Namaku Noni

     Perlahan aku melangkah turun meninggalkan Pos 6 Gunung Bawakaraeng. Aku tertinggal sendiri, sementara teman-temanku yang lain telah meninggalkan tempat ini sejam yang lalu. Mereka tidak perlu kuatir terhadapku, karena mereka tahu aku sudah mengenal dengan baik jalan turun ke Lembanna, dusun di kaki Bawakaraeng.
     Namun, kali ini aku merasa agak kurang beres dengan kondisi tubuhku. Sejak seminggu belakangan ini, aku selalu kurang tidur. Bahkan sejak meninggalkan Makassar menuju ke Lembanna, aku hanya sempat istirahat tidur selama dua jam.
     Pukul empat sore lewat sepuluh menit, sesuai arloji yang lengket di pergelanganku, dengan kepala berat, pusing dan ngantuk, aku berusaha tetap melangkah. Setengah lima, aku sampai di Pos 5.
     "Oh lelahnya..!" Aku memutuskan untuk istirahat lagi. Sayang di carrierku tidak ada lagi makanan yang tersisa. Aku meraba fieldples yang menggantung di pinggang lalu mengguncangnya sedikit. Masih ada air yang tersisa. Kulepaskan fieldples itu dari gantungannya di pinggang lalu meneguk air dari dalamnya, dan ih...dingin.
     Sesaat kemudian kuhamparkan matras lalu berbaring. Tidak lama, aku sudah terlelap.
     Hingga entah berapa lama, aku tersentak kaget. Aku merasa begitu dingin, dengan tubuh yang menggigil hebat. Sementara kepalaku masih terasa begitu berat dan pusing. Rupanya panas tubuhku banyak berkurang sementara aku tertidur tadi. Tetapi aku berusaha untuk dapat menguasai diri dan mencoba berfikir untuk melakukan yang terbaik demi menolong keadaanku.
     Aku masih terduduk di atas matras dan belum membuat keputusan apapun, ketika daun-daun di depanku tersibak. Dan seseorang muncul di sana. Hanya sekilas aku memandangnya lalu tidak memperdulikannya lagi. Tetapi berbeda dengan orang itu. Mungkin ia melihat mukaku yang pucat dengan sedikit kepanikan, sehingga ia singgah untuk menegurku. Dan ah, rupanya suara sapaan yang kudengar adalah suara seorang perempuan.
     Kamipun bercakap-cakap untuk beberapa saat. Ia menanyaiku dan aku menjawab sejujurnya mengenai kondisi tubuhku saat ini. Ia kemudian menawarkan diri untuk menolongku. Aku setuju-setuju saja.
     Terampil dan cepat sekali, ia mempersiapkan kompor parafin yang kubawa, lalu menjerang air yang tersisa dari dalama fieldplesku, ditambah air yang ia bawa sendiri. Sementara menunggu mendidih, ia membawa fieldples kosongku bersama botol airnya ke mata air yang ada di dekat pos lima ini untuk diisi kembali. Aku sendiri masih duduk menghadapi kompor parafin yang menyala, dengan harapan bisa mendapatkan sedikit kehangatan dari pancaran panasnya.
     Tidak lama ia sudah kembali dan mulai mempersiapkan dua bungkus mi instan dari dalam rimbagnya. Aku cuma mampu memandang semua yang dilakukannya tanpa bertanya atau berkomentar. Selanjutnya, aku mulai mengisi perut dengan mi instan panas itu. Ia juga ikut menyantap.
     Kurang seperempat jam enam sore, aku merasa kondisi tubuhku sudah agak baik. Kubenahi semua perlengkapanku, untuk meneruskan perjalanan pulang. Rupanya ia bermaksud mengantarku. Aku lagi-lagi setuju saja.
     Heran memang, aku yang biasanya banyak cakap, kali ini tiba-tiba seperti kehabisan kata-kata, padahal di depanku seorang perempuan yang parasnya cukup cantik - apalagi di gunung seperti ini, sedang beraksi membatu diriku yang tiba-tiba menjadi goblok bahkan untuk menolong diri sendiri. Tapi itulah keadaannya.
     Kami bersama menyusuri jalan setapak dengan perlahan. Dan ketika malam turun bersama gelap, aku mengeluarkan senter dari dalam carrierku. Ha.. rupanya ia tidak punya senter. Terpaksa kami berjalan menjadi semakin lambat, karena harus saling menunggu memanfaatkan satu senter. Sekali-sekali aku harus memegang tangannya agar ia tidak tergelincir di dalam gelap.
