tindakannya yang sewenang-wenang itu", kata Rasmana berwibawa. Semua anak buah Barda segera kabur untuk melaporkan kejadian yang dialaminya itu.
     Barda tidak percaya bahwa Rasmana telah berubah. Tapi kalau adik-adik seperguruannya pun tidak mampu menghadapi Rasmana, mau tidak mau ia harus berhati-hati. Ketika Barda melihat Rasmana mendatangi, ia menyambutnya sambil tertawa, "Hai, kepala lasykarku, ke mana saja kau?"
     Rasmana menjawab, "Kau, Barda, insaflah sebelum aku bertindak."
     "Hohoho.. kau anak kemarin sore hendak menghadapiku? Baik, baik.. ayolah, jangan banyak omong kalau engkau ingin merasakan kepalanku." Barda mengejek.
     "Jangan engkau menyesal. Sambut seranganku!" kata Rasmana sambil menyerang. Barda berkelit dan balas menyerang. Begitulah mereka saling menyerang. Keduanya sama-sama tangguh. Rasmana merasa terkejut karena pukulan-pukulan Barda berhawa sangat dingin dan hal ini membuat napasnya terasa berat, dadanya sesak. Sebaliknya Barda merasa sangat heran karena pukulan-pukulannya dapat dihindari secara mudah, sedangkan pukulan Rasmana terasa panas dan pedih sehingga badannya mengandung hawa dingin terasa menjadi panas dingin.
     Karena itu Barda meningkatkan lagi serangannya. Anak buah Barda melihat pertempuran dengan mata berkunang-kunang dan hati yang was-was. Rasmana merasa terdesak oleh serangan Barda yang bertubi-tubi dan dadanya terasa makin sesak. Ia selangkah muncur karena tak kuat.
     Sesungguhnya keadaan Barda juga sudah payah, tapi ia menguatkan hatinya dan menyerang terus. Sekonyong-konyong ia melihat sebuah bayangan wanita yang segera menjadi jelas dan sangat dikenalnya. Rasmini tampak senyum kepadanya. Hati Barda tiba-tiba saja menjadi terharu dan teringat kepada segala dosanya. Namun tiba-tiba sebuah pukulan Rasmana sudah bersarang di dadanya. Barda terlempar dan muntah darah. Matanya menjadi gelap dan ia tidak ingatkan diri lagi. Anak buahnya semua terkesima. Darya dan teman-teman lama Rasmana dalam lasykar dulu semua datang dan minta ampun, sedangkan anak buah Barda yang tidak dikenal segera pergi dengan meninggalkan Barda begitu saja.
     "Ayo, tolonglah aku mengobati Barda", kata Rasmana. Rasmana mengurut dada Barda tiga kali dan kelihatan Barda membuka matanya. Sorot matanya lemah.
     Setelah menitipkan Barda kepada Darya, Rasmana segera pulang ke rumahnya kembali. Ketika ia membuka pintu rumah kelihatan ruangan sudah rapi dan bersih. Tiba-tiba muncul Rasmini.
     "Kakak!" kata Rasmana sambil menghampiri dan memeluk kakaknya Rasmini.
     "Kakak, aku rindu padamu". Keduanya berpeluk-pelukan sambil menangis.
     "Sudahlah Dik, kita harus tabah dan menghadapi hidup yang baru. Masih banyak tugas yang harus kau lakukan Dik", kata Rasmini. Tugas? Pikir Rasmana. Ya, dia sadar. Dia sudah jadi orang kuat sekarang dan harus terus berbuat bagi sesama manusia yang tertinda.
     "Oh ya Kak, sebetulnya siapakah Kakek dan Nenek Soma itu? Ke mana kau dibawa oleh Nenek Soma?" tanya Rasmana.
