Teror di kaki Gunung Salak

     Desa Ciguriang setengah abad yang lalu merupakan desa yang subur dan makmur, terletak di kaki Gunung Salak yang berhutan perawan. Margasatwa masih hidup dengan aman dan bebas sehingga tidak ada satu pun penduduk yang berani naik gunung masuk hutan sendirian dan tanpa senjata, apalagi karena mereka beranggapan bahwa Gunung Salak ini dihuni oleh segerombolan penyamun yang secara berkala turun ke desa-desa di kaki gunung untuk memungut 'upeti' yang harus sudah disediakan oleh kepala desa setiap dua atau tiga bulan sekali.
     Pada umumnya penduduk desa tidak ada yang berani melawan gerombolan penyamun itu, karena melawan berarti mati. Para penyamun itupun jarang sekali bertindak keterlaluan jika upeti berupa hasil bumi, ternak dan barang-barang berharga telah disediakan seperti biasanya. Yang membuat cemas, takut dan was-was para orang tua di desa-desa di kaki Gunung Salak itu adalah mengenai anak-anak gadis. Masih untuk kalau hanya diganggu saja, tetapi kalau sampai dibawa tak berketentuan nasibnya, itulah yang menjadi kecemasan utama para orang tua di desa-desa.
     Itu pulalah yang dikhawatirkan oleh Mak Resmi mengenai putrinya Rasmini. Mak Resmi hanya beranak dua orang, Rasmini yang sudah remaja dan adiknya Rasmana berumur kira-kira 15 tahun. Pak Resmi sudah meninggal setahun yang lalu, meninggalkan anak istrinya tercinta. Mak Resmi seringkali melarang Rasmini berkebun, mencui pakaian ke sungai, menjual hasil bumi ke pekan, atau berjalan-jalan ke tempat yang jauh-jauh karena dikhawatirkan kecantikannya terlihat oleh penyamun yang menyamar atau mata-mata mereka. Tetapi Rasmini yang menginjak masa remaja tentu saja tidak tahan tinggal di rumah terus.
     "Mengapa melamun, Mak?" tanya Rasmana kepada ibunya. Mak Resmi tertegun dan menoleh kepada putranya.
     "Kau belum tidur Man?" ibunya balik bertanya.
     "Mana Rasmini?"
     "Biasana sedang bersoke tentunya", jawab Rasmana.
     "Siapa yang bersolek, huh.. sok tahu", Rasmini menimpali dari balik pintu kamarnya.
     "Ya, sudah, tidak usah bertengkar", kata Mak Resmi sambil menghela napas.
     "Aku hanya teringat kepada ayahmu", ibunya baru menjawab pertanyaan Rasmana yang mula-mula. Rasmana tergugah kenangannya kepada ayahnya yang kuat dan tegap tetapi penuh kasih sayang terhadap dirinya dan Rasmini. Ayahnya walaupun bekerja sehari suntuk di ladang, tiap malam tidak pernah lupa mengajar membaca, mengaji atau melatihnya bersilat. Bersilat adalah yang paling disukai oleh Rasmana sephingga badannya pun menjadi tegap dan gesit seperti ayahnya.
     Namun ayahnya selalu berpesan bahwa silat yang dipelajarinya bukanlah untuk berkelahi apalagi untuk melawan para penyamun yang julahnya banyak dan lebih berpengalaman dalam berkelahi. Rasmana sering bertanya dalam hati mengapa pemuda desa tidak bangkit membangun kekuatan untuk menumpas para penyamun itu. Setiap kali hal ini ditanyakan kepada ayahnya, Pak Resmi biasa menjawab, "Untuk membangun kekuatan memang mungkin, tetapi hal ini memerlukan kesatuan tekad, adanya peminpin yang tangguh dan pembinaan secara diam-diam agar tidak diketahui oleh para penyamun. Kalau sampai segera diketahui, mereka akan mengambil tindakan yang kejam dan upeti akan makin ditingkatkan lagi. Para pemuda desa juga mungkin tidak semuanya bertekad seperti engkau karena mereka terlalu sibuk dengan  pekerjaannya dan tak mau mengambil risiko yang berat."
     Rasmana terdiam walau dalam hatinya ada rasa penasaran.
     "Suatu waktu aku harus berguru lagi sampai aku cukup kuat untuk menumpas kejahatan", demikian tekad dalam hatinya. Sedang melamun demikian tiba-tiba seisi rumah dikejutkan oleh suara langkah-langkah kaki menginjak bebatuan di halaman. Kemudian terdengar pintu digedor dengan keras.
