Amanat Seorang Sahabat

     Ketika Tuhan menciptakan langit dan gunung, kepadanya ditanya, sanggupkah menyampaikan amanat..? Langit dan gunung tidak menjawab, tetapi ketika ditanyakan kepada manusia, maka manusia menyatakan sanggup.
     Dengan demikian jelaslah manusia mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menyampaikan amanat Tuhan di dunia ini. Sedang amanat sesama manusia pun bila tidak disampaikan adalah suatu dosa besar.
     Suatu ketika aku menerima suatu amanat dari salah seorang sahabatku, amanat yang sungguh sangat menekan perasaanku. Aku mempunyai seorang sahabat, sahabat yang paling akrab dan terbaik dari sahabat-sahabatku lainnya. Kami pernah tidur sebantal dan makan sepiring selama bergaul. Baginya apa yang menjadi miliknya adalah juga milikku, begitu pula sebaliknya.
     Ke mana bepergian kami jarang berpisah, kendati sahabatku, Darwin itu sudah mempunyai seorang anak dan seorang istri yang cantik. Aku yang masih hidup membujang sering tidur di rumah sahabatku itu dan makan di rumahnya. Sehingga aku sama sekali tidak mengira persahabatanku dengan Darwin yang begitu intim itu, pada suatu ketika terenggut dengan tiba-tiba.
     Peristiwa yang tidak diduga-duga telah merenggutkan nyawa Darwin. Ia mati dengan berlumuran darah. Pada suatu malam Darwin mengajakku menonton bioskop. Kami antre berjejal-jejal di muka loket membeli karcis. Kebetulan film yang diputar film Italia yang top. Sedang aku menyeruak di tengah-tengah manusia yang berjubel di depan loket, tiba-tiba dompet di kantung belakangku dirogoh pencopet. Aku yang merasakan rogohan itu cepat menangkap tangan si pencopet. Namun si pencopet tidak mau menyerah begitu saja. Ia cepat mencabut pisau belatinya dan mengayunkannya ke arah dadaku. Untung Darwin cepat menendang kaki si pencopet, sehingga terguling. Begitu terguling ia cepat bangkit menyerang Darwin. Dan aku tak sanggup melihat apa yang terjadi. Ketika aku membuka mataku kembali, sahabatku Darwin tergeletak berlumuran darah. Dadanya tembus kena tusukan pisau si pencopet, yang denan cepat lalu lari menghilang. Orang banyak yang melihat tak berdaya menolong Darwin, mereka hanya berlarian dan berteriak-teriak.
     Aku cepat menubruk Darwin yang berlumuran darah dan memapahnya. Polisi cepat datang dan menelepon Puskesmas terdekat minta pertolongan.
     Tak lama kemudian ambulans datang. Tubuh Darwin yang lemah berlumuran darah kupapah ke dalam mobil itu. Sampai di puskesmas keadaan Darwin sudah sekarat sekali. Darah terlalu banyakmenyembur ke luar. Wajah Darwin pucat pasi. Ketika luka-lukanya selesai dibalut, aku cepat menemui dokter menawarkan diri kalau-kalau Darwin memerlukan bantuan darahku. Namun dokter cuma menggelengkan kepala.
     Tak lama kemudian istri Darwin datang. Tuty datang dengan menggendong anaknya yang masih kecil. Kami berada di dalam ruangan tempat Darwin terbaring, memandanginya yang semakin lemah dan letih.
     Darwin memberi isyarat supaya aku dan Tuty mendekat. Ketika kami sudah mendekat di samping pembaringannya, sambil menatap kami berdua bergantian denan pandangan yang layu serta denagn suara serak terputus-putus ia berkata, "Sahabatku..aku merasa nyawaku.." Sampai di situ wajah Darwin tambah pucat, napasnya tambah sesak. Kemudian ia menarik tanganku dan tangan istrinya Tuty, lalu kedua tangan kami dipertemukannya dan dipegangnya erat-erat sambil meneruskan perkataannya.
     "Aku rela meninggalkan dunia yang fana ini, dengan satu amanah kepada kau dan Tuty. Seterusnya peliharalah Tuty dan anakku Yuyun sebagaimana aku memelihara mereka. Hanya kau yang kupercayakan untuk menjadi teman hidup Tuty selanjutnya.." Ia lalu mengguncang-guncangkan tangan kami. Kemudian dengan suara tambah lemah ia meneruskan, "Bagaimana Rudy.. maukah kau menerima amanahku..?"