     "Soal siapa Kakek dan Nenek Soma itu, tidak usah kau pikirkan benar-benar. Orang-orang menamakan mereka 'manusia gaib dari Gunung Salak'. Aku sendiri kurang tahu apakah sebetulnya mereka itu masih hidup di dunia fana ini. Hal itu di luar jangkauan kita. Aku sendiri dibawa oleh Nenenk Soma bermandi suci di bawah air terjun Cicurug supaya jiwaku bebas dari perbuatan dosaku sendiri. Kini yang perlu bagi kita adalah bersyukur ke hadirat Yang Mahakuasa. Barda sudah terhukum dan sekarang ia menjadi manusia biasa yang tidak memiliki lagi ilmunya yang jahat itu", demikian Rasmini menjelaskan.
     Rasmana dan Rasmini akhirnya dapat memulai kembali kehidupannya dengan tenteram bersama-sama penduduk desa yang selama ini dalam cengkeraman teror si Barda.
diceritakan oleh Gemi Ara
majalah senang 00531, thn 1982

KISAH NYATA !!
     Fatimah merasa badannya kurang sehat malam itu. Sudah dikatakannya kepada suaminya tentang hal itu ketika suaminya akan pergi menagih utang kepada seorang kawannya. Tetapi berhubung keadaan Fatimah dilihatnya tak begitu mengkhawatirkan, hanya demam sedikit saja, maka Yono pergu juga dengan hanji akan pulang secepatnya.
     Fatimah juga mengerti, jika Yono tidak menagih uang itu sekarang, besok mereka tidak mempunyai uang yang cukup buat belanja mereka. Tanpa banyak rewel Fatimah mengizinkan Yono pergi malam itu. Hanya pergi beberapa jam saja, tak akan lama dia menunggu, pikirnya. Sedangkan anak-anaknya sudah sedari tadi tertidur. Dia akan tidur-tiduran di tempat tidur dalam menanti kedatanngan suaminya itu. Apa sebenarnya yang ditakuti? Sedangkan mereka tinggal bukannya di daerah yang terpencil melainkan di jantung kota Jakarta yang padat oleh penduduknya.
     Minumlah obat, Fat! Aku akan pergi sebentar saja, tak akan lama," kata suaminya kepada Fatimah. Fatimah mengangguk tanpa menjawab. Diantarnya Yono sampai ke muka pintu. Angin dingin malam itu menyembut tubuh Fatimah. Sehingga ia sedikit menggigil. Cepat-cepat ditutupnya pintu dan dikuncinya rapat-rapat.
     Setelah kepergian suaminya Fatimah mengambil sebutir obat yang biasanya akan dapat meredakan demam setelah diminum. Setelah itu ia langsung merebahkan dirinya di tempat tidur di sebelah kedua orang anaknya yang sedang dibuai mimpi. Dirasanya tubuhnya semakin menggigil, dan dengan tangan yang gemetar dirabanya dahinya sendiri. Begitu panas membara. Kepalanya berdenyut-denyut. Dirasanya tempat tidurnya bergoyang-goyang seperti ada yang menggerak-gerakkan. Dipejamkannya matanya. Tetapi itu tak dapat mengurangi rasa sakitnya.
     Entah berapa lama dia memejamkan matanya dalam penderitaan itu. Mungkin karena pengaruh obat sudah memasuki tubuhnya, sehingga Fatimah akhirnya dapat tertidur juga.
     Di dalam tidurnya Fatimah seperti mendengar ada yang mengetuk pintu depan. Terdengar pula oleh telinganya desau angin yang merintih di luar sana. Didengar pula lolongan seekor anjing yang sangat memilukan di kejauhan. Tetapi suara-suara itu tak dapat mengalahkan suara ketukan pintu yang tambah lama bertambah keras.
     Dengan malas-malasan Fatimah bangkit dari tempat tidurnya. Mungkin suaminya yang pulang. Tetapi kenapa Yono tidak memanggil-manggilnya seperti basa? Kemungkinan besar Yono sudah memanggil-manggilnya ketika ia sedang tidur pulas tadi, jadi Fatimah tidak mendengarnya.