     "Ayo cepat buka kalau masih sayang jiwamu!" terdengar bentakan dari luar. Mak Resmi gemetar dan wajahnya menjadi pucat. Rasmana ganti-berganti melihat ke pintu dan kepada ibunya seolah-olah minta saran apa yang harus dilakukan. Rasmini keluar dari kamar, cepat menghampiri ibunya.
     "Rampok datang!" kata Rasmana.
     "Ayo cepat buka, kalau tidak kubakar rumah ini", terdengar suara dari luar pula. Rasmana terpaksa berjalan membukakan pintu. Setelah pintu dibuka terlihat beberapa orang kawanan perampok yang biasa memeras rakyat desa. Pemimpinkawanan perampok yang berkumis dan berjenggot memakai ikat kepala warna merah darah sangat marah karena pintu tidak segera dibuka. Ia mendorong Rasmana sekuat tenaga, tetapi secara refleks Rasmana berkelit sehingga si kepala rampok tersungkur menabrak meja-kursi. Kepala rampok makin geram, mukanya menjadi merah dan cepat mengeluarkan goloknya.
     "Jangan, jangan!" Mak Resmi menjerit. Kepala rampok menoleh kepada Mak Resmi dan terlihat olehnya Rasmini yang cantik jelita. Kemarahan kepala rampok berkurang demi melihat Rasmini yang cantik itu.
     "Ringkus pemuda itu cepat, jangan melongo saja!" perintah kepala rampok kepada anak buahnya sambil menunjuk Rasmana. Rasmana tidak melawan karena ia sadar tak mungkin menang melawan banyakrang yang bersenjata golok, pisau dan senjata tajam lainnya.
     Kepala rampok tertawa-tawa sambil matanya tidak lepas-lepas melihat tubuh dan wajah Rasmini.
     "Dengar, aku Durga, pemimpin kawan-kawanku ini. Aku tidak akan mengganggu harta benda kalian. Hanya aku kebetulan belum punya istri dan gadis itu akan kubawa untuk kuperistri," kata Durga, pemimpin kawanan perampok sambil menunjuk Rasmini dan menghampirinya.
     "Tidak, tidak!" kata Mak Resmi dan Rasmini serempak. Tetapi Durga tidak menghiraukan dan ditariknya Rasmini dengan paksa dari dekapan ibunya. Demi melihat Mak Resmi tetap memeluk Rasmini, meluaplah kemarahan Durga. Dipisahkannya mereka berdua dengan kekerasan dan didorongnya tubuh Mak resmi yang sudah tua itu.
     "Mak, mak!" Rasmini menjerit hendak menghampiri, tapi dipegang denan kuat oleh Durga. Rasmini meronta-ronta dari ringkusan kawanan perampok. Dia ingin menghajar Durga, tetapi dipegang dengan kuat oleh dua orang perampok sehingga tidak dapat berkutik. Durga tertawa terbahak-bahak sambil berusaha hendak mencium Rasmini, tetapi Rasmini meronta-ronta dan menundukkan kepalanya sambil menjerit-jerit.
     "Diam kau!" bentak Durga dan tangannya melayang ke pipi Rasmini. Rasmini menangis terisak-isak sementara Mak Resmi sudah tak sadarkan diri. Rasmana menggigit bibirnya, hatinya sakit dan getir. Rasmana dibaringkan dan kawanan perampok bersiap-siap pergi membawa Rasmini.
     Tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin yang menusuk, menggetarkan hati kawanan perampok itu. Mereka melihat ke luar, ke kiri dan ke kanan, tetapi tidak terlihat siapa pun.
     "Bangsat atau setan di sana?" Durga berteriak tetapi tak urung bulu romanya berdiri ketika mengucapka kata setan itu. Tawa itu terdengar lagi lebih menusuk pada malam yang sudah sepi itu. Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara jengkerik dan burung-burung malam. Wajah para perampok berubah ketakutan.
     "Sudah, ayo berangkat!" aba-aba Durga kepada anak buahnya yang empat orang. Mereka sebetulnya datang bersepuluh. Yang lima orang sudah berangkat pulang dan yang lima orang singgah dulu ke rumah Mak Resmi karena tahu bahwa anak Mak Resmi cantik dan sudah remaja. Jika Rasmini sudah dapat dibawa, istri tua akan disingkirkan, tidak mustahil dengan cara membunuhnya di hutan. Kawanan perampok mulai bergerak akan meninggalkan rumah Mak Resmi ketika tiba-tiba di halaman terlihat bayangan dan terdengar suara.