     Tanpa pikir panjang lagi, melihat keadaan temanku yang sudah sekarat itu, aku mengangguk. Darwin tersenyum melihat anggukanku lalu ia menutup mata untuk selama-lamanya. Aku sampai tak sadarkan diri melihat kepergian sahabatku yang tercinta itu untuk selama-lamanya.
     Tiga hari setelah mayat Darwin dikuburkan, baru aku sadar bahwa aku telah memikul satu beban yang berat, yaitu amanah dari sahabatku untuk mengambil Tuty sebagai teman hidupku.
     Baru aku sadar, aku menyanggupi permintaan sabatku, tanpa pikir panjang. Bukankah aku sendiri sudah mempunyai seorang kekasih, seorang pujaan yang akan menjadi teman hidupku yaitu Susy? Kalau dulu aku menyanggupi permintaan sahabatku adalah karena kasihanmelihat keadaannya yang sudah sekarat, dan ingat karena inginmenyelamatkanjiwaku, ia sampai mengorbankan jiwanya. Sekarang aku dihadapkan pada satu problem yang berat, betapa besar dosaku bila aku memungkiri atau tidak menyampaikan amanah sabatkuitu.
     Wajah kekasihku Susy selalu membayangiku, selalu seolah-olah menyesaliku. Dan yang lebih berat lagi kurasakan, bila aku mengunjungi rumah istri sahabatku itu, sinar matanya seperti menagih amanah suaminya. Aku selalu menunjukkan sikap baik dan hati-hati terhadap Tuty, aku memandang Tuty seperti ia tak pernah kehilangan suaminya. Tetapi apakah hal ini dapat bertahan terus..?
     Aku sering mengunjungi kuburan Darwin. Kubersihkan kuburannya dan kuhadiahkan ayat-ayat suci dengan memanjatkan doa supaya ia diterima sebagai orang yang mati syahid dan dilapangkan arwahnya di alam kubur, dengan mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan. Ketika kutatap pusaranya yang masih memerah itu, kulihat pohon kamboja seperti bergoyang-goyang, seperti anggukan kepala Darwin memperingatkan amanahnya.
     Aku benar-benar merasa terpukur. Dan waktu tak terasa berjalan dengan cepat, hingga sampai kematian Darwin sudah berlalu seratus hari lebih. Tuty sudah semakin lain pandangannya terhadap diriku, sinar matanya seperti lebih menagih supaya aku cepat mengawininya.
     Aku menjadi terpojok. Susy kekasihkudi satu pihak sudah mendesak juga agar aku segera mengawininya. Akhirnya aku mengambil satu keputusan yang membuat kejuatan pada Tuty.
     Suatu malam aku pergi ke rumah Tuty. Ia sedang menggendong anaknya. Kepada Tuty aku lalu bercerita terus terang. Kukatakan aku terpaksa mengingkari amanah Darwin karena sebelumnya aku sudah mempunyai seorang kekasih. Dan perkawinanku dengan Susy akan berlangsung dalam waktuyang dekat.
     Tuty tidak menjawab perkataanku. Hanya air matanya jatuh bercucuran. Aku terharu memandang Tuty. Terbayang di mataku pohon kamboja di kuburan Darwin seperti bergoyang mengutukku. Akhirnya diiringi suara tangis tersengal-sengal dan dengan suara terputus-putus Tuty berkata, "Kak Rudy..sudah kuduga akan terjadi yang seperti itu. Aku sadar bahwa aku seorang janda, sedang kekasihmu masih gadis. Tak mungkin kau akan dapat melaksanakan amanah suamiku. Tetapi aku  yakin pada satu ketika kau akan menyesal karena memungkiri amanah arwah Kak Darwin yang telah kau sanggupi."
     Sampai di situ Tuty tak dapat meneruskan kata-katanya lagi lalu pergi meninggalkanku duduk termangu-mangu. Seperti layang-layang putus talinya aku pergi meninggalkan rumah Tuty, dengan pikiran yang membuncah.
     Tak lama kemudian perkawinanku dengan Susy berlangsung. Aku sudah jadi lupa diri, lupa dengan sahabatku yang berada di liang lahat. Ke rumah Tuty pun aku sudah tak pernah lagi.