     "Bang Yono! Kaukah yang di luar itu?" tanya Fatimah sebelum dia membukakan pintu. Sepi. Hanya terdengar desah angin mendatangkan kesan seram di hati Fatimah.
     "Bang Yono!! Kau yang datang?!" Fatimah bertanya lagi dengan suara bergetar, karena dirasanya tubuhnya begitu menderita dengan rasa sakit di kepalanya.
     "Bukan! Aku Marta!" jawab yang ditanya. Fatimah menarik napas lega mendengar jawaban dari luar. Kiranya yang datang adalah Marta kawan karib suaminya. Maka tanpa ragu-ragu dibukanya pintu. Marta masuk dengan wajah lesu. Tetapi Fatimah tidak memperhatikan hal itu. Dia membiarkan tamunya duduk di kursi tamu. Fatimah sendiri duduk di kursi panjang dan menyenderkan kepalanya yang terasa sangat berat tanpa memandang tamunya. Tetapi tiba-tiba ia teringat kepergian suaminya itu bermaksud untuk ke rumah Marta. Tetapi kenapa Marta tiba-tiba ada di rumahnya? Lalu ke mana suaminya sampai saat ini belum juga datang? Apakah suaminya sudah mulai tega membohonginya? Ah, mungkinkah? Selama ini suaminya tak pernahmembohonginya.
     "Tetapi kata suamiku aka ingin ke rumahmu, Ta!" kata Fatimah kepada Marta yang kelihatannya sedang mabuk.
     "Mungkin, soalnya aku sedari sore tidak berada di rumah. Kapan dia pergi, Fat?" tanyanya tanpa menoleh kepada Fatimah.
     "Kira-kira pukul tujuh," jawab Fatimah sambil menguap karena begitu mengantuk.
     "Mungkin Yono ingin menagih utang. Kasihan dia, aku belum juga mampu membayarnya!" kata Marta dengan sedih. Fatimah agak heran melihat Marta yang seperti sedang menghadapi persoalan. Tetapi Fatimah tak ingin lebih banyak bertanya kalau Marta tidak menceritakan kesusahannya lebih dahulu. Fatimah hanya ingin Marta cepat-cepat berlalu dari rumahnya. Sebaba jika tak ada suaminya dia akan merasa tidak enak juga berduaan dengan seorang laki-laki. Walupun tetangga mereka mengetahui bahwa Marta adalah kawan dekat suaminya. Tetapi setidak-tidanya dia merasa tak enak pada dirinya sendiri. Apalagi hari sudah begini malam.
     "Apakah kau ada keperluan yang sangat penting sehingga tidak biasanya kau datang malam-malam begini?" tanya Fatimah. Marta menggelengkan kepalanya dengan malas. Laki-laki itu seperti sedang dalam kesukaran. Buktinya dia enggan untuk menyahut banyak segala pertanyaan Fatimah. Fatimah juga tidak memedulikan itu. Dia menganggap Marta kebetulan sedang mabuk berat sehingga malas untuk banyak bicara kepadanya. Tetapi, ah..dia begitu mengantuk sekali! Untuk meninggalkan Marta sendirian saja di kursi itu, rasanya kurang sopan. Lalu dipejamkannya matanya sambil tetap duduk di kursinya. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh perasaannya sendiri! Hidungnya mencium sesuatu bau wangi yang biasanya mengharumi suasana rumah yang sedang ditimpa suatu kematian.
     Yah, bau itu adalah bau yang tidak aneh lagi bagi Fatimah. Bau setanggi yang dibakar! Mengingat semua itu Fatimah membuka matanya yang tadi terpejam. Pandangannya tepat terjatuh ke wajah Marta yang sedang tertunduk menatap lantai. Seketika Fatimah terpana dengan kenyataan ini. Wajah Marta begitu pucat. Dan adal lagi yang menjadi tanda tanya di dalam hatinya. Mengapa selalu tak mau menatap matanya jika sedang berbicara? Marta selalu memandang ke arah lain jika sedang berbicara dengannya. Itu bukan kebiasaan Marta. Fatimah mengenal Marta sudah sangat lama dan dia tahu Marta adalah seorang laki-laki yang jujur. Seorang yang jujur selalu menatap orang yang sedang diajaknya bicara. Tetapi Marta tidak melakukan itu. Itu bukan kebiasaan Marta.