     "Tinggalkan gadis itu, kalau tidak.. hmm.. kalian akan tahu siapa aku." Kawanan perampok mengawasi sosok tubuh yang berjalan lambat-lambat.
     "Setang!?" anak buah Durga berteriak karena meihat wajah sosok tubuh yang buruk seperti setan dengan rambut panjang.
     "Minggir!" bentak Durga sambil mencabut dan mengayunkan goloknya hendak menebas tubuh "setan" itu. Tetapi tiba-tiba Durga berteriak dan meringis kesakitan sambil memegang tangannya.
     "Ayo keroyok!" perintahnya. Anak buah Durga maju semua dengan golok, pisau dan tombak. Tetapi berturut-turut terdengar erangan kesakitan dan semua roboh dengan memegang bagian tubuh yang sakit. Durga melihat bahwa tangannya menjadi bengkak biru dan merasa tidak berani lagi melawan 'setan' itu. Tanpa berkata apa-apa ia segera kabur diikuti oleh empat anak buahnya.
     Rasmini melihat semua kejadian dan ia segera memburu ibunya yang tak sadarkan diri. Dengan tangan terikat ia hanya bisa menangis mencemaskan keadaan ibunya sambil melihat ke arah pintu, karena ia ngeri juga melihat 'setan' yangmenolongnya itu. Tiba-tiba di ambang pintu sudah berdiri seroang pemuda yang cukup tampan melihat ke arah Rasmini sambil tersenyum. Ia menghampiri Rasmini dan membuka ikatannya, kemudian membopong Mak Resmi ke tempat tidur dan memeriksanya.
     "Ambillah air dan kain. Tidak apa-apa, sebentar lagi bisa siuman," kata pemuda itu sambil meniup-niup dahi Mak Resmi dan memijit-mijit ulu hatinya. Setelah Mak Resmi siuman, Rasmini memeluknya dan mereka bertangis-tangisan. Pemuda itu kemudian menolong Rasmana sambil menghibur. Rasmana segera mengetahui bahwa kawanan perampok telah kabur karena ada seseorang yang melabrak mereka. Pemuda inikah orang sakti yang mempu mengusir kawanan perampot itu? Tanyanya dalam hati. Ketika hal itu dikemukakan, pemuda itu hanya tertawa.
     Esok harinya berita bahwa kawanan perampok telah dilabrak orang segera tersiar di seluruh penjuru kampung dan hal ini menimbulkan kekhawatiran penduduk yang segera berkumpul di rumah kepala desa. Dari sana mereka berduyun-duyun mendatangi rumah Mak Resmi, tempat menginap orang yang melabrak kawanan perampok itu. Kepala desa dengan beberapa orang segera masuk, sementara penduduk menunggu di luar dan di halaman dengan suara ribut saling membicarakan akibat-akibat yang mungkin timbul. Si pemuda segera memberi jaminan kepada kepala desa, bahwa kawanan perampok tidak akan berani datang lagi kalau mengetahui bahwa dia masih tinggal di sini.

     "Namaku Barda, aku menjamin bahwa mereka tidak akan menyerang kampung ini. Aku sudah memberikan tanda mata kepada mereka. Kukira si Durga bukanlah pemimpin yang tertinggi dari perampok-perampok itu. Kalau pemimpin mereka melihat tanda mata itu, tentu tidak akan gusar bahkan akan berterima kasih karena anak buahnya tidak kuhabisi," demikian kata Barda dengan nada yang amat meyakinkan. Kepala desa dan orang-orang yang masuk saling pandang seolah-olah tidak percaya kepada apa yang dikatakan Barda.
     "Percayalah kepadaku, aku akan tinggal di sini beberapa lama. Kalau perlu aku akan melatih pemuda-pemuda agar bisa menghadapi segala kemungkinan," lanjut Barda.
     "Setuju sekali!" Rasmana menyela.
     "Kita pemuda-pemuda kampung ini harus sanggupmempertahankan keamanan kampung sendiri dan untuk itu kita harus berlatih keprajuritan kepada Kak Barda ini." Kepala desa tidak tahu harus bersikap bagaimana, demikian pula kawan-kawannya. Akhirnya kepala desa berkata.
