tag:blogger.com,1999:blog-13319313036602697962024-03-14T00:11:22.455+08:00Hero Fitrianto tentang cinta pencinta alam Hero Fitriantohttp://www.blogger.com/profile/07789893447778532308noreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-1331931303660269796.post-24105333180908934592013-05-19T18:22:00.000+08:002016-05-10T02:35:57.179+08:00Lembanna sebagai Buletin - Literasi Ekspresi Alam Memilih kata <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2013/05/lembanna-sebagai-buletin-literasi.html">Lembanna</a> sebagai nama buletin yang dimiliki Korpala, sejatinya sarat dengan makna dan simbol. <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2013/05/lembanna-sebagai-buletin-literasi.html">Lembanna</a> bukan hanya sekadar sebagai tanah datar yang kemudian menjadi kampung bagi penduduk di kaki Bawakaraeng tetapi juga sebagai media persiapan transformasi spiritual bagi para pelintas yang hendak menuju Butta Toayya, sebutan lain untuk Bawakaraeng.<br />
Menjadi basis aktifitas Korpala yang utama selain Blue Sky Room di kampus Tamalanrea, maka <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2013/05/lembanna-sebagai-buletin-literasi.html">Lembanna</a> merekam banyak hiruk pikuk semangat yang penuh gelora. Aktifitas transformasi pendewasaan mental dan spiritual begitu terasa untuk mereka yang akrab dengan komunitas kaki Bawakaraeng. Simbol-simbol dari pengalaman lahir batin yang bertambah dari waktu ke waktu menjadi pengantar untuk semua proses yang terjadi.<br />
Maka dipilihlah kata itu, <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2013/05/lembanna-sebagai-buletin-literasi.html">Lembanna</a>, dengan tagline 'alam dalam ekspresi' yang juga menguatkan akan harapan di dalam menangkap makna dari setiap simbol yang terungkap. Menerjemahkan ekspresi alam, sebagai kesatuan ekosistim yang utuh, setidaknya menjadi tanggung jawab mereka yang menyandangkan label pencinta alam di pundaknya. Bagaimana kabut, lolong anjing, desah daun pinus, ataupun beningnya embun di pucuk daun bawang, selain mengantarkan keteduhan untuk gejolak di dalam jiwa, juga akan mengantarkan kebijakan bila diekspresikan dengan penjabaran literasi yang memadai.<br />
Dan buletin itu, Buletin <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2013/05/lembanna-sebagai-buletin-literasi.html">Lembanna</a> adalah wadah yang dilahirkan untuk menampung luapan sarat makna dari setiap simbol yang muncul, setiap metafora yang dijumpai, di sepanjang langkah kaki menuju Butta Toayya. Ekspresi alam yang digambarkan dalam bentuk baris-baris kalimat oleh para akademisi, para ilmuwan, para intelektual yang menempa diri di Korpala. Ekspresi yang begitu sayang bila hanya dibiarkan menguap begitu saja bersama semakin samarnya kumpulan memori di kepala mereka.<br />
Mengisi lembar demi lembar buletin itu, tidak akan pernah terasa sebagai beban, apalagi sekadar sebagai pemenuhan kewajiban akan amanah rapat kerja pengurus. Setiap baris di dalamnya, merupakan luapan imajinasi intelektual, sebagai penegas untuk setiap buah perenungan yang melimpah. Karenanya, menerbitkan buletin itu lebih kepada sebagai wadah untuk mengekalkan mutiara-mutiara pemikiran para pencinta alam itu, ketimbang sebagai suatu kewajiban belaka yang menjadi beban tersembunyi bagi individu yang sedang aktif mengurus organisasi.<br />
Di era teknologi komunikasi yang semakin canggih sekarang ini, tidak ketinggalan, buletin Lembanna bermetamorfosa ke format online. Bila di awal kelahirannya di tahun 1990 banyak keruwetan yang mengiringi setiap edisi penerbitan, maka itu semua sudah tersisihkan. Bahkan interaksi yang intens dari pembaca bisa dilakukan dengan segera, cepat. Metamorfosa yang sebenarnya tidak pernah terbayangkan sebelumnya, ketika merancang kelahiran buletin itu. Mengabadikan setiap ekspresi alam menjadi begitu mudah, semudah mengedipkan mata ketika kelilipan. Gambar foto dan frasa-frasa sarat makna ataupun sekadar narasi pendukung narsisme, dengan segera bisa dibagikan. Wadah itu semakin luas dan lapang untuk setiap ekspresi yang lahir.<br />
Sungguh suatu anugrah yang luar biasa, bisa menyaksikan sekaligus mengawal proses metamorfosa itu.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="color: #cc0000;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-uXqnw3QHes0/UeT6Q6K7rMI/AAAAAAAABTE/hi2Q-lzMPKE/s1600/lembanna-buletin.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="257" src="https://4.bp.blogspot.com/-uXqnw3QHes0/UeT6Q6K7rMI/AAAAAAAABTE/hi2Q-lzMPKE/s400/lembanna-buletin.jpg" width="400" /></a></span></div>
Berikut copy paste dari beberapa edisi Salam Rimba, yang merupakan pengantar dari setiap edisi buletin <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2013/05/lembanna-sebagai-buletin-literasi.html">Lembanna</a>.<br />
<div style="text-align: left;">
<span style="color: #cc0000;"><i>Salam Rimba edisi 001 hardcopy, Maret 1990, diposting ulang dalam bentuk online edisi 05-12 Juli 2012.</i></span></div>
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Ekspresi alam..</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>tak hanya ketika sebuah pohon membunuh dahannya,</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>atau ketika rusa memaafkan harimau.</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i><br /></i></span></span>
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Ekspresi alam merupakan ucapan alam</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>dalam berbagai tanda dan bentuk</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>orang-orang mesti menggunakan dan mengasah</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>kepekaan dalam menangkap seluruh tanda</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>dan bentuk tadi</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i><br /></i></span></span>
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Alam dalam ekspresi adalah keinginan kekuatan</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>kami dalam melukiskan pernyataan alam.</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Kita punya bakat dan kewajiban untuk mencintai alam,</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>alam dimana kita bernafas,</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>alam semesta alam.</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i><br /></i></span></span>
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>Buletin Lembanna hadir sebagai rangkaian kata</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>untuk mewujudkan segenap gejolak kehidupan</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>yang sempat terangkum di dalam lingkup rasa setiap kita..</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>ruang, materi dan waktu menjadi limitasi penggurat rasa</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>untuk setiap pengalaman bercinta dengan alam</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>sehingga sempat dan tidak sempat, menjadi bias</i></span></span><br />
<span style="color: #351c75;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><i>untuk berbagi ekspresi alam kepada sesama..</i></span></span><br />
<br />
<span style="color: #cc0000;"><i>Salam Rimba 01-13 edisi online</i> </span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;">Siklon tropis Narelle bergerak menjauhi Indonesia, namun sisa
kibasan ekornya justru meninggalkan cemas. Banjir yang bisa meluap
setiap saat, lalu beliung yang garing mengintai siap menerkam. Fenomena
yang sebenarnya sudah predictable oleh para ahli cuaca, namun tidak ada
justifikasi layak untuk yang awam. Resiko yang selayaknya harus
ditanggung karena menghangatnya bumi, kata para 'pengkhawatir' kondisi
lingkungan. Namun merupakan hukuman dan ancaman peringatan bagi para
penganut skeptic orthodoc.</span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;"> Sudut pandang yang beragam, menafsirkan kesimpulan yang juga
beragam. Seperti ketika Januari ini menyapa denyut kehidupan yang
hangat, dimana dua tahun yang lalu Lembanna edisi digital ini hadir.