     Sedang sibuknya Fatimah berperang melawan kata hatinya dengan meyakinkan dirinya bahwa Marta berubah atau meninggalkan kebiasaannya karena pikirannya yang sedang kalut, laki-laki itu memulai lagi pembicaraannya.
     "Fat! Pernahkah kau mendengar tentang kematian yang dipaksakan? Maksudku, bukan suatu kematian yang wajar? Misalnya, seseorang yang mati terbunuh. Apakah arwah-arwah orang seperti itu dapat diterima di sisi Tuhan?" Marta bertanya dengan masih menundukkan kepalanya ke lantai.
     "Apa maksudmu, Marta?" tanya Fatimah dengan wajah pucat. Dia tak mengerti mengapa Marta berbicara seperti itu.
     "Maksudku.. jika sekali waktu kita terbunuh dengan paksa oleh seseorang, akan bisakah arwah kita diterima oleh Tuhan Yang Mahaesa? Sedang kita belum lagi menyiapkan diri untuk bertemu dengannya? Misalnya aku mati dibunuh orang dengan usus terburai keluar dan kematian itu disebabkan oleh sebuah perkelahian yang bukan atas kemauanku. Apakah arwahku akan gentayangan mencari pembunuhku untuk melakukan pembalasan dendam atas perbuatannya itu?" kata Marta dengan sungguh-sungguh kepada Fatimah. Fatimah memandangi wajah Marta penuh selidik. Tetapi dia menjawab juga sedapat-dapatnya.
     "Itu tergantung, Marta.! Jika orang itu mati dengan pasrah walaupun ia dibunuh, dia tak akan menjadi setan pengganggu bagi manusia, juga tak akan menuntut balas kepada yang membunuhnya. Persoalan diterimanya manusia di sisi Tuhan, aku sama sekali tak mengerti. Aku hanya tahu Tuhan menerima siapa pun dia adanya jika sudah waktunya dia menghadapNya! Hanya itu yang kuketahui." Marta terdiam mendengar jawaban Fatimah. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Fatimah juga tak mau mengganggu Marta. Dia hanya mengharapkan agar Marta mengerti bahwa dia sebenarnya sudah sangat mengantuk.
     "Hari sudah larut malam, Marta! Pulanglah ke rumahmu, pasti istrimu merasa khawatir dengan kepergianmu ini," akhirnya Fatimah tega juga berkata begitu. Fatimah juga menyesali suaminya yang belum pulang juga sampai selarut ini.
     "Tidak! Istriku pergi sejak tadi pagi. Dia marah kepadaku dan pulang ke rumah orang tuanya. Mungkin dia tak akan kembali lagi kepadaku! Itu yang telah dikatakannya kepadaku!" jawab Marta dengan sedih.
     "Percayalah Marta! Perempuan memang sering berbicara menuruti nafsunya saja tanpa berpikir lebih lanjut lagi akan keputusan yang telah diambilnya. Istrimu akan kembali. Itu pasti!" Fatimah berusaha menghibur Marta. Tetapi Marta seperti tak mendengarkan semua kata-kata Fatimah. Dia tetap terpekur memandangi lantai.
     "Dia perempuan yang keras kepala, Fat! Rasanya memang sebaiknya kami berpisah saja."
     "Pikirkanlah olehmu baik-baik, Marta! Ingatlah kedua anakmu! Mereka masih terlalu kecil, mereka butuh sekali kasih sayang dari kedua orang tuanya," kata Fatimah sambil menguap lagi.
     Melihat Fatimah menguap lagi, Marta menjadi merasa tidak enak untuk tinggal lebih lama di rumah itu. Dengan mengucapkan terimakasih ia berpamitan untuk pulang.