     "Yah, harus bagaimana lagi, nasi sudah jadi bubur, tetapi aku meminta jaminan Nak Barda untuk tinggal di sini dan melatih pemuda-pemuda supaya dapat melawan perampok.
     "Nah, itu baru sikap ksatria, aku menjamin!" jawab Barda.
     Mulai hari itu Barda segera melaksanakan janjinya dengan melatih pemuda-pemuda desa tentang berbagai ilmu kewiraan. Rasmana memperoleh kemajuan paling pesat sehingga diangkat sebagai wakil Barda dan ditugaskan memimpin pemuda-pemuda itu kalau tiba saat bertindak. Barda mulai berasa betah tinggal di desa Diguriang, apalagi ada gadis cantik bernama Rasmini. Hidupnya sehari-hari dijamin oleh kepala desa dan penduduk desa itu.
     Hubungan Barda dengan Rasmini mejadi makin intim. Mak Resmi yang sangat berterima kasih kepada Barda membiarkan saja pergaulan mereka, karena beranggapan bahwa Rasmini sudah masanya mempunyai sudami. Demikian juga dengan Rasmana yang menganggap Barda sebagai penolong berbudi yang akan melepaskan desanya dari gangguan perampok. Tanpa terasa cinta Rasmini dan Barda makin hari makin berkobar, sehingga keduanya tidak dapat menguasai diri lagi dan melakukan perbuatan seperti suami-istri. Mak Resmi dan Rasmana tidak mengetahui bahwa hubungan keduanya sudah terlalu jauh.
     Tiga bulan kemudian, tersiar kabar bahwa Barda akan mengawini anak Pak Sonjaya, kepala desa, yang bernama Amini. Ketika terdengar berita ini Rasmini hampir-hampir tidak mempercayainya. Tubuhnya menggigil, lalu ia jatuh pingsan. Mak Resmi dan Rasmana sibuk menyadarkan Rasmini tetapi tidak berhasil. Baru sesudah memanggil dukun kampung, Rasmini siuman lagi dan tak henti-hentinya menyebut nama Barda sambil menatap jauh dan kosong. Mak Resmi dan Rasmana dapat memahami betapai perasaan Rasmini pada waktu itu, tetapi mereka tidak menyangka bahwa Rasmini sudah bukan gadis lagi!
     Barda akhirnya kawin dengan Amini, karena dalam pandangan Barda, lebih baikmengawini anak Pak Sonjaya yang kaya dan berpengaruh daripada Rasmini anak seorang miskin. Barda ternyata bukanlah manusia yang benar-benar baik. Ia adalah anak murid dari perguruan 'Racun Biru' yang ditakuti di dunia hitam.
     Tidak ada pihak yang mau berurusan dengan perguruan itu, kerena mereka terkenal kejam dan ilmu pukulan Racun Biru sulit untuk ditandingi. Walaupun perguruan RAcum Biru terkenal di dunia htiam, tidak ada orang yang mengetahui tempat perguruan itu.
     Sementara itu Rasmini tidak juga sembuh dari pukulan batin yang dideritanya, malahan makin memburuk dan terlihat gejala-gejala terganggunya pikiran. Mak Resmi yang menderita pukulan batin sejak didatangi kawanan perampok, kemudian melihat Rasmini yang sudah setengah gila, mulai sakit-sakitan. Akhirnya mujur tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, Mak Resmi meniggal dalam penderitaan.
     Tinggallah Rasmana dan Rasmini hidup berdua menyongsong masa depan yang suram. Sudah tentu Rasmana tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin para pemuda.
     Rasmana kini harus mengurus kakaknya, Rasmini, yang sering duduk termangu dan mengoceh sendirian, kadang-kadang tertawa, kadang-kadang menangis. Pada suatu malam Rasmana berkata kepada Rasmini.
     "Kak, Kak Rasmini, aku Rasmana. Kak bagaimana kalau kita meniggalkan kampung ini? Kurasa kampung ini sudah tidak aman lagi. Kang Barda sekarang sudah berubah." Mendengar kata 'Barda', Rasmini melihat kepada adiknya seakan-akan minta keterangan lebih jauh.