Kehadiran yang sejatinya memberikan makna, penafsiran dan pastinya
prediksi-prediksi masa depan, sesuai dengan lingkup karakter kita
masing-masing. Kehadiran yang mungkin saja sangat diharapkan, sekaligus
di sisi lain menjadi sangat ingin dihindari. Kehadiran yang bisa saja
menjadi media metamorfosis memuliakan jiwa, atau malah justru menjadi
bahan baku mengkristalnya dengki di dalam sak wasangka kerdil
oportunisme.</span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;"> Bila dua tahun adalah bilangan yang sedikit, maka dua puluh empat
bulan rupanya tidak terlalu sederhana untuk suatu rutinitas. Bila
merayakan suatu perulangan biasanya sebagai ungkapan syukur untuk suatu
capaian usia tertentu, maka senyapnya semadi mungkin adalah ungkapan
paling bersahaja dalam perenungan para pertapa.</span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;"> <i>Ketika kabut tipis menyapa lembanna dengan sahaja,</i></span></span><br />
<i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;"> di sana hanya ada ungkapan cinta yang ditebar.</span></span></i><br />
<i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;"> Bila kristal iri dalam hipokrisi merinding menggigil di dalam dingin,</span></span></i><br />
<i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;"> cinta kabut pada Lembanna adalah cinta yang abadi.</span></span></i><br />
<i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;"> Ketika bilangan usia harus berulang di dalam senyap,</span></span></i><br />
<i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;"> semoga hening itu adalah refleksi bijak para pelintas.</span></span></i><br />
<i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;"> Di tanah harapan esok hari, dengki, oportunisme dan hipokrisi</span></span></i><br />
<i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;"> bukanlah jimat mujarab untuk mengalahkan cinta yang tulus.</span></span></i><br />
<i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #274e13;"> Dan di tanah datar itu, Lembanna, kabut tipis penuh cinta.</span></span></i><br />
<br />
<span style="color: #cc0000;"><i>Salam Rimba 02-13 edisi online </i></span> <br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #783f04;"><i>Ada coklat di dalam bingkisan, ada bunga dan kartu-kartu harvest
untuk ungkapan di saat-saat cinta menghangat. Setumpuk ekspresi,
setumpuk simbol untuk mengaburkan kelemahan menyampaikan cinta apa
adanya. Dengan simbol-simbol, ada ruang untuk membetulkan makna, ada
ruang untuk berkelit dan ada waktu untuk bersiaga.</i></span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #783f04;"><i> Bisa jadi setiap simbol adalah pewakilan yang mutlak, pun bisa
adalah pewakilan yang samar. Lalu setiap makna akan kembali ke dalam
niat yang menyampaikan. Niat yang hanya diketahui pasti oleh pemiliknya,
dan juga katanya oleh Tuhan. Dari sisi itulah, manakar niat menjadi
domain yang sangat privat.</i></span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #783f04;"><i> Tetapi setiap ungkapan cinta itu adalah cermin kejiwaan para
pencinta. Ada jiwa yang romantis, ada yang anarkis. Banyak yang
oportunis, tidak sedikit yang hipokrit. Lalu ada cinta ala kadarnya, ada
cinta yang paranoid. Seperti thesa Alexis Carrel, keragaman manusia
sebanyak bilangan individu yang ada. Mungkin itulah mengapa setiap sidik
jadi adalah unik, dan itulah mengapa setiap tatapan mata adalah
spesifik.</i></span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #783f04;"><i> Lalu setiap individu bisa mengklaim diri sebagai pencinta alam,
seperti klaim dasar hak hidup setiap manusia. Setiap hidup manusia
adalah haknya, lalu mencintai adalah hak mutlak setelahnya, bagaimanapun
cara mengekspresikannya.</i></span></span><br />
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="color: #783f04;"><i> Cinta itu diekspresikan, kepada alam, dan kita adalah manusia.</i></span></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-XGf_07w2pos/T6tcfkUVqBI/AAAAAAAAAfU/OPPVkSAZ-uY/s320/buletinLembanna2ed2a.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://4.bp.blogspot.com/-XGf_07w2pos/T6tcfkUVqBI/AAAAAAAAAfU/OPPVkSAZ-uY/s320/buletinLembanna2ed2a.jpg" /></a></div>
dan ekspresi alam lainnya bisa dinikmati dengan lebih bersahaja dengan mengunjungi blognya.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="149" src="https://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" width="200" /></a></div>
Hero Fitriantohttp://www.blogger.com/profile/07789893447778532308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1331931303660269796.post-88148920966153379242012-02-28T19:10:00.002+08:002016-05-10T01:50:35.803+08:00Lembanna Jadul, Lembanna Kini Sepertinya gambaran yang ada ini tidak bisa secara umum layak dikatakan mewakili kondisi <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2012/02/lembanna-jadul-lembanna-kini.html">Lembanna</a> yang sebenarnya. Sisi subyektif yang terlalu kental tentu saja tidak pas untuk bisa dijadikan sebagai tolak ukur menggeneralisir apa yang terasa. Nah penggalan gambar-gambar berikut hanya untuk sebagai pembanding kenampakan itu.<br />
Akhir dekade 80-an, mengunjungi <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2012/02/lembanna-jadul-lembanna-kini.html">Lembanna</a> selalu menjadi pilihan, entah dilakukan secara sadar ataupun tidak. Menemui 'keluarga' yang bermukim di sana, selalu memberikan rasa hangat di dalam relasi yang tercipta. Bahkan kehangatan yang didapatkan mungkin saja jauh lebih terasa dibanding mengunjungi keluarga yang sesungguhnya di kampung masing-masing.<br />
Aura mistik tentu saja begitu kental terasa. Berada di perkampungan tanpa listrik, tanpa sarana memadai untuk ukuran kehidupan orang kota, bahkan tanpa sarana mck. Namun disitulah daya tariknya. Apalagi hangatnya obrolan tentang kearifan-kearifan yang dianut masyarakatnya, yang kadang dilakukan sambil berselimut sarung di depan dapur.<br />
Di depan dapur tentu saja selalu memberi pancaran hangat. Dari situlah bara dari kayu yang terbakar itu memancar. Air yang telah dijerang lalu berubah menjadi kopi yang hangat. Yang selanjutnya bara itu mematangkan kentang, atau panganan lainnya.<br />
<div style="text-align: center;">
<a href="http://2.bp.blogspot.com/-zX0P7jK47_Y/T0yfmmFkR1I/AAAAAAAAAks/5a4GIMw7heA/s1600/SAVE0040a.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="271" src="https://2.bp.blogspot.com/-zX0P7jK47_Y/T0yfmmFkR1I/AAAAAAAAAks/5a4GIMw7heA/s400/SAVE0040a.jpg" width="400" /></a><i style="color: #660000;"> </i></div>
<div style="text-align: center;">
<i style="color: #660000;">Desember 1990 dalam cuaca yang cukup dingin dengan kabut tipis yang hampir setiap saat menyelimuti <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2012/02/lembanna-jadul-lembanna-kini.html">Lembanna</a>. Tampak depan rumah Daeng Supu' yang selalu menjadi 'markas' untuk setiap kegiatan Korpala di sekitar Gunung Bawakaraeng.</i></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
Denyut kehidupan berjalan lambat. Tidak ada 'deadline' atau
tenggat yang begitu mencekam. Semua berputar bersama kondisi alam, apa