     "Terimakash, Fat! Aku pergi dulu. Sampaikan salamku kepada Yono. Dan, sampai jumpa!" kata Marta dengan lesu. Setelah kepergian Marta, Fatimah tetap duduk di kursinya dengan kepala yang mulai lagi terasa sakit. Tetapi ketika dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul satu lewat lima belas menit, Fatimah bangkit dari duduknya untuk mengunci pintu. Masih tercium olehnya bau setanggi yang dibakar. Fatimah ingat, malam ini malam Jumat, mungkin saja salah seorang tetangganya membakar kemenyan  atau setanggi sehingga bau itu sampai ke rumahnya.
     Angin di luar masih bertiup keras seperti tadi. Fatimah sudah merebahkan tubuhnya di tempat tidur melepaskan kantuk yang menggodanya sejak tadi. Hujan mulan turun rintik-tintik menemani malam yang semakin larut. Lolong anjing sudah menghilang sejak tadi. Mungkin bnatang itu sudah tertidur pulas dalam cuaca yang sesejuk ini.
     Belum lagi satu jam Fatimah terlelap dalam tidurnya, sudah didengarnya lagi suara ketukan dan teriakan Yono yang memanggil-manggilnya. Fatimah terkejut sesaat. Tetapi dia cepat bangun dan berjalan ke luar untuk membukakan pintu bagi suaminya.
     "Maafkan aku, Fat! Aku terlambat pulang malam ini," kata suaminya dengan penuh rasa sesal pada wajahnya. Fatimah tak memedulikan kata-kata Yono. Dia langsung saja kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidurnya. Dia sangat lelah dan mengantuk, ditambah lagi dengan sakit kepalanya yang tak kunjung hilang. Maka dari itu Fatimah tak begitu memedulikan suaminya yang sebenarnya takut disesali oleh ang istri karena pulang terlalu malam.
     Sikap Fatimah yang seperti itu mendatangkan dugaan di hati Yono bahwa istrinya betul-betul jengkel kepadanya. Yono menjadi tak enak hati. Lalu didekatinya Fatimah yang sudah tertidur kembali. Dipeluknya tubuh istrinya dengan penuh kasih sayang. Fatimah diam saja. Dia bukannya marah karena suaminya pulang terlambat tetapi dia merasa tubuhnya begitu lelah dan kepalanya sakit.
     "Badanmu panas, Fat? Masih sakitkah kau?" tanya Yono lembut sambil meraba kening istrinya.
     "Ya, kepalaku masih saja sakit. Sungguh hera, padahal aku sudah meminum obat tadi sebelum tidur. Biasanya setelah minum obat itu kepalaku akan sembuh dengan cepat, tetapi kenapa sekarang tidak, ya?" keluh Fatimah kepada suaminya.
     "Apakah ada yang datang mencariku, Fat? Aku lupa kalau tadi malam telah berjanji ingin pergi ke rumah Toni untuk membawakan radio yang dipesannya," tanyanya pada Fatimah.
     "Bukan Toni yang mencarimu, tetapi Marta!" jawab istrinya.
     "Hah?? Marta katamu, Fat?" Yono berteriak kecil. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat pasi. Tetapi Fatimah tak melihat perubahan wajah suaminya itu. Dia hanya heran mendengar suaminya begitu terkejut ketika dia menyebutkan nama Marta. Fatimah tersenyum sendiri. Soalnya sebelum pergi Yono berkata akan ke rumah Marta, tetapi nyatanya malahan Marta yang datang ke rumah mereka ketika Yono berada di sana. Mungkin Yono kebingungan untuk mencari alasan lain setelah diketahuinya Marta datang ke rumah mereka.
     "Ya! Kenapa terkejut?" tanya istrinya tanpa melihat ke wajah suaminya.
     "Marta? Marta Saroh? Kapan dia datang? Jam berapa?" tanya Yono dengan suara meninggi seperti orang berteriak. Fatimah heran melihat suaminya begitu kaget.