     "Kang Barda sudah berubah jauh sekali, Kak! Dia sekarang menjadi kepala kampung tapi perbuatannya justru merugikan penduduk kampung. Dia menarik pajak yang lebih besar daripada upeti yang biasa kita berikan kepada gerombolan perampok dulu. Dia juga sering mengganggu gadis-gadis kampung. Para pemuda yang dilatihnya kini digunakan untuk tujuan memeras penduduk. Aku khawatir mereka pada akhirnya akan mengganggu kita juga. Bagaimana pendapatmu, Kak?" Tanpa disangka, Rasmini justru manggut-manggut.
     "Engkau setuju Kak? Kita pergi saja ke rumah paman di desa Cimanggu sana. Kita berangkat lusa, ya Kak?"
     Demikian, lusanya pagi-pagi benar mereka berdua sudah berangkat menuju desa Cimanggu dengan hanya membawa pakaian dan makanan sekedarnya. Mereka berjalan lambat karena Rasmini sering minta berhenti di jalan. Rasmana merasa sedih harus meninggalkan kampung halamannya yang sekarang menjadi kampung dengan suasana hidup yang muram. Tidak ada seorang pun yang dapat menahan sifat angkara murka si Barda.
     Tak terasa hari menjelang sore, padahal mereka masih berada dekat hutan yang angker dan lebat. Rasmana kebingungan mencari tempat bermalam. Rasmana melihat kepada kakaknya seakan-akan menyalahkan kakaknya yang tidak bisa berjalan cepat. Rasmini rupanya mengerti dan kelihatan seperti berpikir, melihat ke kiri, ke kanan, ke atas. Lalu ia menekurkankepala dan memejamkan matanya. Tak lama kemudian ia tersenyum sendiri. Rasmana menjadi jengkel melihat kelakuan kakaknya. Belum sempat ia berkata apa-apa Rasmini sudah berjalan mendahuluinya. Ia cepat-cepat mengikuti Rasmini. Rasmini tampak membelok ke arah hutan!
     "Kak, Kak, jangan ke sana, kita bisa tersesat!" Rasmana memanggil, tapi Rasmini berjalan makin cepat. Rasmana mengejarnya dan memegang tangun Rasmini untuk menahan masuk hutan. Rasmini meonta dan kemudian berlari-lari memasuki hutan lebih dalam Rasmana mengejar terus sambil berteriak-teriak agar Rasmini berhenti, tapi Rasmini menoleh pun tidak.
     Rasmini malahan berlari makin cepat seolah-olah kesetanan. Rasmana membuang segala beban dan bekal dan dengan sekuat tenaga mengejar Rasmini walaupun keadaan dalam hutan suram karena lebatnya daun-daunan, apalagi hari pun menjelang magrib. Rasmana tidak merasakan kakinya terantuk-antuk dan badannya tergores ranting-ranting tajam sehingga bajunya koyak-koyak.
     Bermaca-macam perasaan tergores di hatinya, namun semuanya tidak diperhatikannya karena yang penting adalah mengejar Rasmini. Napasnya sudah memburu, badan dan kakinya terasa letih dan pedih, untunglah Rasmini kelihatan mulai lelah sampai akhirnya berhenti. Rasmana menyusulnya dan berkata terbata-bata.
     "Kak, ayo kita kembali ke jalan setapak tadi." Tapi Rasmini diam saja sambil melihat ke suatu arah. Rasmana melihat ke arah pandangan mata Rasmini dan melihat sebuah rumah kecil dengan nyala pelita di dalamnya yang menerobos melalui celah-celah pintu. Rasmana merasa heran mengapa di dalam hutan ada rumah yang tampaknya dihuni orang.
     Rasmini berjalan ke rumah itu. Rasmana hendak mencegah tapi urung, karena ia sadar bahwa ia memerlukan tempat untuk bermalam bersama Rasmini. Belum sampai ke sana, pintu sudah terbuka dan terlihat seorang tua tersenyum ke arah mereka. Rasmini menghampiri orang tua yang kumis, jenggot dan rambutnya sudah mulai memutih. Sambil menghormat, Rasmini berkata.
     "Sudilah Kakek dan Nenek menerima kami berdua yang sedang menderita ini." Kakek itu menjawab, "Jangan khawatir cucu-cucuku, kalian kuterima di sini dengan senang hati. Bersabarlah atas apa yang kalian alami."