     Tetapi beberapa minggu setelah perkawinanku, tiap malam aku selalu bermimpi didatangi arwah Darwin. Tampak ia berpakaian serba putih, seperti menudingku, seperti menyumpah-nyumpah diriku. Mimpi yang menakutkan itu selalu datang membayangiku. Aku jadi tak bisa tenang. Barulah terasa betapa beratnya beban orang yang tidak menyampaikan amanah.
     Kucoba berziarah ke kuburan Darwin dan hatiku tambah tergugah. Pusara Darwin tampak olehku seprti merekah. Batu-batu nisannya seperti bergoyang-goyang menudingku. Akhirnya aku jatuh sakit demam panas. Aku jadi seprti orang linglung.
     Susy berkali-kali menyindirku, mengatakan bahwa sakitku adalah karena ingat istri sahabatku itu. Hatiku tambah pedih. Aku seperti diimpit oleh dosa yang tak tersandang lagi.
     Pada suatu malam Susy mengajakku pergi ke rumah temannya yang akan berulang tahun. Tadinya aku ingin menolak karena merasa kesehatanku kurang baik, tetapi mengingat bahwa Susy mempunya tafsiran lain terhadap diriku, permintaan itu terpaksa kuikuti. Malam itu meskipun dengan hati mendongkol aku terpaksa berganti pakaian dan mengantarkan Susy dengan Yamahaku.
     Badanku sungguh-sungguh tak enak. Panas dingin dan kepalaku pusing. Aku mencoba mengebut Yamahaku agar lekas sampai di tempat tujuan. Agar dapat segera duduk beristirahat.
     Untuk mencapai rumah kawan Susy, aku harus melewati jalan tikungan yang menuju ke  daerah pekuburan. Mendekati daerah tikungan itu, tiba-tiba bulu romaku berdiri. Timbul perasaan ngeri dan takut. Seolah-olah tampak olehku sahabatku Darwin berdiri terhuyung-huyung berlumuran darah menghalangi perjalananku. Penglihatanku berkunang-kunang.
     Arwah Darwin seperti menagih janji, menuntut amanahnya. Aku tak bisa menguasai keseimbangan lagi, ketika dari arah belakang datang sorotan lampu oplet yang menyilaukan, lalu mendahului kami. Aku terus melarikan Yamahaku denagn kemudi yang tak tenang dan tiba-tiba ketika sampai di tikungan, aku mencoba mendahului oplet itu namun kemudian, aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
     Aku baru sadar setelah tubuhku tergenang air parit dan taxi yang rupanya datang dari belakang melihat kejadian itu segera memberikan pertolongan mengangkat tubuhku.
     Ketika tubuhku terangkat, yang kulihat Yamahaku sudah berantakan dan tubuh Susy terbantai berlumuran darah.
     Sampai di puskesmas, Susy sudah tidak bernyawa lagi. Ia telah pergi untuk selama-lamanya tanpa sempat meninggalkan pesan terhadap diriku. Aku jadi sadar, ini adalah akibat dari kesalahanku yang tidak menyampaikan amanah sahabatku sehingga Susy yang tidak berdosapun kemudian menjadi korban.
     Tiga bulan kemudian, dalam penderitaanku kehilangan Susy, arwah Darwin dalam mimpi datang lagi menemuiku. Ia selalu tampak denan mata yang cekung menudingku. Akhirnya aku tak tahan lagi digoda mimpi-mimpi yang mengerikan.
     Akhirnya aku mengunjungi rumah Tuty. Ia menyambuk kedatanganku dengan mata yang bercahaya setelah mengetahui isi dadaku. Anaknya Yuyun yang mungil sudah bisa berdiri.
     Kepada Tuty aku lalu berterus terang tentang penderitaanku, tentang godaan bayangan arwah Darwin dan kuterangkan kedatanganku untuk mengjak Tuty bersama melaksanakan amanah arwah Darwin. Tuty tak menjawab. Ia hanya merebahkan kepalanya di pangkuanku dengan menangis terisak-isak, tangis kebahagiaan.
     Seminggu kemudian kami mengunjungi kuburan Darwin sebagai suami istri. Di kuburan itu kami merasa penuh kedamaian dan ketenangan membacakan ayat-ayat suci. Sejak itu aku tak pernah mendapat godaan lagi dari bayangan arwah Darwin.
cerita : Masran H.A.
majalah Senang 0533 thn 1982

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.