adanya. Air kebutuhan sehari-hari yang sampai ke rumah, yang mengalir
dari gunung, mengalir dengan tenang hingga ke pancuran bambu. Hanya
kadang menjadi keruh ketika hujan turun. Karena tidak ada listrik,
praktis tidak ada petugas PLN yang menjadi momok untuk suatu kewajiban
rutin.<br />
Bahu membahu, pengunjung dan keluarga di <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2012/02/lembanna-jadul-lembanna-kini.html">Lembanna</a>
menyiapkan kelangsungan hidup. Sebelum menuju <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2012/02/lembanna-jadul-lembanna-kini.html">Lembanna</a>, dari kota kita
akan berfikir untuk melengkapi kebutuhan yang urgen di sana. Mulai dari
mencari 'sumbu lampu' untuk pelita, sampai mengusahakan obat-obatan
praktis untuk membantu kesehatan 'keluarga' yang sebentar lagi akan
ditemui.<span style="color: black;"> Tidak jarang ikut menyediakan perlengkapan mengolah kebun, pupuk bahkan nanti turut serta di dalam proses pengolahan lahan yang ada. </span><i style="color: #660000;"><br /></i><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-FrLliIjDudg/T0yhMg-EnAI/AAAAAAAAAk0/hNTTmEWH3Yk/s1600/SAVE0039c.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="268" src="https://4.bp.blogspot.com/-FrLliIjDudg/T0yhMg-EnAI/AAAAAAAAAk0/hNTTmEWH3Yk/s400/SAVE0039c.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<i style="color: #660000;">Di bagian dalam rumah dengan kondisi yang begitu sederhana. Kelambu tempat tidur yang merangkap sebagai dinding sekat tempat menerima tamu. Di dalam gambar ada bapak Kahar Idu PR-3 Unhas dan Nyonya, untuk kunjungan resmi sehubungan dengan kegiatan Penghijauan Kaki Gunung Bawakaraeng yang dimotori oleh Korpala.</i></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Lalu sampailah di hari-hari sekarang, ketika kita berkunjung ke Lembanna, tetapi kita <b>tidak mengunjungi keluarga</b> lagi. Hanya merupakan suatu kewajiban saja sehingga kita masih mampir ke sana. Itupun selalu membawa pulang ungkapan kesal, sambil bersungut-sungut mencibir kondisi masyarakat yang sudah tidak seperti yang diharapkan. </div>
<div style="text-align: left;">
Harapan yang rasanya kurang rasional. Mengharap mendapat perlakuan seperti yang telah kita alami di era 80-an itu, namun tidak melakukan seperti apa yang pengunjung lakukan di masa itu. Padahal kita masih bisa dan sangat layak bila mengunjungi keluarga dengan sikap dan rasa seperti kerabat hendak bertemu keluarga, di dalam silaturahmi penuh cinta. </div>
<div style="text-align: left;">
Beberapa hal yang terlewati untuk kita cermati adalah, di hari-hari ini sudah begitu banyak kewajiban yang ditanggung oleh masyarakat <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2012/02/lembanna-jadul-lembanna-kini.html">Lembanna</a>, yang tentu saja mempunyai deadline. Katakan saja kewajiban membayar rekening listrik, juga kewajiban pembiayaan untuk perawatan saluran air ke rumah-rumah. Belum lagi kebutuhan untuk ber-'halo-halo'. Sesuatu yang tidak ada di waktu dulu. Belum lagi perkembangan kehidupan sekarang mengharuskan mereka untuk menggunakan 'liquid cash' dengan segera. </div>
<div style="text-align: left;">
Untuk memasak nasi dan lauk, sudah menggunakan gas dan listrik, bukan kayu bakar yang dikumpul dari hutan seperti dulu. Lalu ada televisi yang mengantarkan kemajuan dan pola hidup, tentu saja dengan sikap hidup materialistis di dalam tayangannya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-mYOjm2bRcPA/T0ytrM1lj6I/AAAAAAAAAk8/hl-wUmaPJKI/s1600/IMG-20120115-00172b.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://4.bp.blogspot.com/-mYOjm2bRcPA/T0ytrM1lj6I/AAAAAAAAAk8/hl-wUmaPJKI/s400/IMG-20120115-00172b.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<i style="color: #660000;"> beginilah tampak depan rumah Mama' (Januari 2012). Di bahagian dalam dengan dapur yang bagus, mck yang sangat baik. Tidak ada lagi teriakan histeris ketika pintu belakang terbuka lalu udara dingin menyeruak mengusik kehangatan, ketika seseorang hendak melakukan 'sesuatu' di pancuran belakang. Di ruang tamu tentu saja sudah dilengkapi dengan sofa-sofa yang empuk dengan alas karpet di bawah sehingga kaki tidak perlu menjadi dingin. </i></div>
<div style="text-align: center;">
<i style="color: #660000;">Masih di area dapur, tetap ada perapian dan 'sedikit' tumpukan kayu bakar, bila ada yang rindu untuk sekadar 'bakar-bakar' atau 'hangat-hangat' di depan tungku.</i></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Lalu, masih adakah kerabat yang akan mengunjungi 'keluarga' di <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2012/02/lembanna-jadul-lembanna-kini.html">Lembanna</a>, untuk berbagi rasa di dalam hangatnya silaturahmi.?<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="149" src="https://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" width="200" /></a></div>
</div>
Hero Fitriantohttp://www.blogger.com/profile/07789893447778532308noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-1331931303660269796.post-78317996746506261432011-03-15T03:26:00.012+08:002016-05-10T01:48:18.574+08:00Ke Lembanna Tidak ada yang istimewa bila menyebut <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">lembanna</a> di hari ini. Tempat yang sudah begitu lazim dan lumrah, entah sebagai kata yang sekadar mampir di telinga ataupun sebagai tempat yang terlalu sering dikunjungi. Tentu saja dikunjungi dengan maksud yang beragam. Dan tidak terkecuali kita-kita yang di Korpala Unhas melazimkan <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">lembanna </a>dalam suatu rutinitas organisasi.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-CXmxkPTWKH4/TfIfbQq2cSI/AAAAAAAAANI/CJ51kgrKszI/s1600/lembanna-pagi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://3.bp.blogspot.com/-CXmxkPTWKH4/TfIfbQq2cSI/AAAAAAAAANI/CJ51kgrKszI/s400/lembanna-pagi.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="color: blue;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size: x-small;">Gunung BawakaraEng nampak tegar di belakang sana. Jalan lingkar <span style="color: #444444;"><a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">Lembanna</a></span> yang sudah di aspal mulus, menjauhkan kaki dari paparan debu. (foto:panoramio.com)</span></span></span></div>
<br />
Begitu ramai, hiruk pikuk oleh para pengunjung, <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">Lembanna</a> hari ini tentu saja sudah sangat jauh berbeda dibandingkan dua puluh tahun yang lalu. Banyak nilai dari kearifan lokal yang kemudian bergeser oleh kemajuan pembangunan, kemajuan kesejahteraan secara ekonomi dan tentu saja dengan menyerap sentuhan-sentuhan kebiasaan dari para pendatang. Bisa dikatakan, evolusi kebudayaan dan kemanusiaan bergulir begitu alamiah.<br />
Dari kelaziman sehari-hari itulah, kemudian tidak banyak lagi yang memperhatikan fungsi semula <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">Lembanna</a> yang merupakan salah satu gerbang menuju 'ButtaToa', sebutan lain untuk Bawakaraeng. Salah satu gerbang yang istimewa, dinamai Lembanna karena fungsinya sebagai tempat 'peralihan'. 'Lembang' yang di dalam Bahasa Makassar berarti beralih, menyeberang atau transformasi.<br />