     Rasmana merasa heran karena seolah-olah kakek itu sudah mengethui apa yang dialaminya. Mereka masuk dan tampak seorang nenek yang juga tersenyum ke arah mereka. Hei, mengapa kakakku sudah tahu bahwa ada seorang nenek di sini? Demikian suara hati Rasmana.
     Nenek itu berkata, "RAsmini, engkau harus menyucikan dirimu dulu. Dan Rasmana tinggallah di sini untuk menerima gemblengan dari Kakek Soma suamiku."
     "Baa..ba..baik, Ne..nek," kata Rasmana terbata-bata. Anehnya begitu masuk rasa letih dan pedih hilang begitu saja dan Rasmini tampaknya juga sudah berubah wajahnya, tidak lagi kosong, melainkan tampak sehat dan segar seperti biasa. Dan yang lebih aneh ia melihat di atas meja tergeletak pakaian dan bekalnya yang dilepaskannya pada waktu mengejar Rasmini tadi.
     "Nah, makan dan beristirahatlah dulu, besok kita mulai," kata Kakek Soma.
     Esok harinya Rasmana tidak melihat si nenek dan Rasmini. Ia tidak menanyakannya karena ia percaya bahwa Rasmini berada dalam perlindungan yang baik dari Nenek Soma. Pada hari itu Rasmana disuruh mengulang jurus-jurus silat yang sudah diketahuinya, baik yang didapat dari ayahnya maupun dari Barda si manusia sesat. Kakek Soma berkata bahwa segala ilmu itu baik, asal orang menggunakannya secara benar dan terpuji.
     Walaupun sudah tua Kakek Soma dapat bergerak cukup lincah. Kakek Soma mengatakan bahwa badan adalah alat jiwa yang dengan pikiran dan tekad yang bulat dapat digunakan menurut tujuan dan maksud manusia. Gerakan raga bisa membangunkan kekuatan jiwa, namun gerakan yang lepas dari kesadaran dan digunakan untuk tujuan nafsu pada akhirnya akan merugikan diri sendiri dan bertentangan dengan tujuan semula.
     Hari demi hari Kakek Soma menggembleng Rasmana dan memperhalus gerakan jurus-jurus silat Rasmana. Sedikit demi sedikit Rasmana mulai mengerti tujuan ilmu gerak, walaupun ia harus kenyang menerima pukulan-pukulang tongkat Kakek Soma.
     Pada hakikatnya, begitu kata Kakek Soma, silat atau ilmu gerak bukanlah untuk menyakiti lawan. Kita harus membuat lawan mengerti bahwa gerakannya untuk menyakiti diri kita akibatnya hanya akan berbalik terhadap dirinya.
     Setelah Rasmana dapat menguasai jurus-jurus yang sudah dipelajarinya, maka mulailah Kakek Soma menurunkan ilmunya, 27 jurus silat 'Tarian Malaikat' yang katanya dapat mengatasi segala ilmu hitam.
     Selang beberapa waktu karena Rasmana betul-betul berlatih tanpa kenal lelah, ia sudah bisa menguasai 27 jurus 'Tarian Malaikat' dan cara-cara penggunaannya.
     Sesudah Rasmana dianggap mahir, mulailah tingkat yang lebih berat lagi y aitu memeras yang 26 jurus menjadi 18 jurus. Di sinilah Rasmana mulai tersendat-sendat. Kakek Soma hanya tersenyum.
     "Baiklah cucuku, pelajaran meningkat menjadi lebih sulit. Engkau harus memusatkan perhatianmu. Berdoalah kepada yang Mahakuasa, ingatlah kedua orang tuamu dan ingatlah nasib orang-orang sekampungmu. Engkau mempunyai tugas yang berat kelak," kata Kakek Soma membakar semangat Rasmana. Rasmana tergugah dan dengan tekun ia mengikuti petunjuk-petunjuk Kakek Soma. Walau begitu tak urung kepalanya terasa berputar-putar, matanya berkunang-kunang, darahnya serasa mendidih, isi perutnya terasa sakit dan sering muntah-muntah dari atas dan dari bawah.

     Hari-hari berlalu tak terasa, Rasmana sudah sanggup memeras 'Tarian Malaikat' menjadi 18 jurus saja. Badannya kini lebih kuat dan ringan. Suatu malam Kakek Soma berkata, "Cucuku Rasmana, sudah empat bulan kau tinggal di sini kukira itu sudah cukup bagimu. Engkau harus menghukum Barda, karena Barda adalah utusan dari dunia hitam yang harus diakhiri tugasnya. Pulanglah besok hari dan engkau akan menemui Rasmini di sana."