     Kami sampai di rumah pertama yang terpisah jauh dengan rumah-rumah lainnya di pinggir kampung Lembanna, ketika bulan mulai muncul. Teman perjalananku itu singgah di pancuran yang terletak di depan rumah, sambil menyarankan padaku untuk terus melanjutkan perjalanan sendiri. Rumah yang akan kutuju di mana teman-teman ku berkumpul, sudah tidak jauh. Ia sendiri akan singgah di rumah ini untuk menginap. Kali ini pun, tanpa banyak cakap aku menuruti saja semua yang disarankannya.
     Sesaat aku hendak pamit untuk meninggalkannya ketika aku teringat belum menanyakan siapa namanya. Oh..aku benar-benar goblok sekarang ini. Sambil tersenyum kecil, aku menghampiri dia yang masih berdiri di dekat pancuran bambu kecil. Lalu dengan semangat empat lima yang kubulat-bulatkan di dalam dada, aku bertanya siapa namanya. Sambil menyebutkan namaku sendiri, kulanjutkan dengan berbasa basi yang lain sambil pamitan untuk meneruskan langkahku.
     Ia mengangkat wajahnya memandangku lekat-lekat, sambil tersenyum. Dan ya Tuhan.. ia terlihat begitu cantik dalam siraman cahaya bulan yang baru muncul. Entah mengapa, ada getar aneh dari dalam diriku sehingga aku merasa ada yang kurang beres. Tapi aku tidak memperdulikan dan berusaha untuk tidak terbawa perasaan. Ia lalu mengulurkan tangan kearahku.
     Tanpa basa basi, tangan itu segera kusambar. Dingin sekali rasanya. Sementara angin dari hutan pinus sebelah Selatan, berhembus perlahan mengiringi lolong anjing yang berkepanjangan, membuat bulu tengkukku terasa dingin dan merinding.
     "Namaku Noni", suaranya bening, singkat sambil tersenyum. Aku balas senyumnya, selanjutnya aku tidak bertanya lagi, terus melangkah meninggalkan dia sendirian.
     Sejak malam itu, aku tidak pernah lagi berjumpa dengannya bila mendaki ke Bawakaraeng, atau sekadar mengunjungi kampung Lembanna. Namun setiap kali aku ke Lembanna, aku selalu berharap agar bisa bertemu dia lagi. Konyol memang, karena data yang aku punyai hanya namanya saja. Meski begitu aku tidak berputus asa. Aku berusaha menanyai setiap orang di Lembanna, tentu saja tentang dia, sambil menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi tidak ada yang bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
     Suatu hari, kutemui orang tua pemilik pondok dengan pancuran bambu kecil di depannya, yang dulu kami singgahi dimana Noni bermaksud bermalam. Tetapi orang tua ini juga tidak memberi keterangan yang memadai. Nama Noni hanya dikenalnya beberapa tahun yang lalu, sebagai seorang gadis yang pernah menggemparkan kampung Lembanna. Gadis yang suka mendaki ke Bawakaraeng seorang diri itu, ditemukan meninggal, menggantung diri di dahan sebatang pohon di Pos 3 menuju Bawakaraeng.
     Hanya itu yang diketahui oleh orang tua ini. Dan sejak peristiwa heboh itu, ia tidak pernah lagi mendengar ada orang yang menggunakan nama Noni, yang singgah di rumahnya.
     Aku masih terus mencari dan mencari. Dengan bekal rasa yang gamang, aku berharap suatu hari nanti dapat menjumpai dia. Bukan apa-apa, aku ingin menyampaikan terimakasih untuk pertolongannya dulu. Terus terang, malam itu aku belum sempat berterimakasih kepadanya.
diterbitkan dalam bentuk hardcopy
pertama kali di buletin lembanna edisi 004
April 1991
 foto Paramitha Rusady - tabloidnova.com
also linked to Kompasiana
 

Hingga entah berapa lama, aku tersentak kaget. Aku merasa begitu dingin, dengan tubuh yang menggigil hebat. Sementara kepalaku masih terasa begitu berat dan pusing. Rupanya panas tubuhku banyak berkurang sementara aku tertidur tadi. Tetapi aku berusaha untuk dapat menguasai diri dan mencoba berfikir untuk melakukan yang terbaik demi menolong keadaanku.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.