Ke <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">Lembanna</a>, adalah menuju gerbang untuk mencapai 'ButtaToa'. Di <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">Lembanna</a>, para 'Pelintas' mempersiapkan diri lahir dan batin. Fisik yang tangguh jelas untuk mengarungi tantangan alam Bawakaraeng. Batin yang terasah dan mumpuni, dipersiapkan sesuai tujuan yang hendak dicapai di Butta Toa. Tentu saja, persiapan batin menjadi begitu bervariasi, mengingat begitu beragam maksud dan tujuan 'orang-orang jaman dulu' yang hendak menyambangi Bawakaraeng.<br />
Dan di Lembanna, segalanya dipersiapkan. Kita akan dengan mudah menjumpai mereka-mereka yang dapat menunjukkan persiapan apa saja untuk mendukung kepentingan para pelintas. Tentu dengan segala kerahasiaan yang terjaga sebagai bagian dari kearifan budaya masyarakat Lembanna. Ada persiapan untuk beribadah, ada persiapan untuk siarah ke makam Wali, ada persiapan untuk menuntut ilmu kanuragan dan kesaktian, dan masih banyak tujuan-tujuan lainnya. Di sinilah terjadi transformasi pada diri para pelintas, untuk bisa merendahkan hati, menanggalkan segala pantangan demi mencapai tujuan. Transformasi yang didukung dengan penuh keikhlasan oleh masyarakat <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">Lembanna</a>.<br />
Setelah semua persiapan dirasa cukup, para pelintas akan dilepas untuk mengarungi sendiri peruntungan sesuai tujuannya. Banyak yang berhasil sesuai harapan, juga tentu saja banyak yang gagal tanpa pernah sampai ke sasaran. Apapun hasil yang dicapai sepenuhnya adalah hasil jerih payah para pelintas. <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">Lembanna</a> tetap seperti sediakala, sebagai gerbang awal menggapai cita-cita di Butta Toa. Tidak ada jaminan keberhasilan dari <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">Lembanna</a> dan masyarakatnya. Di sana hanya ada media dan petunjuk, sementara hasil akhir tetap harus diperjuangkan sendiri.<br />
Inilah <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">Lembanna</a>, gerbang yang sama yang digunakan Korpala Unhas dalam prosesi akhir rangkaian pendidikan dasarnya. Sarat makna yang simbolis di dalam proses transformasi setiap pribadi di Korpala.<br />
Jadi, mari kita ke <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-02.html">Lembanna</a>.<br />
<div style="color: #990000; text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i>untuk semua saudaraku tercinta</i></span></div>
<div style="color: #990000; text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i>di Korpala Unhas yang telah memperkaya</i></span></div>
<div style="color: #990000; text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><i> khasanah cinta di dalam batin saya</i></span><br />
<div style="text-align: left;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-sK5CvgpdOrk/TfIn0Ait0JI/AAAAAAAAANM/OtaBTClYRwY/s1600/lembanna.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://3.bp.blogspot.com/-sK5CvgpdOrk/TfIn0Ait0JI/AAAAAAAAANM/OtaBTClYRwY/s400/lembanna.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: x-small;"><span style="color: #0c343d;"><span style="font-size: small;"> <span style="font-size: x-small;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: blue;">Sisi lain Lembanna. Rumah-rumah yang senakin indah, seiring perkembangan kondisi ekonomi penduduk Lembanna yang semakin baik. Jaringan listrik dari PLN, mensuplai energi untuk geliat informasi yang tidak terbatas...(foto:panoramio.com) </span></span></span></span></span></span></div>
<span style="font-size: x-small;"><span style="color: #0c343d;"><span style="font-size: small;">Tulisan ini juga di posting</span></span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: x-small;"><span style="color: #0c343d;"><span style="font-size: small;">di <a href="http://k-uh0d.blogspot.com/2011/02/contour-02-11.html" target="_blank">Buletin Lembanna</a> Korpala Unhas </span></span></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: x-small;"><span style="color: #0c343d;"><span style="font-size: small;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="149" src="https://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" width="200" /></a></span></span></span></div>
<span style="font-size: x-small;"><i> </i></span></div>
</div>
Hero Fitriantohttp://www.blogger.com/profile/07789893447778532308noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1331931303660269796.post-63874798866328817942011-03-15T03:26:00.003+08:002016-05-10T01:47:49.670+08:00Tamu Mengenang dekade akhir 80-an, mengunjungi <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-03.html">Lembanna</a> bukan hanya
sekadar untuk mendaki ke Bawakaraeng. Ada getar tersendiri di dalam
batin, ketika kebersahajaan penduduk menyambut kita para 'tamu' yang
mampir sebelum mendaki. Penerimaan yang tulus, menyambut dengan hangat
dalam keramahan yang ikhlas tidak dibuat-buat kepada para tamu yang beberapa
diantaranya sudah dikenal baik, setengah kenal bahkan sebahagian besar
yang baru berjumpa.<br />
Tidak peduli, apakah tetamu itu orang baik-baik, orang bermartabat
atau rakyat kebanyakan, atau mungkin ada yang pelaku tindak kriminal,
semuanya mendapat perlakuan yang sama. Hanya alur kalimat yang sedikit
membedakan, bagi mereka yang sudah sering berkunjung ke sana, ditimpali
candaan ala kadarnya khas masyarakat pedesaan, dibandingkan dengan
mereka yang baru dikenal. Namun itu tidak berlangsung lama, karena
keakraban itu akan segera muncul yang segera menjadi kental ketika kaki
sudah menjejak ke dalam rumah.<br />
Kopi yang tersaji adalah hasil proses rebusan air menggunakan kayu
bakar. Belum ada listrik sama sekali sehingga untuk mendengarkan siaran
radio saja, menggunakan baterai yang telah dijemur berkali-kali dan
sudah penyok-penyok digebuk demi mengeksporasi sisa-sisa tenaganya.
Lantai rumah yang sebagian tanah dan sebagian lainnya tertutup papan
yang sudah termakan rayap di beberapa tempat, menjadi penyangga
kehangatan antara tuan rumah dan tetamu yang mampir.<br />
Ketika sampai saatnya meninggalkan <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2011/03/uh-03.html">Lembana</a>, tuan rumah akan
mengantar dan melepaskan kepergian tetamu dengan berat hati. Banyak
pesan agar hati-hati di perjalanan pulang, sambil menitipkan tentengan
ala kadarnya hasil dari halaman belakang untuk oleh-oleh orang di kota
nanti. Itupun kadang masih desertai rengekan agar tetamu masih mau
tinggal lebih lama.<br />
Ah.. manusia itu menemukan kedamaiannya ketika berinteraksi dengan sesama manusia..<br />
Di hari-hari belakangan ini, Korpala juga disesaki oleh tetamu,
yang bukan hanya tamu domestik tetapi juga tamu mancanegara. Dan belajar
dari kearifan lokal yang diwariskan melalui rentang waktu yang tidak
sedikit, menjadi kebanggaan tersendiri ketika kita mampu 'melayani'
dengan baik, tulus dan ikhlas. tetamu yang sempat mampir ke Korpala.
Menjadi tuan rumah yang begitu manusiawi, telah mengetuk sisi nurani
kemanusiaan para tetamu, yang mungkin telah lama tidak mereka rasakan.