     Besoknya pagi hari terasa matahari membakar kulit Rasmana yang masih tertidur. Rasmana bangun tetapi ia mendapati dirinya terbaring di atas rumput di pinggir jalan setapak. Rasmana merasa seperti mimpi dan ia bertanya dalam hati, masih hidupkah aku?
     Namun matahari yang bersinar terang menjadi jaminan bahwa ia masih h idup di dunia fana ini. Ia segera berjalan ke arah kampungnya, desa Ciguriang dan anehnya ia merasa lebih cepat dan ringan sehingga dalam waktu 2 jam saja kampung halamannya sudah terlihat kembali.
     Tiba di pemakaman orang tuanya ia menangis sepuasnya. Setelah itu ia teringat kepada Rasmini. Di manakah Rasmini? Kemudian ia bangkit dan berjalan ke rumahnya. Ternyata anak buah Barda sudah menguasai rumahnya, menjadikannya tempat menyabung ayam, minum tuak, menghibur diri dengan wanita-wanita yang diambil secara paksa dari orang-orang tuanya.
     Ketika Rasmana membuka pintu terlihat anak-anak buah Barda yang dulu menjadi teman-temannya sudah menjadi orang-orang yang rusak pekertinya, ada yang sedang bermain kartu, ada yang sedang memeluk wanita, suasananya sungguh memuakkan hati Rasmana.
     "He.he.. engkau Rasmana, dari mana saja kau? Mana RAsmini yang sudah gila karena tidak mendapat cinta junjungan kita, hahaha.." kata Darya temannya dulu yang bisa mengenali Rasmana.
     "Diam kau Darya dan keluarlah dari rumahku ini!" Rasmana membentak karena amarahnya meluap melihat rumahnya berantakan.
     "Uah.ha.hahahaha.. rumahmu? Rumah ini sudah menjadi milik kami. Semua rumah di kampung ini adalah milik Den Barda. Bukan saja rumah, semua jiwa di kampung ini adalah miliknya. Hahaha.. "
     Semua anak buah Barda tertawa terbahak-bahak. Kelihatan juga oleh Rasmana ada orang-orang yang tidak dikenalnya. Hmm, mungkin mereka anak perguruan Racun Biru, pikir Rasmana. Kemarahan Rasmana meluap, diangkatnya kursi dan dilemparkannya ke arah Darya.
     "Aduh, kurang ajau kau Rasmana! Kuhantam kau!" Darya mengaduh terkena lemparan kursi. Ia ingin membalas, tetapi akibat lemparan tadi terasa sakit sekali dan mendadak seluruh badannya terasa lemah. Yang lain segera bangkin dan menyerang Rasmana, tapi dengan sedikit tangkisan satu sentuhan tiga orang segera roboh tidak bangun lagi.
     Tiga orang yang tidak dikenalnya datang menyerang. Pukulannya lebih mantap dan berhawa dingin sekali. Rasmana menggigil namun hanya sebentar dan segera ia mundur ke halaman agar lebih leluasa. Dikeroyok tiga orang Rasmana baru bisa membuktikan bahwa latihan selama ini memang telah berbuah, tapi siapakah Kakek Soma?
     Pertanyaan ini mulai menggoda hatinya. Karena agak lengah sebuah pukulan masuk mengenai dadanya, tapi secara refleks badannya mendoyong ke belakang dan sebelum si penyerang menyadari, kaki Rasmana sudah terangkat menendang pinggang. Si penyerang itu mengaduh lalu roboh. Tiga gerakan berturut-turut yang dilancarkan Rasmana membuat tiga anak buah Barda terbaring kesakitan. Bereslah sudah. Wanita-wanita dalam rumah Rasmana sama-sama ketakutan ketika melihat Rasmana masuk.
     "Pulanglah kalian semua, tinggalkan rumahku ini. Dan kau Darya bersama yang lain beritahukanlah kepada Barda untuk mengakhiri tindakannya yang sewenang-wenang itu", kata Rasmana berwibawa. Semua anak buah Barda segera kabur untuk melaporkan kejadian yang dialaminya itu.
     Barda tidak percaya bahwa Rasmana telah berubah. Tapi kalau adik-adik seperguruannya pun tidak mampu menghadapi Rasmana, mau tidak mau ia harus berhati-hati. Ketika Barda melihat Rasmana mendatangi, ia menyambutnya sambil tertawa, "Hai, kepala lasykarku, ke mana saja kau?"