     "Marta datang kira-kira pukul satu malam di saat aku sedang enak-enaknya tidur. Wajahnya kelihatan begitu sedih. Ada yang kuherankan, dia berbiara tentang suatu kematian," jelas istrinya.
     "Lalu.. apa lagi yang dibicarakannya?" tanya Yono gugup.
     "Dia juga menceritakan tentang utangnya kepadamu. Katanya dia sangat menyesal karena belum bisa membayarnya. Dia juga bercerita tentang pertengkarannya dengan istrinya. Kasihan! Marta kelihatannya begitu sedih dan berduka waktu dia berkata istrinya pergi meninggalkan rumah." Yono terdiam mendengar penjelasan istrinya dengan raut wajah tetap pucat dan penuh kekagetan. Fatimah menolehkan wajahnya memandangi suaminya. Hatinya bertanya-tanya mengapa suaminya menjadi seperti itu.
     "Yono! Ada apa? Kenapa tiba-tiba wajahmu menjadi sepucat itu?" tanya Fatimah penasaran.
     Yono memandang istrinya sejenak, lalu menatap langit-langit kamar dengan alis yang berkerut.
     "Kenapa kau Yono? Ada apa?" Fatimah mengguncang-guncangkan tubuh suaminya. Setelah lama berdiam diri akhirnya dengan susah payah dapat juga Yono dengan susah payah dapat juga Yono menjelaskan keterkejutannya ketika mendengar kedatangan Marta di tengah malam itu.
     "Fat! kuharap kau jangan terkejut mendengar semua ini. Sebenarnya.. Ah, kau pasti akan terkejut! Tetapi aku harus berterus terang kepadamu. Karena biarpun hal ini kurahasiakan kau pasti akan segera tahu! Dengarlah Fat, Marta Saroh sebenarnya sudah mati tadi sore! Ya, pukul lima sore tadi. Dia ditikam orang pada perutnya sehingga ususnya terburai ke luar! Marta dibwa ke rumah sakit dari tempat kejadian di Mangga Besar. Tetapi tak lama kemudian Marta menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit. Aku tak mengerti mengapa Marta bisa datang kemari tadi? Padahal dia sudah mati sejak tadi sore. Apakah kedatangan Marta tidak hanya di dalam mimpimu saja, Fat? Kau ini kan sedang sakit, jadi aku berpendapat kau berjumpa dengan Marta hanya dalam ilusimu saja." Yono mencoba meneliti wajah istrinya yang sekarang pucat juga.
     "Tidak! Aku betul-betul sadar bahwa Marta datang dan berbicara denganku dengan wajah sedih. Aku membukakan pintu untuknya. Dia duduk dengan wajah terpekur ke lantai seperti tak ingin memandang wajahku. Dia tak mau memandang mataku! Ya, aku baru ingat! Ya Tuhan! Kalau begitu semalam aku berbicara dengan arwah Marta! Semoga tenanglah arwahnya di sisi Tuhan. SEmoga terampunkanlah semua dosa-dosanya selama dia hidup!" kata Fatimah sambil memeluk suaminya. Yono membalas pelukan istrinya.
     "Semalam aku ikut mengambil mayat Marta di rumah sakit Husada dan membawanya pulang ke rumahnya. Memang benar, aku tidak menjumpai istrinya di sana. Ibu Marta berkata istri Marta sedang pulang ke rumah orang tuanya," kata Yono.
     "Aku sudah tahu hal itu lebih dulu, bukan?" Fatimah berkata dalam dekapan suaminya yang hangat.
     "Kau hanya berbicara dengan arwahnya saja. Padahal dia sudah mati sejat sore!" Yono mengulangi kata-kata yang sudah diucapkannya tadi. Dia hanya ingin istrinya mempererat pelukannya saja. Sebaa Yono tahu bahwa Fatimah begitu takut mengingat peristiwa yang baru dialaminya.
     cerita : Widya Cristianti
     Majalah Senang 00533 thn 1982

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.