Sisi paling primitif dan paling sering terlupakan atau mungkin tidak
sempat muncul di keseharian tetamu kita, adalah 'rasa kesadaran sebagai
manusia' yang tak sanggup terlukiskan dengan kata-kata, ketika orang
diperlakukan sebagai manusia oleh manusia lainnya.<br />
<br />
Salam hangat dari D4,.. :)<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://2.bp.blogspot.com/-bI_c9xzoSig/Tq5-ci0SatI/AAAAAAAAASE/mDywDG22KO0/s320/174002.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://2.bp.blogspot.com/-bI_c9xzoSig/Tq5-ci0SatI/AAAAAAAAASE/mDywDG22KO0/s320/174002.jpg" /></a></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="149" src="https://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" width="200" /></a></div>
Hero Fitriantohttp://www.blogger.com/profile/07789893447778532308noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1331931303660269796.post-48505021759542236672012-12-16T16:44:00.000+08:002016-05-10T01:27:15.272+08:00pucuk di ladang bawang<span style="color: blue;"><i>di puncak-puncak tinggi itu<br />cinta memahat harap dan kecemasan<br />menggelitik adrenalin yang lena<br />berpacu menuju limit<br /><br />di kabut tipis yang melayang rendah<br />sebaris, sebait lalu selaksa janji terserak liar<br />membelai lembut setiap <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2012/12/pucuk-di-ladang-bawang.html">pucuk di ladang bawang</a><br />untuk sang kabut atau sang janji<br />setiap harap dan cemas itu<br /><br />di sejengkal pijakan yang lebih tinggi itu<br />tidak ada pilihan untuk menjadi munafik<br />meski sehembus nafas itu hanya debu kosmik<br />namun masih terlalu mulia untuk bertahan<br />demi sekadar sepotong oportunisme<br />di dalam lakon syahwat egoisme<br /><br />di sini<br />dari telapak yang jejaknya hampir selalu samar<br />hanya sekeping cinta yang selalu menyertai<br />menyapa alam<br />untuk metamorfosa menuju gerbang-Nya<br />adakah cinta itu masih cinta yang layak<br />untuk dia yang maha tercinta<br /><br />di tanah lembanna<br />setiap <a href="http://herofitrianto.blogspot.com/2012/12/pucuk-di-ladang-bawang.html">pucuk di ladang bawang</a> itu<br />adalah cintaNya</i></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-pXgYe_UUlTw/UNwMRTJmnRI/AAAAAAAAA20/2FAgi0wp0PU/s1600/annapurna-sunrise-nepal_51190_600x450-Colman-Li-NG.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="225" src="https://3.bp.blogspot.com/-pXgYe_UUlTw/UNwMRTJmnRI/AAAAAAAAA20/2FAgi0wp0PU/s400/annapurna-sunrise-nepal_51190_600x450-Colman-Li-NG.jpg" title=" " width="400" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: x-small;"><span style="color: #666666;"><i>photo : sunrire at Annapurna by Colman Li published National Geographi</i></span></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: x-small;"><span style="color: #666666;"><i> </i></span></span><a href="http://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="149" src="https://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s200/waterMblog-2.png" title="" width="200" /></a></div>
</div>
Hero Fitriantohttp://www.blogger.com/profile/07789893447778532308noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1331931303660269796.post-62825680749422489572011-12-17T15:01:00.002+08:002016-05-10T01:22:16.864+08:00Menghadang Realita Kabut tipis mengambang di permukaan tanah, menyelimuti Lembanna. Hujan baru saja reda, saat menjelang magrib ketika aku melangkah di atas tanah basah menuju rumah Mama'. Rumah yang selalu bersahaja oleh keramahan perempuan tua penghuninya, adalah rumah yang selalu kutuju sebagai 'base camp' bila akan mendaki ke Gunung Bawakaraeng. Namun kedatanganku kali ini sama sekali bukan untuk naik gunung.<br />
Sesampai di rumah Mama', perempuan tua itu segera menyambutku. Hanya kali ini, tidak seperti biasanya. Mama' yang biasanya mengumbar senyum, sekarang kelihatan cemas meski berusaha untuk tetap terlihat tenang. Tapi setidaknya, kehadiranku membuatnya sedikit lega.<br />
"Sudah tiga hari kau kutunggu. Tapi kenapa baru datang sekarang?" Mama membuka percakapan saat menyuguhkan kopi panas ke hadapanku.<br />
"Saya sibuk Ma'" jawabku pendek.<br />
"Tapi ini bukan persoalan gampang. Kau sudah kuanggap seperti anak sendiri. Saya sayang sekali kepadamu. Jadi kalau ada persoalan yang menyangkut keselamatanmu, saya tidak bisa tinggal diam dan membiarkanmu menderita sendirian. Saya tidak bisa!"<br />
Aku hanya menunduk, tanpa berusaha membantah sedikitpun. Ini memang kesalahan saya. Tiga hari yang lalu Mama' menghubungiku dengan kekuatan batinnya, menyuruhku untuk segera ke Lembanna. Tapi kegiatan perkuliahanku terlalu padat sehingga tidak bisa segera memenuhi panggilan itu. Lagipula, aku tidak tahu ada persoalan apa yang menyangkut diriku sehingga Mama' begitu menghendaki aku segera datang ke Lembanna.<br />
Aku tetap duduk diam tanpa bertanya. Padahal di dalam hati aku sudah sangat ingin untuk mengetahui persoalannya. Mama' kemudian berdiri mendekati rak pakaian. Dia mengambil sesuatu, lalu kembali duduk di depanku.<br />
"Coba kau lihat, benda apa ini?" Mama bertanya sambil menyodorkan sesuatu ke tanganku. Sekarang rasa ingin tahuku sudah tak tertahan lagi. Segera kuraih benda yang diberikan Mama'.<br />
Rupanya benda itu adalah kain putih. Aku kemudian membentangkannya. Seketika aku terperanjat, namun aku berusaha sekuat tenaga untuk menahannya dan tidak memperlihatkan kepada Mama' rasa kaget itu. Kain itu itu berbentuk segiempat bujursangkar dengan panjang sisinya sekitar 50 cm. Terbuat dari katun yang biasa digunakan untuk membungkus mayat. Dan sejengkal dari salah satu sisinya nampak satu titik sebesar kepala ujung korek api, berwarna coklat kehitaman seperti warna darah yang telah mengering.<br />
"Dari mana kain ini Ma'?" tanyaku menyelidik.<br />
"Dari temanmu, sepuluh hari yang lalu." Mama' berhenti sejenak, sambil mengingat-ingat peristiwa yang akan diceritakan kepadaku. Sementara saya meneguk kopi di hadapanku.<br />
"Waktu itu, Ulo dan Ake berdua mendaki Bawakaraeng. Seperti biasanya mereka berpamitan kepadaku. Meski cuaca tidak terlalu baik, tapi tidak kulihat tanda-tanda yang buruk pada mereka. Apalagi saya pikir mereka sudah biasa naik. Jadi saya izinkan saja mereka mendaki. Jam delapan pagi mereka sudah sampai di puncak karena mereka berangkat tengah malam.Tidak ada yang bisa dilihat. Sekeliling puncak tertutup kabut. Ulo dan Ake tinggal di puncak beberapa saat, menunggu siapa tahu kabut akan menipis dan dapat menyaksikan pemandangan sekeliling, namun harapan itu tak kunjung tiba. Bahkan kabut menggulung semakin tebal dan mulai turun hujan rintik-rintik. Keduanya terpaksa memutuskan untuk turun.<br />