     Rasmana menjawab, "Kau, Barda, insaflah sebelum aku bertindak."
     "Hohoho.. kau anak kemarin sore hendak menghadapiku? Baik, baik.. ayolah, jangan banyak omong kalau engkau ingin merasakan kepalanku." Barda mengejek.
     "Jangan engkau menyesal. Sambut seranganku!" kata Rasmana sambil menyerang. Barda berkelit dan balas menyerang. Begitulah mereka saling menyerang. Keduanya sama-sama tangguh. Rasmana merasa terkejut karena pukulan-pukulan Barda berhawa sangat dingin dan hal ini membuat napasnya terasa berat, dadanya sesak. Sebaliknya Barda merasa sangat heran karena pukulan-pukulannya dapat dihindari secara mudah, sedangkan pukulan Rasmana terasa panas dan pedih sehingga badannya mengandung hawa dingin terasa menjadi panas dingin.
     Karena itu Barda meningkatkan lagi serangannya. Anak buah Barda melihat pertempuran dengan mata berkunang-kunang dan hati yang was-was. Rasmana merasa terdesak oleh serangan Barda yang bertubi-tubi dan dadanya terasa makin sesak. Ia selangkah muncur karena tak kuat.
     Sesungguhnya keadaan Barda juga sudah payah, tapi ia menguatkan hatinya dan menyerang terus. Sekonyong-konyong ia melihat sebuah bayangan wanita yang segera menjadi jelas dan sangat dikenalnya. Rasmini tampak senyum kepadanya. Hati Barda tiba-tiba saja menjadi terharu dan teringat kepada segala dosanya. Namun tiba-tiba sebuah pukulan Rasmana sudah bersarang di dadanya. Barda terlempar dan muntah darah. Matanya menjadi gelap dan ia tidak ingatkan diri lagi. Anak buahnya semua terkesima. Darya dan teman-teman lama Rasmana dalam lasykar dulu semua datang dan minta ampun, sedangkan anak buah Barda yang tidak dikenal segera pergi dengan meninggalkan Barda begitu saja.
     "Ayo, tolonglah aku mengobati Barda", kata Rasmana. Rasmana mengurut dada Barda tiga kali dan kelihatan Barda membuka matanya. Sorot matanya lemah.
     Setelah menitipkan Barda kepada Darya, Rasmana segera pulang ke rumahnya kembali. Ketika ia membuka pintu rumah kelihatan ruangan sudah rapi dan bersih. Tiba-tiba muncul Rasmini.
     "Kakak!" kata Rasmana sambil menghampiri dan memeluk kakaknya Rasmini.
     "Kakak, aku rindu padamu". Keduanya berpeluk-pelukan sambil menangis.
     "Sudahlah Dik, kita harus tabah dan menghadapi hidup yang baru. Masih banyak tugas yang harus kau lakukan Dik", kata Rasmini. Tugas? Pikir Rasmana. Ya, dia sadar. Dia sudah jadi orang kuat sekarang dan harus terus berbuat bagi sesama manusia yang tertinda.
     "Oh ya Kak, sebetulnya siapakah Kakek dan Nenek Soma itu? Ke mana kau dibawa oleh Nenek Soma?" tanya Rasmana.
     "Soal siapa Kakek dan Nenek Soma itu, tidak usah kau pikirkan benar-benar. Orang-orang menamakan mereka 'manusia gaib dari Gunung Salak'. Aku sendiri kurang tahu apakah sebetulnya mereka itu masih hidup di dunia fana ini. Hal itu di luar jangkauan kita. Aku sendiri dibawa oleh Nenenk Soma bermandi suci di bawah air terjun Cicurug supaya jiwaku bebas dari perbuatan dosaku sendiri. Kini yang perlu bagi kita adalah bersyukur ke hadirat Yang Mahakuasa. Barda sudah terhukum dan sekarang ia menjadi manusia biasa yang tidak memiliki lagi ilmunya yang jahat itu", demikian Rasmini menjelaskan.
     Rasmana dan Rasmini akhirnya dapat memulai kembali kehidupannya dengan tenteram bersama-sama penduduk desa yang selama ini dalam cengkeraman teror si Barda.
diceritakan oleh Gemi Ara
majalah senang 00531, thn 1982

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.