Menjelang pos delapan hujan semakin lebat. Mereka melangkah terus, hingga pos tujuhpun kemudian dilalui meski curahan hujan masih tetap lebat. Selanjutnya mereka berlari menyusuri lereng yang licin. Ake berlari di depan dan Ulo di belakang. Mereka berkejaran terus, hingga ketika mendekati pos lima, Ake berhenti berlari. Di antara deru hujan ia mendengar suara Ulo minta tolong di belakangnya. Ake berbalik lalu berlari ke atas lagi. Ternyata Ulo terpeleset dan tidak mampu untuk berdiri lagi. Lutut kanannya terantuk keras oleh batu yang menonjol runcing di tepi jalan. Ake kemudian berusaha menolong Ulo sedapat-dapatnya.<br />
Namun belum sempat ia berbuat banyak ketika dari arah atas muncul dua orang berjalan ke arah mereka. Seorang lelaki dan seorang perempuan. Mereka menegur Ake dan Ulo. Yang perempuan kemudian membantu memberi pertolongan kepada Ulo dengan mengikatkan syal putih yang melilit di lehernya. Sesaat kemudian Ulo sudah dapat berdiri dan berjalan lagi.<br />
Tetapi merka tidak sempat mengucapkan terima kasih karena kedua penolongnya itu telah mendahului berjalan menuju pos lima. Sepintas Ulo sempat heran, dari mana datangnya kedua orang itu. Sepanjang perjalanan mereka mendaki dan turun lagi, tidak menjumpai seorangpun pendaki lain di perjalanan.<br />
Tapi Ulo tidak melanjutkan rasa herannya. Dingin yang menusuk sampi ke tulang di antara lebatnya hujan, segera memacu mereka untuk bisa sampai ke rumah secepat mungkin.<br />
Mama' berhenti sejenak untuk melinting tembakau dan mengisapnya.<br />
"Hujan masih lebat ketika mereka sampai di rumah. Mereka segera berganti pakaian dengan pakaian kering. Ketika itulah saya melihat sesuatu yang aneh yang diletakkan Ulo. Kain putih pembalut lututnya adalah kain yang sekarang berada di tanganmu." Aku tersentak sambil mengangkat wajah menatap tajam ke arah Mama'. Aku bermaksud bertanya, tapi Mama' segera melanjutkan.<br />
"Saya mengenal kain itu. Kain pembawa bencana dari Bawakaraeng. Siapa saja yang mengenakannya akan mendapat kecelakaan yang gawat, bahkan bisa sampai mati!" Aku masih memandang tajam ke arah Mama'. Sementara Mama' mengisap beberapa kali sisa tembakau di tangannya. Banyak pertanyaan yang timbul di benakku.<br />
Kalau memang benar apa yang dikatakan Mama', lalu mengapa Ulo tidak cedera sedikitpun? Adapun saat dia terjatuh, waktu itu dia belum mendapat kain itu. Lagipula sekarang luka gores bekas terpeleset itu, sudah sembuh. Yang lebih janggal lagi, mengapa keselamatan saya yang dikuatirkan Mama'? Apa hubungannya kain itu dengan diriku?<br />
Sayup-sayup kudengar adzan Magrib dikumandangkan. Kuletakkan kain tadi di atas tikar, lalu bangkit ke belakang untuk berwudhu. Sementara Mama' menyalakan lentera, aku shalat magrib sendirian. Kebetulan anak dan menantu Mama' tidak berada di rumah. Jadi segala sesuatu harus dibereskan sendiri oleh Mama'.<br />
Selesai berdoa, aku merasa mendapat firasat jelek. Seakan ada awan hitam panas menggantung dekat dahiku. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera mempersiapkan diri. Setahap demi setahap, dengan kemurahan dan kasih sayang Allah, aku mengisi jalan darah dan persendianku dengan nama-nama Nya yang agung.<br />
Tepat ketika aku selesai dan menggulung kembali tikar yang sudah kupergunakan shalat, pintu depan diketuk orang. Mama' buru-buru mendekati pintu dan membukanya.<br />
"Assalamu alikum.."<br />
"Alaikum salam.." jawab Mama' singkat, lalu mempersilakan kedua tamu itu masuk. Setelah keduanya sudah melewati pintu, Mama' segera menutup pintu kembali. Mama' kemudian mengajak kedua tamu itu duduk di tikar berhadapan denganku.<br />
"Ini Daeng Bira', dan ini Daeng Kelo," Mama' memperkenalkan mereka kepadaku. Aku segera menjulurkan tangan untuk menjabat mereka berdua. Selanjutnya Mama' memperkenalkan diriku kepada mereka, sebagai orang yang telah dianggap sebagai anak sendiri.<br />
Mama' kemudian ke dapur menyiapkan kopi untuk tamu-tamunya. Aku sendiri merasa enggan untuk bercakap. Aku hanya diam sambil menimang-nimang dan meremas-remas kain putih yang tadi kuletakkan di sampingku. Pikiranu terus menerawang mencari hubungan peristiwa yang diceritakan Mama' dengan diriku.<br />
Sedang asyik membalik-balik kain di tangan, tiba-tiba tanpa sengaja saya memandang ke arah Daeng Bira'. Pandangan kami beradu. Selanjutnya kurasakan ada sesuatu yang aneh. Awan panas hitam yang tadi kurasakan sewaktu selesai shalat, kini kembali terasa di pelupuk mataku. Bersamaan dengan itu, kain di tanganku serasa berontak hendak melepaskan diri dari genggamanku. Aku kemudian tersadar akan firasatku tadi sewaktu baru selesai shalat.<br />
Segera kugenggam kain itu dengan semua kemampuan yang telah kupersiapkan tadi. Beberapa saat aku seperti tak sadarkan diri, hingga tiba-tiba terdengar suara kain koyak. Bersamaan dengan itu halilintar menggelegar dengan begitu kerasnya. Mama' yang sedang meletakkan gelas berisi kopi di hadapan tamu-tamunya, tersentak kaget. <br />
Sementara aku sendiri, merasa lega. Beban yang meronta di tanganku sudah menjadi enteng. Gelayutan awan hitam di pelupuk matakupun berangsur sirna. Aku menggenggam kain putih itu dengan tenang tanpa reaksi lagi.<br />
Kini aku mengangkat wajah dan memandang lagi ke arah Daeng Bira'. Dalam temaram cahaya lentera, jelas terlihat rasa sesal dan cemas yang mendalam di wajahnya. Aku terus memperhatikannya ketika ia meneguk kopi. Tidak sampai habis. Ia pun segera mengajak Daeng Kelo untuk berpamitan.<br />
Aku heran. Namun Mama' nampaknya membiarkan saja mereka berlalu tanpa menanyakan maksud kedatangan mereka.<br />
Setelah keduanya diantar Mama' keluar, Mama' kembali duduk di sebelahku. Dia menyodorkan sesuatu. Rupanya sehelai kain hitam yang telah terbakar sebahagian. Meski begitu, aku segera mengenali kain itu sebagai syal kepunyaanku.<br />
Pada syal itu telah kupaterikan namaku bersama wasiat warisan Nabi Sulaiman. Goresan tanganku masih nampak jelas. Hanya saja, bagian yang memuat namaku telah hangus terbakar. Tinggal goresan wasiatnya yang tersisa.<br />
"Bukankah Ulo yang membawasyalmu itu waktu naik ke Bawakaraeng dua minggu yang lalu?"<br />
"Betul Ma'" jawabku pendek.<br />
"Kekuatan yang ada pada syal milikmu itu yang telah menarik kain pembawa bencana itu untuk mengikutinya." Mama' menjelaskan. Aku hanya mengangguk-angguk.<br />
"Syal itu terbakar sewaktu dikeringkan oleh Ulo di dekat tungku. Barangkali kurang hati-hati. Padahal waktu itu hanya ada bara di atas tunggu," lanjut Mama'.<br />
"Apakah bukan karena pengaruh kain pembawa bencana itu Ma;?"<br />
"Mungkin juga begitu. Syal itu menyala begitu berada di dekat tungku, padahal kondisinya masih begitu basah. Menyala dan menghanguskan hanya di bagian goresan namamu." Aku mengangguk-angguk lagi. Sekarang aku bisa sedikit mengerti hubungannya dengan diriku, namun masalah intinya belum juga kutemukan.<br />
"Apakah kau tahu kedua orang tadi?"<br />
"Tidak Ma''jawabku ingin tahu.<br />
"Dia adalah perawat kain itu. Selain sebagai perawat dia juga sebagai perantara bila seseorang hendak menggunakan kekuatan pemilik kain itu di Bawakaraeng." Mama' berhenti sejenak untuk merapikan lintingan tembakau yang sementara disiapkannya.<br />
"Sudah beberapa hari ini mereka datang kepadaku untuk meminta kembali kain yang tidak sampai ke sasarannya itu. Tetapi saya tidak memberikannya. Saya ingin mereka meminta sendiri dari tanganmu." lanjut Mama' kemudian.<br />
"Apakah ada yang menyuruh mereka untuk mencelakakanku Ma'?" Tanyaku yang begitu penasaran.<br />
"Memang ada. Temanmu sendiri sesama pendaki. Hal ini kuketahui dari penjelasan Daeng Bira' sendiri waktu datang ke sini kemarin."<br />
"Lalu, mengapa tadi Daeng Bira' tidak meminta kain ini?" tanyaku masih penasaran.<br />
"Kain itu tidak bisa dipakai lagi, kaena telah kau rusakkan. Sebagai akibatnya, dia bersama orang yang menyuruhnya harus menanggung tuntutan dari pemilik kain itu di Bawakaraeng." Mama' menjelaskan.<br />
Rupanya tadi Daeng Bira' dan Daeng Kelo bermaksud mengambil kain itu dari tanganku dengan menggunakan kekuatan batinnya. Namun ternyata mereka gagal, bahkan sampai mengakibatkan kerusakan kain itu sendiri. Mama' kemudian mengambil lentera yang diletakkan di atas bangku, ke dekatku.<br />
"Sekarang coba kau periksa bagaimana keadaan kain itu." Aku segera membentangkannya. Rupanya telah koyak tepat membelah dua bintik coklat kehitaman tadi. Dan di ujung bawah robekannya ada cairan yang masih segar agak basah berwarna merah.<br />
"Apa ini Ma'? aku menunjuk ke arah cairan yang masih agak basah itu di ujung yang terkoyak. Mama' kemudian melihatnya lebih dekat ke arah lentera.<br />
"Darah.." jawab Mama' setengah berbisik.<br />
"Darah? Darah siapa Ma'?" tanyaku kaget dan penasaran.<br />
"Darah orang yang menyuruh Daeng Bira' yang telah mengalir di sini" Mama' menjelaskan.<br />
"Mengapa Mama' bisa begitu yakin?"<br />
"Memang begitulah biasanya resiko orang yang bermain-main dengan kekuatan hitam. Tunggulah dua tiga hari lagi, Daeng Bira' dan Daeng Kelo pun akan segera mendapat bagiannya sebagai tuntutan dari pemilik kain itu."<br />
Aku tercenung mendengar penjelasan Mama'. Dalam hati aku berdua semoga cukup di dunia ini saja orang-orang itu mendapatkan hukuman untuk perbuatannya, sehingga Allah tidak perlu mengazabnya lagi di hari kemudian nanti.<br />
Di luar gelap membungkus malam dengan rapat. Aku menghela nafas panjang dengan lega. Di dapur, Mama' sedang mempersiapkan piring dan panganan untuk makan malam kami berdua.<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><b style="color: #cc0000;"><i>(24</i></b><span style="color: #cc0000;"> </span><b style="color: #cc0000;"><i>desember 1990 - ketika kabut turun di Lembanna)</i></b></span><br />
<span style="font-size: x-small;"><span style="color: #cc0000;"><i><span style="color: #666666;">diterbitkan pertama kali dalam bentuk hardcopy</span></i></span></span><br />
<span style="font-size: x-small;"><span style="color: #cc0000;"><i><span style="color: #666666;">di bulletin Lembana Korpala Unhas edisi 002 thn 1990</span></i></span><b style="color: #cc0000;"><i><span style="color: #666666;"> </span> </i></b></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-1yOMtxY-IXU/TuxATGuAi9I/AAAAAAAAAV8/7Jp4pCZGjWE/s1600/Buttatoaya.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://1.bp.blogspot.com/-1yOMtxY-IXU/TuxATGuAi9I/AAAAAAAAAV8/7Jp4pCZGjWE/s1600/Buttatoaya.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
<i>also posted at <a href="http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2011/12/18/menghadang-realita/" style="color: black;" target="_blank">Kompasiana</a></i><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="149" src="https://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" width="200" /></a></div>
</div>
</div>
Hero Fitriantohttp://www.blogger.com/profile/07789893447778532308noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1331931303660269796.post-42144168398198210422011-03-08T02:20:00.002+08:002016-05-10T01:21:19.709+08:00Namaku Noni Perlahan aku melangkah turun meninggalkan Pos 6 Gunung Bawakaraeng. Aku tertinggal sendiri, sementara teman-temanku yang lain telah meninggalkan tempat ini sejam yang lalu. Mereka tidak perlu kuatir terhadapku, karena mereka tahu aku sudah mengenal dengan baik jalan turun ke Lembanna, dusun di kaki Bawakaraeng.<br />
Namun, kali ini aku merasa agak kurang beres dengan kondisi tubuhku. Sejak seminggu belakangan ini, aku selalu kurang tidur. Bahkan sejak meninggalkan Makassar menuju ke Lembanna, aku hanya sempat istirahat tidur selama dua jam.<br />
Pukul empat sore lewat sepuluh menit, sesuai arloji yang lengket di pergelanganku, dengan kepala berat, pusing dan ngantuk, aku berusaha tetap melangkah. Setengah lima, aku sampai di Pos 5.<br />
"Oh lelahnya..!" Aku memutuskan untuk istirahat lagi. Sayang di carrierku tidak ada lagi makanan yang tersisa. Aku meraba fieldples yang menggantung di pinggang lalu mengguncangnya sedikit. Masih ada air yang tersisa. Kulepaskan fieldples itu dari gantungannya di pinggang lalu meneguk air dari dalamnya, dan ih...dingin.<br />
Sesaat kemudian kuhamparkan matras lalu berbaring. Tidak lama, aku sudah terlelap.<br />
Hingga entah berapa lama, aku tersentak kaget. Aku merasa begitu dingin, dengan tubuh yang menggigil hebat. Sementara kepalaku masih terasa begitu berat dan pusing. Rupanya panas tubuhku banyak berkurang sementara aku tertidur tadi. Tetapi aku berusaha untuk dapat menguasai diri dan mencoba berfikir untuk melakukan yang terbaik demi menolong keadaanku.<br />
Aku masih terduduk di atas matras dan belum membuat keputusan apapun, ketika daun-daun di depanku tersibak. Dan seseorang muncul di sana. Hanya sekilas aku memandangnya lalu tidak memperdulikannya lagi. Tetapi berbeda dengan orang itu. Mungkin ia melihat mukaku yang pucat dengan sedikit kepanikan, sehingga ia singgah untuk menegurku. Dan ah, rupanya suara sapaan yang kudengar adalah suara seorang perempuan.<br />
Kamipun bercakap-cakap untuk beberapa saat. Ia menanyaiku dan aku menjawab sejujurnya mengenai kondisi tubuhku saat ini. Ia kemudian menawarkan diri untuk menolongku. Aku setuju-setuju saja.<br />
Terampil dan cepat sekali, ia mempersiapkan kompor parafin yang kubawa, lalu menjerang air yang tersisa dari dalama fieldplesku, ditambah air yang ia bawa sendiri. Sementara menunggu mendidih, ia membawa fieldples kosongku bersama botol airnya ke mata air yang ada di dekat pos lima ini untuk diisi kembali. Aku sendiri masih duduk menghadapi kompor parafin yang menyala, dengan harapan bisa mendapatkan sedikit kehangatan dari pancaran panasnya.<br />
Tidak lama ia sudah kembali dan mulai mempersiapkan dua bungkus mi instan dari dalam rimbagnya. Aku cuma mampu memandang semua yang dilakukannya tanpa bertanya atau berkomentar. Selanjutnya, aku mulai mengisi perut dengan mi instan panas itu. Ia juga ikut menyantap.<br />
Kurang seperempat jam enam sore, aku merasa kondisi tubuhku sudah agak baik. Kubenahi semua perlengkapanku, untuk meneruskan perjalanan pulang. Rupanya ia bermaksud mengantarku. Aku lagi-lagi setuju saja.<br />
Heran memang, aku yang biasanya banyak cakap, kali ini tiba-tiba seperti kehabisan kata-kata, padahal di depanku seorang perempuan yang parasnya cukup cantik - apalagi di gunung seperti ini, sedang beraksi membatu diriku yang tiba-tiba menjadi goblok bahkan untuk menolong diri sendiri. Tapi itulah keadaannya.<br />
Kami bersama menyusuri jalan setapak dengan perlahan. Dan ketika malam turun bersama gelap, aku mengeluarkan senter dari dalam carrierku. Ha.. rupanya ia tidak punya senter. Terpaksa kami berjalan menjadi semakin lambat, karena harus saling menunggu memanfaatkan satu senter. Sekali-sekali aku harus memegang tangannya agar ia tidak tergelincir di dalam gelap.<br />
Kami sampai di rumah pertama yang terpisah jauh dengan rumah-rumah lainnya di pinggir kampung Lembanna, ketika bulan mulai muncul. Teman perjalananku itu singgah di pancuran yang terletak di depan rumah, sambil menyarankan padaku untuk terus melanjutkan perjalanan sendiri. Rumah yang akan kutuju di mana teman-teman ku berkumpul, sudah tidak jauh. Ia sendiri akan singgah di rumah ini untuk menginap. Kali ini pun, tanpa banyak cakap aku menuruti saja semua yang disarankannya.<br />
Sesaat aku hendak pamit untuk meninggalkannya ketika aku teringat belum menanyakan siapa namanya. Oh..aku benar-benar goblok sekarang ini. Sambil tersenyum kecil, aku menghampiri dia yang masih berdiri di dekat pancuran bambu kecil. Lalu dengan semangat empat lima yang kubulat-bulatkan di dalam dada, aku bertanya siapa namanya. Sambil menyebutkan namaku sendiri, kulanjutkan dengan berbasa basi yang lain sambil pamitan untuk meneruskan langkahku.<br />
Ia mengangkat wajahnya memandangku lekat-lekat, sambil tersenyum. Dan ya Tuhan.. ia terlihat begitu cantik dalam siraman cahaya bulan yang baru muncul. Entah mengapa, ada getar aneh dari dalam diriku sehingga aku merasa ada yang kurang beres. Tapi aku tidak memperdulikan dan berusaha untuk tidak terbawa perasaan. Ia lalu mengulurkan tangan kearahku.<br />
Tanpa basa basi, tangan itu segera kusambar. Dingin sekali rasanya. Sementara angin dari hutan pinus sebelah Selatan, berhembus perlahan mengiringi lolong anjing yang berkepanjangan, membuat bulu tengkukku terasa dingin dan merinding.<br />
"Namaku Noni", suaranya bening, singkat sambil tersenyum. Aku balas senyumnya, selanjutnya aku tidak bertanya lagi, terus melangkah meninggalkan dia sendirian.<br />
Sejak malam itu, aku tidak pernah lagi berjumpa dengannya bila mendaki ke Bawakaraeng, atau sekadar mengunjungi kampung Lembanna. Namun setiap kali aku ke Lembanna, aku selalu berharap agar bisa bertemu dia lagi. Konyol memang, karena data yang aku punyai hanya namanya saja. Meski begitu aku tidak berputus asa. Aku berusaha menanyai setiap orang di Lembanna, tentu saja tentang dia, sambil menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi tidak ada yang bisa memberikan keterangan yang memuaskan.<br />
Suatu hari, kutemui orang tua pemilik pondok dengan pancuran bambu kecil di depannya, yang dulu kami singgahi dimana Noni bermaksud bermalam. Tetapi orang tua ini juga tidak memberi keterangan yang memadai. Nama Noni hanya dikenalnya beberapa tahun yang lalu, sebagai seorang gadis yang pernah menggemparkan kampung Lembanna. Gadis yang suka mendaki ke Bawakaraeng seorang diri itu, ditemukan meninggal, menggantung diri di dahan sebatang pohon di Pos 3 menuju Bawakaraeng.<br />
Hanya itu yang diketahui oleh orang tua ini. Dan sejak peristiwa heboh itu, ia tidak pernah lagi mendengar ada orang yang menggunakan nama Noni, yang singgah di rumahnya.<br />
Aku masih terus mencari dan mencari. Dengan bekal rasa yang gamang, aku berharap suatu hari nanti dapat menjumpai dia. Bukan apa-apa, aku ingin menyampaikan terimakasih untuk pertolongannya dulu. Terus terang, malam itu aku belum sempat berterimakasih kepadanya.<br />
<div style="color: #666666; text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><b><i>diterbitkan dalam bentuk hardcopy</i></b></span></div>
<div style="color: #666666; text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><b><i>pertama kali di buletin lembanna edisi 004</i></b></span></div>
<div style="color: #666666; text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><b><i>April 1991</i></b></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-19tgiImE6XE/Tui95rbVXJI/AAAAAAAAAVc/iRyX0_01tlg/s1600/55479.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="280" src="https://4.bp.blogspot.com/-19tgiImE6XE/Tui95rbVXJI/AAAAAAAAAVc/iRyX0_01tlg/s400/55479.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: x-small;"><b><i> foto Paramitha Rusady - tabloidnova.com</i></b></span><br />
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: x-small;"><span style="color: black; font-size: small;"><i>also linked to <a href="http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2011/12/18/menghadang-realita/" style="color: black;" target="_blank">Kompasiana</a></i></span></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="149" src="https://4.bp.blogspot.com/-Tg6VRfhJ2cM/Uc-oxbzspYI/AAAAAAAABQg/e874THJ-3X0/s254/waterMblog-2.png" width="200" /></a></div>
<span style="font-size: x-small;"><span style="color: black; font-size: small;"><i> </i></span><b><i> </i></b></span></div>
</div>
</div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: x-small;"><b><i> </i></b></span></div>
Hero Fitriantohttp://www.blogger.com/profile/07789893447778532308noreply@blogger.com0